ERROR
ERROR
Mas Aden yang semula sudah tenang pun kembali bangun dan tersadar. Ia lalu berdiri. Marah dengan orang yang melahirkannya itu.
"Mama! Kenapa marah-marah sama Mba?" tukas Mas Aden kepada Mamanya. Ibu ternganga karena tidak bisa menjelaskan apa pun.
"Ndak sayang…Mama cuman terkejut karen akamu ada di lantai seperti ini." Alasan Ibu pada Mas Aden. Sayangnya Mas Aden tak semudah itu mempercayainya. Mas Aden mengibaskan tangan ibunya dari kepalanya.
"Jangan bohong sama Aden Ma. Aku tahu Mama tuh jahat sama Mba, sampai-sampai Mba gak mau sama Aden lagi." Aku berusaha untuk menjawab perkataan Mas Aden, tetapi Ibu sudah menyelanya terlebih dahulu.
Giliran kesempatanku untuk bicara.
"Ndak begitu Mas. Ibu pasti benar-benar khawatir sama Mas Aden. Lihat sampai tasnya saja ndak di pikirin." Ucapku menenangkan Mas Aden. Dan akhirnya dia pun menjadi tenang dan mau tidur.
Selang beberapa waktu aku pun kembali beraktifitas di dapur. Ibu menghampiriku. Aku teringat suara kerasnya saat Ia begitu parno dengan caraku memeluk Mas Aden. Padahal hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun bahkan saat anaknya masih bocah. Menurutku itu adalah kekhawatiran yang tidak berdasar.
Namun ibu mendatangiku dengan wajah sayunya seperti biasa. Kalem, tenang dan ayu. Tak ada corak yang akan menjelaskan bahwa dia adalah wanita yang akan marah atau berteriak dalam wajahnya. Aku pun langsung mencuci membasuh tanganku dan mengusap-usapkan ke apronku. Aku menghadap kepadanya.
"Ada apa Bu?" tanyaku dengan nada yang lembut. Inilah yang bisa ku lakukan sekali pun di penuhi rasa kecewa dan sakit hati.
Ia tersenyum dan sebenarnya aku sangat menyukai senyum itu.
"Mba, yuk kita bicara sebentar?" perintahnya kepadaku sambil memegang tanganku. Ia lalu pergi ke teras. Aku pun menuangkan the untuknya dan semangkuk cookis kubawa di atas nampan.
Aku menaruh nampan di meja. Ibu mnyuruhku duduk. Aku pun mengikuti perintahnya. Dia nampak menghela napas. Tampak bingung dengan raut wajahnya. Mungkin ia bingung dengan apa yang harus ia ucapkan kepadaku.
"Mba.." ia memnaggilku pelan.
"Iya Bu. Tidak apa-apa katakan saja apa yang harus ibu katakan. Saya akan mendengarkan dengan baik." Ucapku kepadanya.
"Sebenarnya aku berat sekali untuk mengatakan ini. Tapi aku sudah tidak kuasa memendam semuanya Mba." Ucapnya.
"boleh aku tanya? Apa Mba merasakan mulai kapan kaka itu sikapnya berubah?"
Aku mencoba berpikir. Tapi aku yakin smeua tak ada yang salah selama ini. Atau mungkin aku yang memang terlambat menyadari kondisinya.
"Aku tidak yakin Bu. Aku menganggapnya sebagai adikku selama ini. Aku memperlakukannya sesayang aku kepada adikku. Aku tidak tahu Bu kalau mas Aden berpandangan lain terhadap perlakuanku selama ini. Kami tidak melakukan hal-hal yang aneh. Aku hanya merawatnya dan mengasihinya. Tidka lebih dari itu." Jawabku panjang dan merasa sedih.
Ibu menghela napas.
"Iya Mba. Aku juga mengerti.".
Huh, munafik sekali. Batinku.
"Tapi kalau yang aku tanyakan dengan psikiater, kaka itu terobsesi sama kamu Mba." Ucapnya. Aku merasa ibu sedang meletakkan semua kesalahan terhadapku. Namun aku masih tetap memendamnya di dalam hati.
"Aku tidak tahu Bu perihal itu." Jawabku sekenanya.
Dia menghela napas. Seperti hendak marah namun terpaksa ia tahan. Wajahnya terlihat masa. Seolah sedang berkata. Semua ini salahmu!
"Lalu apa yang bisa ku lakukan Bu, agar Mas Dewa bisa kembali seperti semula." Tanyaku pura-pura menyenangkannya.
"hmmm…satu-satunya cara adalah membuat Kaka berhenti mengharapkan kamu." Jawabnya. Dahiku berkerut karena tidak memahami maksud perkatannya.
Ia menghembuskan nafas.
"Gini Looo… cari siapa laki-laki bialng aja dia calonmu. Begitu. Cuma untuk akting kok. Biar kaka itu engga terus ngarepin kamu. Aku juga bingung ada-ada aja kejadian kaya gini." Ucapnya. Tanpa sadar ia sebenarny amerendahkanku. Aku hanya menghela nafas tnapa dia dnegar.
"Tapi Bu, siapa? Aku kan gak kenal orang sini? Lagian aku tidak terlalu percaya diri untuk melakukan hal semacam itu." jawabku.
"kalau begitu serahkan saja kepadaku. Kamu tenang saja ya… semua akan beres dengan sendirinya." Ucapnya. Ingin marah sebenarnya. Untuk apa ia mengatur-atur jodohku. Untuk keselamatan anaknya kah? Atau untuk ketakutannya jika memiliki mantu pembantu seperti aku.
Hari-hari berlalu. Sepertinya akhir-akhir ini ibu dan bapak terlihat sibuk. Aku juga sibuk dengan pekerjaan rumah seperti biasa. Aku benar-benar sudah tidak mengurusi semua perihal kebutuhan Mas Aden. Tentu saja semua atas perintah ibu.
Tiba-tiba ada perempuan datang ke rumah.ia memakai seragam berwarna putih. Membawa tas jinjing yang terlihat sedikit berat. Dia tersenyum ketika aku membuka pintu. Seharusnya dia cukup di depan gerbang dan pencet bel. Lalu tunggu pemilik rumah keluar dan membukakan pintu gerbang rumah untuknya.
"Hai." Ucapnya dengan santainya. Dahiku berkerut. Untuk orang asing ia cukup tidak punya sopan santu. Ia tiba-tiba saja melenggang masuk dan meletakkan tasnya sembarang.
Tampilannya modis meski ia hany amemakai seragam. Rambutnya diikat ponytile seperti remaja-remaja pada umumnya.di sisi tangannya memakai jam tangan yang aku yakin itu tidak memiliki merek terkenal. Ia memakai sepatu dengan hak kurang lebih lima senti.
Aku berdehem. Ia sudha kelewatan. Meski aku bukan pemilik rumah ini. Aku tetap tidak menyukai tingkah laku sembrono seperti itu.
"Mba… maaf, anda siapa?" tanyaku tanpa basa basi dan penuh penekanan. Ia lalu duduk di kursi tamu. Tanpa tahumalu ia menyilangkan kakiknya.
"ah.. aku adalah perawat ber,isensi yang akan merawat anak satu-satunya pemilik rumah ini, Mas Dewa. Di mana kamarnya ya?"
Oh ternyat aia adalah perawat baru yang akan merawat Mas Dewa. Aku cukup bersyukur dengan keputusan ibu. Sehingga aku tidak perlu menghawatirkan Mas Dewa lagi karena telah ada yang menjaganya kelak.
"Perawatnya Mas Dewa? " tanyaku memastikan. Ia tampak mengangguk dengan percaya diri.
"Kalau begitu aku akan tunjukkan kamarmu dahulu." Ucapku padanya. Ia hanya mengikuti. Ibu sempat berpesan tadi sebelum dia pergi agar jika ada yang datang ke sini segera tunjukkan dia kamar belakang yang kosong.
Dia mengikutiku dari belakang. Aku merasa ada yang aneh denganlenggak lenggok jalannya. Ia tampak celingak-celinguk ketika kami sampai di depan pintu kamarnya. Kamar pekerjarumah ini memang di jadikansatu seperti koskosan dan terletak di belakang rumah. Tentu saja dengan kondisi yang terawat dan aman. Sayangnya hanya tersisa satu kamar saja. Dan terletak di ujung.
"Ini." Ucapku sambil menunjukkan kepadanya. Ia lalu menoleh ke arah pintu kamarnya itu.
"Ini?" tanyanya dengan penuh penekanan.
"Iya, kenapa?" Ucapku. Dia manyun dan tampak terlihat semakin menjengkelkan.
"Aku takut kalau tidur sendirian di pojokkan." Ucapnya sok manja.
"Ya kalau begitu ngapain kamu kerja." Jawabku.
"Aku mau yang kamar itu." Ia menunjukkan ke arah kamar yang pertama. Kamarku.
"Itu tidak bisa." Ucapku.
"Kenapa??" tanyanya. "Karena itu milikku. Jawabku kesal lalu ku berikan secara paksa kunci kamarnya dan aku meninggalkannya pergi.
Hari ini hari sabtu. Ibu dan bapak mungkinakanpulang dengan cepat. Sehingga aku memasak awal dan cukup banyak karena kita ketambahan satu anggota lagi kini. Kulihat perawat itu belum juga keluar dari kamarnya. Padahal jam-jam ini adalah jam makan siang. Bukankah dia harus menyiapkan makan siang untuk Mas Aden. Aku menoleh ka arah kamarnya. Dan pintunya masih tertutup rapat.
Tiba-tiba ia keluar dengan sangat cepat. Rusuh dan tak beraturan Ia memakai sendal sampai terbalik. Handuk masih menempel di kepalanya. Ia lalu menyerahkan secarik kertas kepadaku untuk menyiapkan menu makanan apa saja yang harus ku siapkan untuk Mas Aden.
"Mba buruan ya di siapkan. Aku tadi ketiduran soalnya." Dia lalu kabur kembali masuk kedalam kamarnya. Aku yang kesal melemparkan kertasnya. Namun dengan terpaksa ku buat juga apa yang ia perintahkan. Karena ini demi Mas Aden bukan demi perawat ceroboh itu.
Ia akhirnya datang. Dengan make up yang menor dan rambut yang sudah tertata rapi.
"Mana Mba?" tanyanya dengan membenarkan tatanan rambutnya.
"tuh." Aku mengacungkan jempolku.
"Oh ya Bapak sama Ibu pulang jam berapa ya?" dahiku berkerut. Kenapa juga di amau tahu.
"Bentar lagi juga pulang. " jawabku dengan malas.
Dia hanya mengedikkan alisnya lalu pergi ke arah kamar Mas Aden.
Tidak selang beberapa waktu tiba-tiba ku dengar pecahan demi pecahan. Terdengar begitu nyaring dan berulang terus menerus hingga suara itu menghilang. Aku terkejut dan aku sadar itu pasti dari arah kamar Mas aden. Aku langsung berlari menuju lantai dua. Dimana kamar Mas Aden berada.
Perawat itu terdengar berteriak. Aku lalu membuka pintu kamar Mas Aden. Ku lihat perawat itu jongkok dan mememgangi telinganya. Ia ketakutan dengan tingkah Mas Aden. Mendengar kedatanganku perawat itu lalu bersembunyi di balik tubuhku.
Aku berusaha mendekati Mas Aden. Ia tampak marah.
"Ngapain kamu ke sini!" bentaknya kepadaku.
Aku lalu duduk di di sisi ranjang kamarnya. Lalu ku pegang lutut kakinya dengan lembut. Aku memijitnya dengan pelan. Ia tetap diam saja meski wajahnya begitu marah.
"Mas..mas kenapa? Kenapa marah-marah dan bersikap ndak sopan seperti itu?"
Tanyaku."
"Suruh siapa mengirim orang asing ke sini! Siapa! Mamah? Papah? Katakan Siapa?" ucap Mas Aden sambil berteriak.
"sssssttt… ndak boleh berteriak-teriak seperti itu." ucapku padanya dengan lembut. Ia lalu menunduk lemah.
Aku tersenyum. Ia benar-benar seperti kembali menjadi bocah umur sepuluh tahun bagiku.
"Tapi Aden ndak suka Mba.." ucapnya polos.
"Iya kalau mas ndak suka. Tinggal bilang ke Mamah sama Papah ndak suka. Jangan marah-marah apa lagi mecahin gelas kayak gitu. Kan kasihan mbaknya jadi ketakutan." Ucapku. Ia menunduk danmerasa bersalah.
"Itu yang buat Mba Lhooo semua makanannya. Kan sayang jadi harus di buang." Lanjutku. Dengan polos ia lalu beranjak untuk turun. Mungkin untuk membersihkan pecahan beling-beling itu. aku memegangi tangannya.
"Ndak perlu Mas, biar Mba aja. Mas aden tiduran aja ya.. habis in mba gantiu makanannya dengan yang baru, tapi mas aden harus habisin dan minum obatnya." Ucapku lagi. Ia lalu mengagguk. Menuruti semua perkataanku.
Mas Aden yang sebenarnya sudah bisa berjalan terlihat malas berjalan. Sehingga proses penyembuhannya semakin berjalan lama. Karena semangtnya yang menghilang akhir-akhir ini. Aku yang berusaha membangkitkan semangatnya malah di pisahkan oleh ibunya darinya. Aku sangat kasihan dengan kondisinya. Meskipun begitu aku tidak berani melawan titah bapak dan ibu.
Aku kembali ke belakang. Mba perawat yng berada di depan pintu pun mengikutiku. Wajahnya tampak berantakan. Aku tertawa dalam batin. Nah, kan. Tadi aja sok-sok an parlente. Lihat sekarang? Bargitu aja sudah berantakan.
"Oh ya…. Namamu siapa Mbak?" tanyaku kepadanya sambil jalan.
"Lusi Mba," jawabnya.
"Oh… Lusi. Kalau begitu Mba Lusi nggak boleh takut menghadapi Mas Aden. Kalau mba lusi ketakutan mas aden malah akan semakin marah . jadi pelan-pealn saja, hadapi dan nikmati. Sepertinya kamu baru di dunia keperawatan ya…"
Ia mengagguk. Luntur sudah semua keangkuhannya yang sebelumnya ia tunjukkan kepadaku.
Mas David menjemputku. Sperti janjinya akan mengajakku ke tempat-tempat baru yang ada di kota Makassar ini. Dia yang sangat tampan sudah brada di teras. Sementara aku masih di kamar berdandan seadanya. Seseorang mengetuk pintu. Dia adalahLusi.
"Mba..mba san…" panggilnya.
"Iya Lus.. ada apa..ini hari liburku ya.. kamu nggak bisa menyuruhku membuatkan menu untuk Mas Aden." Teriakku kepadanya.
"enggakkk… buka dulu ih pintunya. Cepetannn" ucapnya memaksa. Aku pun membuka pintu kamarku.
"Apaan sih Lusss.. aku kan udah bilang aku gak bisaa…"
"bukan ituu.."
"terus?" aku mengerutkan dahi.
"Itu di depan ada om-om ganteng banget. Keren lagi. Tapi kok nyari mba sih?" ucapnya meremehkan aku.
Aku hanya tersenyum.
Dia lalu memandangiku dari ujung kepala hingga kaki. Lalu dia menyadari satu hal.
"Apa? Kalian?" dia mengacungkan telunjuknya ke arahku sambil mulutnya menganga.
Aku hanya menatapnya dengan senyuman. Iya, aku akan pergi dengannya. Kenapa? jawab dalam batinku,
"Aaaaa aku iri banget… bagi tips dong biar aku bisa seperti itu."
Aku menegrutkan dahi.
"Maksud kamu?" tanyaku polos.
"Maksud aku biar bisa di gandeng acowok ganteng." Ucapnya.
"syaratnya gampang kok, natural aja kalau jadi cewek." Ucapku lalu berdiri hendak keluar.
Kupandangi dia.
"Nggak mau keluar,?" ia lalu bergegas berdiri dan merenges. Lalu keluar berjalan beriringan dengnaku.
Aku keluar dan menyapa Mas David. Ia menengok ke arah jam tangannya.
"wah.. sepertinya aku terlalalu cepat ya San.." ucapnya smbil merenges.
"ah ndak Mas. Aku nya aja yang udah siap-siap dari pagi. Kita mau ke mana?" seolah kalimat tanyaku begitu akrab dengannya dan akan berlanjut sampai lama hubungan yang belum jelas ini.
"E ciyee pasti nungguin aku ya…" ucapnya meledekku.
"Enggak. " aku pun geleng kepala dengan wajah yang datar.
"lalu?" dia tampak kecewa.
"Nungguin Pak sopir." Aku pun langsung ketawa dan dia mengikuti.
Kami mengendarai motor berperawakan besar itu menjelajahi jalanan Makassar. Entah ke mana lagi Mas david akan membawaku, namun aku hanya mengikutinya saja tanpa menyela.
Ia melipat sajadahnya. Ia lalu memakai celana dan melepas sarungnya. Kemudian berbalik ke arahku. Ia sempat melirikku namun tidak berkata apapun. Dia pasti sudah tahu aku menunggunya dan hidangan didepanku ini.
"To, makanlah. Aku sudah masak untukmu." Ucapku padanya.
Santo bergeming. Ia samasekali tidak menanggapiku.
"To, aku punya salah ya. Kok kamu sepertinya marah sama aku." Ucap ku lagi.
Santo menoleh ke arahku. Kali ini ia menatapku dalam-dalam. Meski dari jarak yang cukup jauh.
"Aku ini sedang banyak masalah. Tapi kamu sepertinya juga masalah berikutnya. Ada apa?" tanyaku kesal. Aku menunduk.
Terdengar Santo berjalan ke arahku. Ia lalu duduk dan mengambil piring bagiannya. Ia lalu melahap mi yang ku masakkan untuknya. Yang kuyakin pasti sudah dingin.
Dia masih diam. Aku tidak berani menyela acara makannya. Kubiarkan kami bercengkerama dengan makanan kami masing-masing. Secepat kilat Santo menghabiskan minya, Ia lalu menenggak air di dalam gelas yang sudah ku siapkan.
Dia lalu mengambil sebatang kretek dari sakunya. Dan membakarnya lalu mengisapnya. Di buangnya asap mengepul di udara.
Aku telah menghabiskan makananku. Kini rasanya sudah tepat untuk aku bertanya lagi.
"Aku sepertinya harus pulang Ti." Ucap Santo tiba-tiba.
Aku mendongak ke arah nya. Raut mukanya memang serius.
"Kenapa? Gara-gara aku?" Tanyaku.
"Bukan." Ucap Santo sambil menghembuskan asap ke udara.
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Apa alasanmu pulang?" Tanyaku tak sabar.
Santo tampak ragu menjelaskan alasannya padaku. Hal itu membuatku sSantokit kesal.
"To..." Ucapku lagi menuntut jawaban darinya.
Ia lalu menyesap kreteknya dalam-dalam dan membunuh baranya di piring.
Dia menoleh ke arahku. Lalu menarik nafas dan menghembuskannya dengan keras.
"Masmu tidak membayar kami. Sudah dua minggu ini. Kamu tahu betapa kerasnya pekerjaan kami. Aku yakin dia dapat banyak kali ini."
"Apa?!" Aku terkejut dengan pernyataan Santo kali ini.
Santo menyalakan kretek lagi. Dari sini aku tahu dimana letak frustasinya dia.
"Mereka yang punya tanggungan keluarga bahkan makan seadanya. Mereka sudah tidak makan nasi."
"Apa kalian sudah meminta kepada kakakku?"
"Iya, tapi dia bilang investor belum datang ke rumah. Biasanya pembayaran paling lambat itu seminggu tidak sampai dua minggu. Ini bahkan sudah dua minggu lebih." Ucap Santo atas keresahannya.
Aku mengerutkan dahi. Padahal akhir-akhir ini sawit sedang lancar-lancarnya. Dan juga yang di maksud investor itu kan si saudagar genit itu?. Baru dua hari ini mereka datang.
"Yang kamu maksud investor itu siapa?"
"Apa kamu pernah lihat orang parlente datang ke rumahmu?"
"Maksudnya?"
"Iya, yang gayanya borjuis. Kumis tebal. Cerutu mahal. Mobil jip." Ucap Santo mendeskripsikan investor yang dia maksud.
"Maksudmu Pak Subroto?" Tebakku.
"Pak Subroto? Hahahaha... apa dia mau di panggil seperti itu?" Aku memicingkan mata.
"Dia mana mau di panggil seperti itu. Apa kamu tidak tahu panggilannya siapa?" aku menggeleng karena memang tidak tahu apa yang di maksud Santo.
"Om Lukas. Gustiii gustiiii. Gak habis pikir tua bangka itu bahkan sudah punya istri 3. Denger-denger mau cari prawan lagi." Ucap Santo sambil menyesap kreteknya.
"Apa? Menjijikkan sekali. Bagaimana mungkin orang seperti itu menjadi rekan kerja kakakku." Ucapku sambil bergidik ngeri."Tapi kok kamu bisa tahu Di.
" Semua orang di sektor ini tahu Nti. Kecuali orang baru. Pak Subroto itu tipe orang yang selalu membanggakan latar belakangnya. Jadi ya sudah pasti semua tahu dari mulutnya sendiri." Jawab Santo.
"Bangga? Apanya yang membanggakan dari kisah seperti itu. Yang ada ngeri." Tuturku.
"Memangnya kamu sudah pernah bertemu?" Tanya Santo.
"Iya sudah beberapa kali." Jawabku sambil nyengir.
Padahal sebenarnya baru kemarin Pak Subroto atau lucas itu datang ke rumah. Seperti biasa dia menatapku dengan tatatpan menjijikkan. Meski begitu tak pernah ku tanggapi. Aku malah segera pergi ketika dia datang karena merasa risih.
"Pasti dia genit. Kalau genitnya Bang ginting itu transparan Nti... dia berani beekata-kata tapi nyalinya mungkin ciut. Tapi kalau Lucas itu beda. Kepercayaan dirinya tinggi karena uang yang di milikinya. Diam-diam dia itu mengusahakan incarannya. Huhhh... merinding aku kalau liat dia mandang wanita." Jelas Santo. Sontak membuat aku juga turut merinding.
"Aku akan bicarakan masalah gajimu pada kakakku Di. Jangan hawatir. Aku tidak akan membiarkan kelalaian itu. Kalian sudah bekerja keras tidak bisa di curangi seperti itu." Ucapku. Santo mengangguk.
"aku harus mulai kerja Nti." Santo membuang putung rokoknya. Ia lalu beranjak dan membiarkan aku sendiri di pondok.
Mengingat perkataan-peekataan Esi tentang Pak Subroto atau Lucas membuatku mengingat sosoknya yang menjijikkan. Pertama kali bertemu Ia memandangiku tanpa berkSantop seolah-olah aku adalah mangsanya. Padahal bahkan belum di perkenalkan. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Akan menjadi malapetaka jika dia menginginkanku sebagai istri berikutnya. Meskipun dia akan menjamin hidupku dengan uangnya. Hal itu tetap membuatku geli.
"To..Santo...di mana kamu?" teriakku mencari keberadaan Santo.
"Woooyyyy aku di sini.." terdengar gema dari segala arah. Namun aku tahu sumber suara sebenarnya. Aku segera menolehnya.
Arah mata angin barat daya. Santo sedang mengganti isi airnya dan obatnya. Sejak tadi dia sedang menyemprot pohon sawit satu-demi satu. Aku pun beranjak turun dari pondok. Dan lari mengejarnya.
Cukup jauh ternyata. Dan ali tidak menemukan sosoknya ketika sudah turun. Pandanganlu di penuhi pokok pohon sawit yang menggelembung. Aku hanya mengikuti intuisiku untuk menuju arah yang kulihat dari atas tadi.
"To.!! Aku ke situ. Jangan berpindah tempat." Ucapku saat berlari sambil berteriak.
"kau mau apa.?!" Terial Santo dari arah yang ku tuju.
"Membantumu." Jawabku sambil teeiak.
"Heii.. jangan lari-lari nanti terpeleset lagi." Cegahnya.
Nafasku tersengal-sengal karena berlari.
"Apa ada yang bisa ku bantu?" tanyaku.
"Ada."
"apa? Biar ku bantu."
"Bantu lihat-lihat." Ucapnya.
Aku memutar bola mata. "Aku ingin membantu karena bosan."
"Bukannya kalau kamu di sini sudah pasti akan bosan?" ucapnya sarkas.
"Iya memang. Tapi aku kan nggak punya tempat untuk di datangi."
"Sini ku bantu menyemprot." Aki merebut semprotan di tangannya.
"Tidak. Kau ingat hari pertama kamu kesini. Sudah cukup membuat aku trauma."
"itu kan kecelakaan To. Kenapa di bahas terus."
"Sudah kamu duduk saja di situ. Nanti kalau aku pindah kamu ikuti aku." Ucapnya.
Hmmmh.. aku menghela nafas keras.
"Lagian hoby kok kabur tanpa rencana." Ucapnya.
"Yang kabur itu siapa. Aku itu lagi cari wangsit." Jawabku.
Sementara itu Santo menyemprot pohon demi pohon dari sisi ke sisi.
"Kenapa masih kerja kalau kamu belum di bayar To."
"Kami memang belum dibayar Nti. Tapi kami lebih takut di pecat. Di sini jauh dari rumah dan peradaban. Mau lari kemana kami kalau enggak bawa bekal." Ucapnya.
Benar juga ucapan Santo. Mereka harus terpaksa kerja karena menunggu gaji terkumpul.