Tiga Orang Yang Terpesona
Tiga Orang Yang Terpesona
"Kalau begitu, ayo segera makan dan bersiap-siap," katanya. Emma mengangguk gembira dan segera menikmati daging bakar bagiannya. Mereka tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah selesai makan, Emma memutuskan untuk membersihkan wajahnya di sungai dan berganti pakaian yang lebih hangat. Ahh... suhu di Daneria ini benar-benar dingin! Ia hampir menggigil saat tangannya menyentuh air sungai untuk mencui muka.
Untunglah, Emma adalah seorang pyromancer, sehingga ia dapat menghangatkan tubuhnya dengan mudah. Ia dapat membayangkan orang-orang biasa yang bertualang seperti mereka pasti akan mengalami begitu banyak kesulitan.
"Kalian jangan mengintip," tukasnya saat ia mengambil pakaian ganti dari tasnya dan bergegas pergi ke balik pohon besar yang dipindahkan Xion untuknya.
Tanpa menunggu tanggapan kedua pria itu, ia telah menggerakkan tangannya dan tahu-tahu dahan pohon yang paling besar segera dilingkari sulur-sulur tanaman yang menjuntai hingga ke tanah, sehingga membentuk semacam tirai yang menghalangi pandangan orang dari depan. Mirip akar pohon beringin yang menjuntai seperti tirai kalau di bumi.
Xion melempar senyuman ke arah Therius. "Ternyata kemampuan seorang herbomancer itu banyak gunanya."
Therius mengangguk. "Kau benar."
Kedua pria itu telah mengenakan pakaian yang nyaman dan cukup hangat sehingga tidak perlu mengganti pakaian lagi. Therius dan Xion hanya membersihkan wajah mereka dan membereskan barang-barang lalu bersiap menunggu Emma di dalam travs.
Lima menit kemudian Emma telah siap dan masuk ke travs dengan pakaian yang berganti. Ia tampak segar dan praktis. Rambutnya yang panjang berwarna platinum digerai hingga ke pinggangnya, membuat ia terlihat sangat cantik. Rambutnya digerai sekaligus untuk membuat tubuhnya menjadi lebih hangat.
Untuk sesaat Therius tampak terpukau. Emma tampak sangat cantik dengan rambut digerai seperti ini.
"Ayo berangkat, biar kita punya waktu lebih banyak untuk melihat Salar de Uyuni yang kau maksud," kata Emma. Ia menepuk kemudi dan tampak sangat tidak sabar ingin segera berangkat.
Therius mengangguk. Ia segera menyalakan mesin dan kemudian mengemudikan kendaraan terbang itu ke arah Timur.
Pemandangan di bawah mereka tidak seindah saat mereka terbang dengan travs di siang hari, karena Emma tak dapat melihat hutan, gunung, dan lembah yang indah yang memenuhi permukaan Daneria.
Namun demikian, pemandangan di depan dan atas mereka sungguh memukau. Walaupun atap travs ditutup agar udara di dalam tetap hangat, namun bahannya yang transparan membuat mereka dapat melihat milyaran bintang di angkasa malam dan dua buah bulan besar yang menghiasi malam-malam di planet itu.
Perjalanan mereka berlangsung santai dan menyenangkan. Dua jam kemudian mereka tiba di tempat yang dimaksudkan Therius.
Sejauh mata memandang, mereka melihat dataran yang tampak berwarna putih keabu-abuan, dan tampak seperti memiliki permukaan yang mengkilap, tetapi tidak sejernih cermin seperti yang dikatakan Therius.
Ketiganya saling bertukar pandangan.
"Kenapa danau garamnya tidak sejernih dulu?" tanya Xion keheranan. "Dulu bentuknya benar-benar cemerlang seperti cermin."
Therius mengedarkan pandangannya ke sekeliling mereka dan berdecak. "Ah, seingatku dulu di sini turun hujan sebelum kita tiba. Air yang membasahi danau garam ini membuat permukaannya menjadi transparan dan cemerlang sehingga dapat memantulkan pemandangan dari langit."
Xion mengangguk. "Benar juga. Sekarang permukaannya sangat kering sehingga tidak memantulkan pemandangan di atasnya."
Emma tersenyum tipis saat mendengar perkataan keduanya. Menurunkan hujan saja, bukanlah hal yang sulit baginya.
Dengan lambaian tangan kanannya, gadis itu segera menurunkan hujan ke danau garam di depan mereka, tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk membasahi permukaannya.
Benar saja, dalam waktu tidak terlalu lama, mereka sudah melihat permukaan danau garam itu berubah menjadi berkilauan dan memantulkan pemandangan angkasa malam di atas mereka.
"Whoaaa...." Emma mendesah kagum saat memandang ke depan mereka. Ia hendak berjalan ke tengah danau ketika Therius menarik tangannya.
"Kita naik travs ke tengah danau," kata pemuda itu. "Kalau berjalan akan lama."
"Oh, baiklah." Emma mengangguk. Ia kembali masuk ke dalam travs bersama Therius dan Xion lalu bergerak ke tengah danau garam yang kini sudah tampak seperti bagian dari luar angkasa. Emma menahan napas saking ia terpesona melihat keindahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya itu.
Sejauh mata memandang, ia melihat hanya bintang-bintang, bulan, dan berbagai benda angkasa lainnya. Ia merasa seolah sedang melayang di luar angkasa dan dikelilingi milyaran bintang.
Sungguh perasaan yang ada di kepalanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Ketika Therius mendaratkan travs di tengah danau, mereka bertiga keluar dari kendaraan dan berdiri tegak mengagumi sekitar mereka.
"Ini.. luar biasa..." Emma berbisik seolah kepada dirinya sendiri.
Rasanya, kalaupun besok ia harus mati, rasanya hidupnya telah sempurna karena ia sudah pernah menyaksikan keindahan yang begini ajaib. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ada keindahan yang demikian mengguncang batinnya seperti ini.
Saat itu Emma merasa dadanya dipenuhi kekaguman dan rasa haru karena ia telah melihat pemandangan yang akan membekas dalam ingatannya seumur hidup. Ia benar-benar merasa seolah melayang di luar angkasa dikelilingi milyaran bintang dan nebulae.
Gadis itu berdiri mematung, seolah tidak ingat sekelilingnya. Ia benar-benar meresapi keindahan alam semesta. Xion menatap langit yang sama dan mendecak kagum, sementara Therius menatap ke arah Emma dari samping, dan bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat ekspresi terpukau gadis itu.
Ah... ternyata membawa Emma ke sini adalah keputusan yang tepat. Ia tahu Emma akan menikmati pemandangan di sini.
Mereka berdiri mematung dan mengagumi pemandangan selama setengah jam. Kemudian Xion mulai menguap. Rupanya ia masih mengantuk.
"Aku rasa aku akan kembali tidur," kata pemuda itu sambil menguap lebar. "Tadi tidurku kurang nyenyak."
Ia meregangkan tubuhnya dan berjalan kembali menuju travs dengan langkah acuh tak acuh. Emma hanya menoleh sedetik ke arahnya dan kembali menatap langit. Ia benar-benar terpukau. Rasanya berjam-jam pun ia tak akan puas menikmati keindahan ini.
"Aku akan tetap di sini sampai pagi tiba," kata Emma pelan.
Ia lalu duduk dan mencari posisi yang nyaman di bagian dataran garam yang tidak basah. Ia mengenakan jaket, tetapi rupanya suhu Daneria di bagian sini jauh lebih dingin daripada di tempat sebelumnya yang mereka kunjungi.
Emma hendak menyalakan api agar tubuhnya menjadi lebih panas, tetapi sebelum ia sempat melakukannya, tiba-tiba sehelai selimut telah tersampir ke bahunya.
"Eh?" Emma menoleh ke belakang dan mendapati Therius menaruh selimut ke bahunya dan dengan hati-hati merapikannya.
"Kalau kau menyalakan api, pemandangannya akan rusak," kata Therius.
Ah, benar juga. Cahaya api akan membuat pantulan cermin sempurna langit dan bumi akan menjadi rusak, pikir Emma.
Dengan penuh terima kasih ia mengangguk dan merapatkan selimutnya. "Terima kasih untuk selimutnya."
"Apakah aku boleh duduk di sini?" tanya Therius lembut.
Emma mengangguk. "Silakan. Toh planet ini tidak ada yang punya."
Sesaat kemudian ia mengerucutkan bibirnya. Ia terlambat menyadari bahwa secara teknis, planet ini adalah milik raja Akkadia. Artinya sebagai calon raja, bisa dibilang beberapa tahun lagi Therius akan menjadi pemilik Planet Daneria. Emma merasa kata-katanya barusan terdengar bodoh.
Therius dapat menebak isi hati gadis itu dari ekspresinya dan ia hanya tersenyum tipis. Ia mengerti apa yang sedang dipikirkan Emma.
Benar, planet ini akan segera menjadi miliknya. Dan kalau Emma sangat menyukai Daneria, Therius juga akan dapat memberikan planet ini kepadanya, sebagai hadiah. Tidak ada hal di dunia ini yang terlalu besar untuk ia berikan kepada gadis yang ia cintai.
"Kau tidak mengantuk?" tanya Emma. "Bukankah tadi kau baru tidur sebentar? Aku sudah sempat tidur siang sehingga tidak mengantuk seperti Xion."
"Tidak, aku memang biasa hanya tidur sebentar," kata Therius. "Lima jam sudah cukup untuk membuatku segar. Kalau Xion dia memang suka tidur dari dulu."
"Oh.." Emma tidak berkata apa-apa lagi.
Ia kembali menatap langit di depannya, dengan pandangan takjub, sama sekali tidak menyadari bahwa pria di sampingnya terpukau memandang wajah Emma dari samping.
Keduanya berkali-kali menahan napas karena terpesona, tetapi oleh objek berbeda. Emma terpesona oleh langit Daneria yang semarak, Therius terpesona oleh dirinya.
"Ini adalah tempat terindah yang pernah kukunjungi," gumam Emma. Ia lalu menoleh ke arah Therius. "Bagaimana dengan—"
Emma tertegun dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Pandangannya tertumbuk pada sepasang mata topaz Therius yang menatapnya dengan pandangan penuh cinta.
Untuk sesaat keduanya saling memandang.
"Emma..." suara Therius terdengar serak. Emma masih terpesona dan tidak menyadari sekelilingnya.
Entah kenapa saat itu ia melihat bintang-bintang memantul di sepasang mata indah Therius. Emma jarang memperhatikan wajah Therius dari dekat karena selama ini ia berusaha menjaga jarak dari pria itu.
Namun, sekarang, saat wajah keduanya berada begitu dekat dari satu sama lain, Emma dapat menerima kenyataan bahwa wajahnya dan wajah Therius memang mirip seperti yang dikatakan Xion.
Ah.. benarkah kata-kata Xion bahwa menurut kepercayaan Akkadia, lelaki dan perempuan yang memiliki wajah mirip ditakdirkan untuk berjodoh?
Apakah Therius benar-benar menganggap Emma sebagai jodohnya?
Therius yang melihat wajah Emma berada begitu dekat darinya merasakan dadanya bergolak dan ia tidak mampu lagi menahan diri. Tangannya merengkuh kepala Emma dan ia mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir mungil gadis itu.