Permintaan Emma
Permintaan Emma
Emma tersenyum licik, segera mengayunkan kedua tangannya yang barusan digunakan untuk menciptakan tanaman rambat sangat kuat dan mencegah baik Therius maupun Xion untuk menyentuh air.
Ia tahu bahwa kedua pemuda itu telah kehilangan waktu yang berharga saat tubuh mereka dilempar ke lembah. Kalaupun mereka mencoba masuk ke air lagi, tanaman rambat itu akan menahan mereka.
Dengan gembira Emma segera menyelam dan menangkap ikan terbesar yang dilihatnya di dalam air.
Dalam waktu tidak sampai satu menit, ia telah kembali ke puncak tebing dengan ikan yang berukuran sebesar anjing dan menaruhnya di tanah.
Ha. Aku menang! pikirnya gembira.
"Heyyy!!!! Kau curaaaaang!!"
Ia dapat mendengar suara teriakan Xion yang semakin mendekat. Emma hanya tersenyum tipis melihat kedua laki-laki itu melesat ke arahnya dengan ekspresi terkejut luar biasa.
Ah, ternyata memang ada gunanya juga Emma menyembunyikan kemampuannya sebagai herbomancer. Ini benar-benar menjadi senjata rahasia yang hari ini memberinya kemenangan.
Ia menyilangkan kedua tangannya di dada dan tersenyum tipis menanti kehadiran Therius dan Xion tidak lama kemudian. Kedua pemuda itu melesat terbang ke arahnya dengan kecepatan tinggi dan tiba di depan Emma dengan wajah dipenuhi kekagetan.
"Apakah itu tadi perbuatanmu??" tanya Xion dengan nada suara mendesak. "Kau seorang herbomancer???"
Emma tidak menjawab. Ia hanya membuka telapak tangannya dan membuat gerakan memutar sedikit. Tahu-tahu dari belakang Xion muncul sulur tanaman yang tadi menahan mereka di ngarai. Sulur itu membelit pinggang Xion dengan kuat dan mengangkat tubuhnya ke udara.
Therius tidak mengatakan apa-apa, tetapi pandangan matanya yang kagum membuat Emma merasa pipinya memerah. Pemuda itu tampak seperti seorang guru yang bangga melihat keberhasilan muridnya.
"Kalian kalah," kata Emma dengan sikap acuh tak acuh.
"Heyy... turunkan aku!" jerit Xion gusar. Ia menciptakan kepingan es tajam di tangan kanannya, siap hendak memotong sulur itu, ketika Emma melambaikan tangannya dan sulur tanaman itu segera menurunkan tubuh Xion.
"Kau curang," kata Xion sambil mengebas-kebaskan daun dari tubuh bagian atasnya yang telanjang. "Kau menyembunyikan kemampuanmu sebagai seorang herbomancer, sehingga kami tidak dapat mengantisipasinya."
"Curang bagaimana?" tanya Emma sambil menyipitkan mata berbahaya. Ia tidak suka disebut curang oleh seorang magi yang jelas-jelas jauh lebih kuat darinya. "Aku menang dengan adil. Tidak ada aturan bahwa aku harus memberi tahu kalian semua yang ingin kulakukan? Balapan macam apa itu?"
"Kita bertiga adalah aeromancer, jadi sudah seharusnya kita bertanding dengan menggunakan aeromancy," tukas Xion. "Aku dan Therius selalu berlomba dengan menggunakan aeromancy..."
Emma mendengus mendengar kata-kata Xion. "Omong kosong. Kita bertiga memang aeromancer, tetapi kau dan Therius sama kuatnya, sementara kekuatanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalian. Kalau kau dan Therius selama ini hanya berlomba dengan menggunakan aeromancy, itu urusan kalian berdua. Yang jelas, aku tahu bahwa aku tidak akan menang melawan kalian kalau aku hanya mengandalkan aeromancy."
Xion garuk-garuk kepala. "Seharusnya kita memastikan aturannya sebelum balapan tadi, karena ada orang baru. Dia tidak tahu bagaimana kita biasanya kalau taruhan..."
Ia menoleh ke arah Therius, berharap Therius akan memihak kepadanya. Namun, Xion harus menelan kekecewaan karena sang pangeran ternyata sama sekali tidak keberatan dikalahkan oleh Emma.
Ia tersenyum menatap gadis itu dengan pandangan setengah memuja, seolah Emma adalah salah satu dewi yang disembah rakyat Akkadia.
"Kita kalah," kata Therius pendek. Ia tidak mau memperpanjang omelan Xion.
"Therius sudah mengaku kalah. Bagaimana denganmu?" tanya Emma ke arah Xion. "Apakah kau mengaku kalah juga? Jadi laki-laki yang jantan dong.. Kau harus mau mengakui kekalahan kalau memang kau kalah."
Xion mengerucutkan bibirnya lucu sekali. Setelah mendengus beberapa kali, akhirnya ia mengangguk, walaupun wajahnya tampak tidak rela. "Hmmph.. baiklah. Kau menang."
"Bagus kalau begitu. Sekarang kalian bisa membantuku menyiapkan ikan ini untuk dibakar," kata Emma kemudian.
Ia menyerahkan tugas memasak kepada para pria karena ia tadi sudah menangkap buruan untuk makan mereka. Emma lalu mengambil sebuah celana pendek dari ranselnya dan memakainya di luar pakaian renangnya.
Penampilannya kini tampak praktis dan segar. Rambutnya yang basah telah ia sanggul di puncak kepalanya agar tidak menganggu gerakannya.
"Kau belum menyebutkan permintaanmu," kata Therius yang sedari tadi memperhatikan gadis itu. "Kau sudah menang. Apa yang kau inginkan dariku dan Xion?"
"Hmm.. apakah aku harus menyebutkannya sekarang?" Emma bertanya balik. "Tidak bisakah aku menyimpan permintaan itu untuk nanti?"
Therius mengangguk. "Bisa. Tetapi aku benar-benar ingin tahu apa yang kau inginkan dariku."
Emma membuang muka. Ia tidak ingin merusak suasana yang sudah baik di antara mereka dengan menyebutkan permintaannya sekarang. Nanti sajalah... kalau mereka sudah menjadi musuh kembali, ia akan dapat menyebutkan permintaannya kepada Therius dan Xion dengan lebih nyaman.
Kalau ia menyebutkan permintaannya sekarang... ia kuatir Therius dan Xion akan menjadi kecewa dan marah serta merasa dimanfaatkan.
"Uhm... sepertinya Emma menginginkan hal yang sangat besar," komentar Xion. "Tolong dicatat ya, aku ini orang miskin. Aku tak dapat memberimu benda yang berharga. Jadi tolong mintanya yang gampang diperoleh dan murah."
"Tenang saja. Permintaanku tidak ada yang mahal," komentar Emma. Ia menujukan kata-katanya kepada Xion. "Aku sebenarnya belum tahu apa yang dapat kuminta darimu. Apalagi kau bilang sendiri bahwa kau ini miskin. Jadi mungkin aku akan menyimpan saja permintaanku untuk suatu saat nanti jika aku membutuhkan bantuanmu."
"Ugh.. kalau kau berniat meminta bantuanku untuk mengalahkan Therius lima tahun lagi, maaf aku tidak bisa mengabulkannya," kata Xion cepat. "Itu masuk kategori di luar batas. Aku tak mungkin mengkhianati sahabatku sendiri. Kalau kau memintaku melawan sahabatku, itu sama seperti kau meminta nyawaku."
"Ck.. jangan ge-er, ya. Aku tidak akan memintamu membantuku melawan Therius agar aku dapat mengalahkannya lima tahun lagi. Aku tidak membutuhkan bantuanmu," tukas Emma sambil memutar matanya. "Aku sudah berencana meminta kepada Therius adalah agar ia mengalah saat kami bertarung lima tahun lagi."
Tiba-tiba saja suasana menjadi hening.
Hanya bunyi gemericik sungai yang turun menjadi air terjun ke ngarai di bawah mereka yang terdengar, diikuti hembusan angin sepoi-sepoi dan kemerisik daun yang bergoyang oleh angin.
Therius dan Xion tampak tertegun dan tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sementara Emma tanpa sadar telah menekap bibirnya karena kaget. Astaga.. aku tadi bilang apa? pikirnya jerih.
Ia tak mengira ia akan begitu saja menyebutkan bahwa ia sengaja berbuat curang dalam lomba mereka untuk mengalahkan Therius agar ia bisa memaksa sang pangeran mengabulkan satu permintaannya... yaitu mengalah dalam pertarungan mereka lima tahun lagi.
Ah.. Emma segera menyesali perkataannya. Dugaannya benar. Suasana hangat dan bersahabat yang tadi dirasakannya dari Therius dan Xion, kini menjadi dingin dan canggung.
Emma menatap wajah Therius dengan pandangan rumit. Ia tidak akan menarik ucapannya barusan, karena memang itu adalah permintaan yang diinginkannya.
Tetapi, entah kenapa dadanya berdebar saat melihat wajah kecewa Therius dan sepasang mata topaznya tampak terluka.
Ah... pangeran es ini ternyata memang punya perasaan dan bisa sakit hati juga, pikir Emma.
"Baiklah," kata Therius kemudian.
Ia membuang mukanya agar Emma tidak dapat membaca ekspresinya. Ia lalu berjalan menghampiri ikan yang tadi ditangkap Emma dan mulai bersiap untuk mengulitinya.
Xion mengikuti jejaknya dan duduk di samping Therius, menyiapkan kayu untuk memanggang dan kayu bakar untuk menyalakan api.
Emma tertegun di tempatnya menyaksikan sikap kedua pria itu.
Ia tahu Therius tidak menyukai permintaannya barusan dan merasa dijebak.. tetapi pria itu sama sekali tidak berusaha mengelak atau mencari alasan untuk membatalkan perjanjian mereka.
"Baiklah? Apa maksudmu dengan 'baiklah'?" Emma mengerjap-kerjapkan matanya dan berjalan menghampiri Therius. Ia menyentuh bahu pemuda itu hendak bertanya lebih lanjut. "Aaahh!"
Tiba-tiba saja ia terlonjak mundur ke belakang. Tubuh Therius terasa begitu panas bagaikan api tingkat tinggi. Emma ingat ia pernah merasakan hal serupa saat ia menyerang Therius secara curang di teras penthouse di Singapura.
Waktu itu, ia mendorong dada Therius sekuat tenaga dengan tangannya yang diberi daya listrik, tetapi ia hanya berhasil menggores tubuh pemuda itu sedikit saja. Sebaliknya, malah Emma yang terbanting ke belakang dengan tubuh seolah terbakar.
Therius yang melihat Emma terhuyung, sigap berdiri dan menahan tubuh gadis itu dengan kedua tangannya yang sama sekali tidak terasa panas.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya cemas. "Maafkan aku, tubuhku tidak bisa disentuh sembarangan secara tiba-tiba. Perisai panas akan otomatis melindungiku dari pukulan orang lain."
"Aku tidak memukulmu," omel Emma. "Aku hanya menepuk bahumu hendak mengajakmu bicara."
"Hmm.. ya, soal itu, maaf, tadi aku sedang kesal," kata Therius jujur. Ia melepaskan tangannya dari tubuh Emma dan membiarkan gadis itu berdiri sendiri. "Kau tidak apa-apa?"
Emma memandangi sekujur tubuhnya dan mendecak kaget. "Aku tidak apa-apa. Padahal dulu, saat aku menyentuhmu dan terkena serangan balik begini, tubuhku sampai terlempar jauh dan aku jatuh pingsan selama 72 jam."
"Itu karena kau telah banyak berlatih selama beberapa bulan terakhir ini. Level energimu sudah jauh di atas dulu, dan kau sekarang jauh lebih kuat dari waktu itu," Therius menjelaskan. "Maka perisai panasku tidak lagi menyakitimu."
Ia menatap Emma dengan pandangan kagum. Therius benar-benar terlihat seperti guru yang bangga atas pencapaian muridnya. Ia dan Xionlah yang melatih Emma hingga menjadi lebih kuat seperti sekarang.