Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Hidup Raja Therius



Hidup Raja Therius

Dengan wajah penuh antisipasi ia memperhatikan Therius yang menatap ke arah pintu masuk dan melihat satu persatu staf yang diminta Profesor Amara masuk ke dalam aula.     

Aula tempat mereka berada terlihat seperti auditorium dengan panggung yang cukup besar dan Therius berdiri di tengahnya, sementara Profesor Amara berdiri di sampingnya.     

'Saat aku mengangkat tanganku, kau harus mematikan listrik di auditorium ini,' kata Therius kepada Emma dengan menggunakan telemancy.     

'Kau tidak ingin perbuatanmu terekam kamera mana pun?' tanya Emma. Ia dapat menduga apa yang ingin dilakukan Therius. Ini akan sangat menyenangkan!     

'Kau pandai sekali,' puji Therius. Namun wajahnya tidak menampakkan ekspresi apa pun dan ia masih terlihat mendengarkan pemaparan Professor Amara dengan penuh perhatian.     

'Baiklah,' balas Emma. Ia bersikap seolah tidak mendengar pujian Therius kepadanya barusan.     

Emma juga sama sekali tidak menampakkan ekspresi apa pun di wajahnya, sama seperti Therius. Namun, dalam hati ia merasa bersemangat, dan sudah tidak sabar ingin melihat apa yang akan dilakukan Therius.     

Rasanya ia dan sang pangeran hari ini bersekongkol untuk melakukan kejahatan bersama-sama. Xion yang berdiri di pintu aula memperhatikan wajah keduanya yang terlihat datar, tetapi entah kenapa ia dapat menduga Emma dan Therius sedang merencanakan sesuatu.     

"Sebentar lagi Tuan dapat mendengarkan berbagai laporan kemajuan penelitian yang kami lakukan di gugus nebula ini," kata Profesor Amara menjelaskan. "Ah, itu dia, para peneliti kami sudah tiba."     

"Terima kasih, Profesor." Therius mengangguk.     

'Sebentar lagi,' kata Therius kepada Emma lewat telemancy tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu.     

Begitu orang terakhir masuk dan pintu auditorium ditutup, Therius lalu menoleh ke arah Emma dan tersenyum. Ia mengangkat tangan kanannya dan Emma dengan sigap melambaikan tangannya ke sekelilingnya.     

ZING     

ZING     

Semua peralatan listrik di dalam aula seketika mati. Tidak ada peralatan yang bekerja termasuk kamera yang selalu merekam di beberapa sudut auditorium. Kini Therius bisa melakukan apa saja sesukanya tanpa kuatir akan terlihat maupun terekam kamera mana pun.     

Therius dengan santai lalu melipat tangannya. Nada suaranya terdengar gembira saat ia menyuruh Emma melihat ke depan. 'Perhatikan baik-baik.'     

Seolah dikomando secara gaib, ke-51 orang yang ada di dalam auditorium, termasuk Profesor Amara tiba-tiba berlutut dan menyembah ke arah Therius.     

"Hidup Raja Therius!" kata mereka serempak.     

HIDUP RAJA THERIUS!     

HIDUP RAJA THERIUS!     

Walaupun hanya ada 51 orang yang berlutut dan menyembah Therius dan mengelu-elukannya, tetapi suasana berubah menjadi sedemikian khimad dan Emma terpukau oleh kata-kata pujian dari semua orang itu.     

Beginikah rasanya menjadi penguasa?     

'Ini hanya 50 orang... kalau aku menjadi raja, 300 juta penduduk Akkadia akan menyembahku sebagai raja. Dan kau, sebagai ratu Akkadia, juga akan mendapatkan perlakuan yang sama.'     

Therius menatap Emma lekat-lekat dan bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.     

Untuk sesaat Emma menjadi tertegun. Saat ini, Therius yang berdiri di sampingnya dan menatapnya lekat-lekat, seolah sedang menawarkan dunia kepadanya.     

Akkadia adalah sebuah kerajaan besar yang sangat maju dan menguasai seluruh planet Akkadia. Mereka juga sudah berekspansi ke berbagai sudut alam semesta dan menjelajahinya. Berbagai pangkalan luar angkasa sudah dibangun untuk menjadi perpanjangan tangan Akkadia ke seluruh dunia.     

Menguasai Akkadia, hampir sama rasanya seperti menguasai dunia.     

Emma menggigit bibir. Kekuasaan ini terlalu gemerlap dan menggoda. Ia merasakan dadanya berdebar-debar tanpa mengerti kenapa.     

Therius tampak puas melihat perubahan ekspresi di wajah Emma. Ia lalu menurunkan tangannya ke samping dan serempak semua orang, yang barusan berlutut memberi hormat kepadanya dan Emma, bangkit berdiri dan kembali ke kursi masing-masing.     

"Sekarang kau bisa mengembalikan listrik di sini," kata Therius halus. "Pertunjukan sudah selesai."     

Emma yang masih terpukau hampir tidak mendengar kata-kata Therius, hingga pemuda itu menyentuh tangannya dan memberi tanda agar Emma menyalakan kembali listrik yang tadi dimatikannya.     

"Oh... baiklah," Emma mengangguk. Dengan sapuan tangannya, seketika lampu dan semua peralatan elektronik lainnya segera kembali menyala.     

'Electromancy-mu sangat mengagumkan,' puji Therius tanpa menoleh ke arah Emma. Ia tersenyum ke arah Profesor Amara dan segera mengangguk-angguk. "Semua staf peneliti sudah berkumpul. Kita bisa mulai mendengarkan laporannya. Aku yakin ada begitu banyak penemuan menarik yang bisa dibahas di sini."     

"Baiklah, Tuan," kata Profesor Amara tanpa sedikit pun terlihat menyadari bahwa baru saja ia dan 50 orang stafnya berlutut dan memberi hormat serta mengelu-elukan Therius sebagai raja Akkadia.     

Emma turun dari panggung dan berjalan menghampiri Xion di pintu aula, membiarkan Therius dan Profesor Amara berdiri di panggung dan memanggil beberapa peneliti yang akan menyampaikan laporan hasil eksplorasi mereka sejauh ini.     

"Kau lihat tadi itu?" bisik Emma kepada Xion. Suaranya masih bernada tidak percaya. "Gila."     

Xion mengangguk singkat. "Aku punya mata, tentu saja aku lihat."     

"Dia bisa mengendalikan orang sebanyak itu sekaligus..." bisik Emma. "Aku hanya bisa mengendalikan satu saja."     

"Hmm.. kurasa Therius bisa mengendalikan jauh lebih banyak orang dari ini," kata Xion, "Tetapi ia tidak ingin menghabiskan tenaganya untuk hal yang tidak perlu."     

"Aku tidak dapat membayangkan kemampuannya yang sebenarnya seperti apa," komentar Emma.     

Xion melipat tangannya di dada dan menoleh ke arah Emma dengan wajah tersenyum jahil. "Hmm.. sepertinya kau terpesona oleh demonstrasi kekuasaan Therius barusan? Kau menyukai laki-laki yang berkuasa, ya?"     

Emma menyipitkan mata dan mendecak kesal. "Enak saja. Aku bukan gadis seperti itu."     

"Kalau kau tidak terpesona oleh sahabatku yang tampan, gagah, tangguh, dan merupakan seorang calon raja, berarti kau tidak normal," sindir Xion asal-asalan.     

"Kau...!" Emma benar-benar sebal melihat tingkah Xion. Ia memukul bahu pria itu dan kembali memusatkan perhatiannya pada Therius dan Profesor Amara di panggung.     

Keduanya tampak berjalan turun dari panggung menuju dua buah kursi kehormatan di bagian depan dan duduk dengan anggun. Mereka memperhatikan seorang peneliti berusia 40-an yang mengenakan seragam berwarna hijau naik ke atas panggung dan mulai memberikan laporan tentang hasil eksplorasi yang dilakukan beberapa tim peneliti dari pangkalan ini.     

Panggung segera berubah menjadi layar 3D yang menampilkan simulasi galaksi berwarna kemerahan dengan ratusan milyar bintang di dalamnya.     

Perhatian Emma sepenuhnya tertuju pada hasil laporan sang peneliti yang menyampaikan bahwa mereka menemukan satu lagi planet kecil yang dapat dihuni oleh manusia di kawasan galaksi Terra.     

Pikiran Emma diliputi perasaan takjub dan kagum mendengar semua pemaparan itu. Ahh... ternyata di angkasa yang demikian besar, bahkan dari ratusan milyar bintang dan planet, sangat sulit menemukan planet yang memiliki kehidupan.     

Ini membuat setiap titik kehidupan yang ada menjadi sangat berharga. Karena perbandingannya yang demikian jauh, Emma dapat membayangkan bahwa satu nyawa manusia lebih bernilai daripada jutaan bintang di alam semesta.     

***     

"Presentasi tadi cukup menarik," kata Emma kepada Therius setelah mereka keluar dari aula dan berjalan menuju ke salah satu ruangan yang sudah disiapkan oleh staf Profesor Amara untuk mereka beristirahat.     

"Menurutku juga begitu." Therius mengangguk setuju. "Akkadia memiliki 20 pangkalan luar angkasa (space base) seperti ini di seluruh dunia. Aku berharap bisa mengunjungi semuanya satu persatu selama aku hidup."     

Ia membuka pintu dan mempersilakan Emma masuk, diikuti oleh Xion. Di dalam ruangan itu telah tersedia berbagai hidangan yang tampak lezat. Dua orang pelayan segera melayani ketiga tamu penting ini untuk makan siang.     

"Setelah ini kita kemana?" tanya Emma sambil menyesap minumannya. Ia melihat wajah Xion tampak berseri-seri menyantap makanannya. Emma menepuk bahu pemuda itu. "Uhm.. kau ini terlihat seperti tidak pernah makan."     

Xion hanya mengangkat bahu sambil tertawa kecil. "Sudah kubilang, makanan di sini enak sekali."     

Therius menjelaskan kepada Emma. "Xion pernah bilang rasa kari daging yang dimasak juru masak di sini rasanya persis seperti yang dibuat ibunya."     

"Oh... pantas saja," kata Emma.     

Ia dapat mengerti bahwa bagi seorang anak, rasa masakan ibunya tentu memiliki kenangan istimewa. Ia sendiri tidak ingat rasa masakan Arreya. Emma masih terlalu kecil waktu itu untuk dapat mengingat rasa khusus dari masakan ibunya.     

Ahh.. di saat seperti ini, Emma menjadi teringat kepada Oma Lin. Ia tiba-tiba merindukan nenek yang hidup bersamanya selama setahun di Singapura dan sudah seperti neneknya sendiri itu.     

Ia ingat Oma Lin sangat suka memasak untuk tamu. Ia selalu tampak gembira ketika Emma mengundang Haoran atau teman-temannya yang lain untuk makan bersama di apartemen mereka.     

Ah... Ia sangat merindukan masakan Oma Lin. Bagaimana kabar Oma Lin sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Apakah Oma Lin masih sehat? Apakah ia kesepian tanpa Emma di rumahnya? Apakah pemerintah mengirim anak muda lain untuk tinggal bersamanya?     

Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benak Emma.     

Tanpa terasa air mata perlahan mengalir turun ke pipinya. Therius yang tidak sengaja mengangkat wajahnya untuk melihat apakah Emma menikmati makanannya seketika menjadi tertegun. Ia menghentikan mengunyah makanan dan menyentuh bahu gadis itu.     

"Apa yang membuatmu sedih?" tanya pria itu dengan penuh perhatian.     

Emma menggeleng-geleng. Ia menarik napas panjang dan mengusap matanya yang basah. Mengapa hidupnya harus serba salah seperti ini?     

Di bumi ia selalu merindukan ayah dan ibunya dan sangat ingin bertemu mereka. Tetapi di sini, saat ia akan dapat bertemu orang tuanya, ia justru merindukan Oma Lin dan teman-temannya.     

Mengapa ia tidak dapat memiliki semuanya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.