Berlatih Telemancy Dengan Therius
Berlatih Telemancy Dengan Therius
Ia juga sudah membaca isi kontrak itu dan menganggap isinya lebih seperti surat cinta daripada perjanjian. Ah... mengapa orang yang jatuh cinta bisa bersikap menggelikan seperti ini?
Sementara itu Atila yang tidak mengetahui siapa Haoran dan mengira Emma belum menikah, tampak sangat mendukung agar Emma dan Therius bersatu.
Atila hanya menganggap perjanjian ini diadakan karena Emma menolak menikah dengan Therius karena ia menganggap Therius sebagai pangeran dari bangsa penjajah Thaesi.
Dalam hati ia berharap melihat kedua manusia ini akan dapat mengatasi permusuhan di antara mereka, menikah, dan kemudian membawa perdamaian di antara Akkadia dan kerajaan-kerajaan lainnya.
"Aku hanya ingin ini cepat selesai," tukas Emma. Ia menatap Therius dan mengulangi pertanyaannya. "Jadi bagaimana prosesnya? Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Jadi kalian harus memberi tahu aku."
"Kita akan menandatanganinya dengan DNA," kata Therius.
Ia menarik sebuah pisau kecil dari laci meja dan menusuk ujung jari telunjuknya kemudian mengoleskan darahnya di sudut kanan dokumen kontrak tersebut. Ia lalu memberi tanda kepada Emma untuk memberikan dokumen kontraknya.
"Uhm kau mau apa?" tanya Emma.
"Berikan kontrak milikmu agar aku menandatanganinya," jawab Therius.
Emma berjalan ragu-ragu dan menyerahkan kertas di tangannya kepada Therius. Wajahnya tampak keheranan melihat Therius mengoleskan darahnya pada kontrak itu. "Memangnya kau tidak punya pulpen?"
Xion mendeham.
"Kami menandatangani dokumen penting dengan DNA," katanya sambil tertawa kecil. "Bisa dibilang tanda darah adalah perjanjian yang nilai ikatannya paling tinggi."
Emma menggeleng-geleng tidak mengerti. "Kalian tidak punya pengacara atau ahli hukum yang dapat menangani ini?"
Atila tersenyum dan ikut menjelaskan. "Perjanjian darah adalah tradisi lama Akkadia. Di zaman modern kita sudah menggunakan ahli hukum seperti pengacara yang Nona sebutkan tadi, tetapi dalam kondisi seperti kita sekarang yang ada di luar perabadan, maka kita dapat menggunakan perjanjian darah, dan ini mengikat karena ada saksi yang sama-sama akan memberikan tanda darah mereka juga. Ini adalah praktik biasa bagi orang-orang yang ingin mengikat pejanjian di desa terpencil, di gunung, ataupun seperti kita sekarang di luar angkasa."
"Oh...." Emma mengangguk. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli dengan tata caranya yang penting perjanjian di antara Therius dan dirinya dapat dibuat dan menjadi pegangannya selama lima tahun ke depan.
Ia memperhatikan Therius mengoleskan darahnya pada kertas perjanjain milik Emma di sudut yang sama. Sepertinya ia membagi bagian bawah kertas menjadi empat tempat untuk menaruh tanda darah, masing-masing untuk dirinya dan Therius, lalu Xion dan Atila.
Emma lalu mengambil pisau kecil dari tangan Therius, menusuk ujung jarinya sedikit lalu membubuhkan darahnya di sudut kiri kertas perjanjian miliknya dan milik Therius. Setelah itu ia menyerahkannya kepada Xion dan Atila.
"Sekarang giliran kalian," katanya kepada mereka.
Xion dan Atila mengambil giliran dan tidak lama kemudian kedua kertas itu sudah dibubuhi masing-masing empat tanda darah.
"Kau pegang satu, dan aku memegang satu," kata Therius. "Aku menyimpan salinannya di dalam tabletmu tetapi sebaiknya kau jangan menghilangkan yang asli."
"Aku mengerti," kata Emma. Ia membaca kontrak itu sekali lagi dan mengangguk puas. Setidaknya kini ia memiliki kejelasan. Selama lima tahun ke depan ia sudah memiliki rencana untuk kehidupannya. Sekarang, ia merasa lebih tenang. Emma mengangguk sedikit ke arah Atila dan Xion."Terima kasih karena kalian sudah mau menjadi saksi."
"Sama-sama, Nona," kata Atila sambil tersenyum lebar. Xion hanya mengangkat bahu.
***
Sudah dua bulan berlalu sejak mereka menandatangani kontrak itu dan menurut perhitungan Emma, mereka sudah lebih dari separuh jalan menuju Akkadia. Ia sudah mulai merasa sangat bosan. Setiap hari kegiatannya itu-itu saja.
Emma selalu menghabiskan waktu enam jam untuk belajar bersama ketiga gurunya, kemudian berlatih bersama Xion dan Therius, lalu mengunjungi Haoran.
Ia sudah dapat membaca berbagai buku apa pun yang ia inginkan karena kemampuannya dalam membaca dalam bahasa Akkadia sudah sangat baik. Ia juga sudah mulai meriset sendiri berbagai materi dan pengetahuan yang ia butuhkan untuk hidup di Akkadia.
Atila dan Anddara sangat puas dengan kemajuannya. Therius tidak pernah mengatakan apa-apa, tetapi dari sikapnya, Emma dapat mengambil kesimpulan bahwa Therius menganggapnya sangat pandai.
Mereka juga sudah mulai berlatih dasar-dasar mengendalikan pikiran. Setelah berminggu-minggu ia mengajari Emma cara bermeditasi, Therius akhirnya mengajari Emma teknik menggunakan telemancy untuk mengendalikan orang lain.
Sama seperti Xion, ia pun berprinsip bahwa Emma harus sering-sering menggunakan kemampuannya untuk melatihnya seperti otot. Sama seperti orang melatih otot mereka dengan rajin berolahraga di pusat kebugaran, maka Emma juga harus rajin melatih telemancy-nya agar ia akan dapat menjadi semakin ahli.
Setiap hari, Therius memberi Emma tugas untuk mengontrol pikiran satu orang awak kapal secara acak dan menyuruh mereka menemui Therius untuk mengantarkan barang-barang yang ia pilih sembarangan.
"Besok pagi, aku ingin kau mengirim orang untuk datang ke perpustakaan dan membawakan sebuah cangkir."
"Besok pagi, kau harus mengirim seseorang untuk mengambil cangkir dari perpustakaan dan menaruhnya kembali di lounge."
"Besok sore, kirim orang untuk mengambil buku ini dari perpustakaan dan menaruhnya di ruang belajar."
"Kau harus mengendalikan pikiran Dokter Salas untuk datang ke perpustakaan mengenakan seragam berwarna merah."
Emma harus melakukan itu semua tanpa mengeluarkan suara. Ia hanya menepuk bahu orang-orang yang menjadi targetnya dan memerintahkan mereka untuk mengikuti keinginannya.
Setiap hari, tanpa ada yang terlewat, orang demi orang akan datang ke perpustakaan dan melakukan perintah Emma sesuai dengan yang diminta Therius.
"Selama tiga minggu terakhir, kau selalu berhasil melakukan apa yang kuminta," komentar Therius pada suatu hari. Nadanya terdengar puas. "Mulai besok, kau harus mengendalikan orang-orang itu tanpa bertemu dengan mereka dan menyentuhnya."
Emma mengerutkan keningnya keheranan. "Bagaimana bisa? Aku perlu melihat mata mereka untuk mengendalikan pikiran mereka. Kalau aku tidak melihat orangnya, bagaimana aku bisa mengendalikan mereka?"
"Seharusnya sekarang kau sudah mulai bisa mencoba mengendalikan pikiran orang lain dari jarak agak jauh. Kapal ini tidak terlalu besar, kekuatan pikiranmu masih bisa menjangkau mereka," komentar Therius. "Aku akan menunjukkannya kepadamu."
Emma tertegun. Ia ingat bahwa dulu di Shanghai ketika ia sedang mandi berendam di bathtub, Emma bisa berkomunikasi dengan Haoran yang sedang berada di ruangan lain.
Apakah itu berarti telemancy-nya memang dapat digunakan walaupun dari jarak jauh?
Ia sungguh penasaran ingin melihat seperti apa penerapannya secara langsung.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Emma dengan penuh perhatian.
"Aku akan memanggil seseorang ke sini. Siapa yang ingin kau panggil?" Therius bertanya balik. "Atila, Anddara, Saul, atau Dokter Salas? Silakan pilih."
Emma tampak sangat bersemangat. Kalau memang Therius bisa mengendalikan orang dari jarak jauh... Emma sangat ingin belajar. Emma ingin bisa memiliki walau hanya setengahnya dari kekuatan Therius!
"Aku mau kau panggil Saul kemari," kata Emma.
"Baiklah. Kau mau dia memakai baju berwarna apa?" tanya Therius lagi.
"Bukankah ia biasa memakai seragam militer?" tanya Emma. "Kau bisa menyuruhnya memakai pakaian lain?"
"Tentu saja. Aku bahkan bisa membuatnya datang ke sini dengan tidak mengenakan sehelai pakaian pun."
"Astaga... Tidak usah!!" seru Emma cepat.
Ia tak tega membayangkan Saul datang dengan tubuh telanjang melintasi semua lorong di kapal ini. Bagaimanapun ia adalah kapten di kapal ini, dan reputasinya akan hancur kalau sampai ia berkeliaran telanjang di kapal.
"Baju berwarna apa?" Therius mengulangi pertanyaannya.
"Hm... Suruh dia memakai topi saja."
"Baik. Ada lagi?"
"Suruh dia membawa sebotol wine dari lounge dan sekeranjang kue."
"Baiklah."
Therius tampak berkonsentrasi sebentar dan kemudian ia mengetuk-ketukkan tangannya ke meja. Emma berkali-kali menoleh ke arah pintu dan Therius, menunggu kedatangan Saul dan melihat apa yang dilakukan Therius.
"Begitu saja?" tanyanya. "Sepertinya mudah."
Therius mengangguk. "Kau bisa duduk. Ia akan datang sebentar lagi."
Emma duduk tetapi wajahnya tampak tidak sabar. Benar saja, tidak lama kemudian terdengar ketukan di pintu.
"Masuk," seru Emma.
Pintu dibuka dan masuklah Saul dengan seragam militernya dan topi di atas kepalanya. Di tangannya ada sebuah keranjang berisi sebotol wine dan beberapa kue.
Tanpa berkata apa-apa ia menaruh keranjang di atas meja lalu berbalik dan pergi.
"Astaga..." Wajahnya tampak sangat kagum. Ia menepuk bahu Therius dan memujinya secara terbuka. "Kau hebat sekali!"
Wajah Therius tampak berbinar-binar mendengar pujian Emma. Ia mengambil sebuah kue dari keranjang dan menyerahkannya kepada Emma. "Kau mau mencobanya?"
"Hmm... aku mau mencobanya," kata Emma. "Siapa yang harus aku panggil ke sini?"
"Coba panggil Atila," kata Therius. "Kau buat ia datang kemari untuk mengambil keranjang ini dan mengembalikannya ke lounge."
"Baiklah, akan kucoba." Emma menggigit kue yang diberikan Therius kepadanya dan memfokuskan pikirannya untuk memanggil Atila ke perpustakaan. Ini sangat menarik, pikirnya.
"Sudah," kata Emma kemudian. Ia menatap Therius. "Kurasa aku berhasil mencapainya, dia sedang ada di kliniknya dan aku barusan menyuruhnya datang kemari."
Therius menatap Emma sambil tersenyum. "Kita lihat sebentar lagi apakah kau berhasil."
Emma memperhatikan ke arah pintu dengan antusias. Ia ingin tahu apakah Atila benar-benar akan masuk melalui pintu perpustakaan seperti yang ia perintahkan.
Tidak lama kemudian.
TOK TOK
Tanpa sadar Emma menahan napas.