Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Emma Yang Pendendam



Emma Yang Pendendam

"Aku mau membalasnya karena Therius membiarkanku tidur di sofa perpustakaan waktu aku ketiduran saat menonton berbagai laporan dari kapal messenger. Badanku pegal-pegal semua karena itu." omel Emma. "Kau jangan membangunkan dia ya..."     

"Apa kau bilang?" Xion tampak sangat keheranan mendengar kata-kata Emma. "Therius tidak membiarkanmu tidur di perpustakaan. Dia sudah mencoba membangunkanmu berkali-kali tetapi tidak berhasil—"     

"Dia kurang berusaha," omel Emma memotong ucapan Xion.     

"—dan dia tidak mau membiarkanku memukulmu agar bangun. Maka akhirnya dia menggendongmu ke kamar," kata Xion.     

Emma sangat terkejut mendengar kata-kata pemuda tampan berambut pirang itu.     

Ia mengerutkan keningnya dan menatap Xion lekat-lekat. "Apa tadi kau bilang? Aku tidak dengar..."     

"Kubilang, Therius tidak membiarkanmu tidur di sofa kecil di perpustakaan itu. Dia menggendongmu ke kamar karena kau sangat susah dibangunkan. Aku melihat sendiri, kok."     

Emma menelan ludah.     

"Tidak mungkin... Aku bangun di perpustakaan dengan tubuh pegal karena meringkuk di sofa kecil itu..." Suaranya terdengar sangat bingung. "Aku tidak bermimpi. Itu kenyataan. Kalau ia memang membawaku ke kamar, lalu kenapa aku bisa kembali ke perpustakaan?"     

"Jangan tanya aku..." kata Xion. "Mungkin kau berjalan dalam tidur?"     

"Enak saja. Aku tidur seperti putri," tukas Emma.     

Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini. Lebih baik ia menggunakan kesempatan ini untuk mencari tahu dari Xion tentang Therius.     

Emma sudah bertekad ingin mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang pria itu. Ia berharap dapat menemukan hal yang dapat berguna untuknya ke depan.     

"Xion... kau sudah berapa lama kenal dengan Therius?" tanyanya memulai pembicaraan. "Kurasa kau bisa bercerita kepadaku karena selama di kapal ini kita akan berteman."     

"Hmm... benar juga." Xion mengangguk setuju. "Sudah lama sekali. Aku sudah mengenal Therius selama hampir sebelas tahun. Kami bertemu di akademi. Kurasa kau sudah tahu itu."     

"Berarti kalian sangat dekat?" tanya Emma lagi.     

"Benar." Xion mengangguk.     

"Apakah kata-kata Therius tadi benar? Bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal saat ia masih kecil?" tanya Emma lagi.     

Xion mengangguk. "Itu benar. Dia tidak berbohong kepadamu untuk menarik simpatimu."     

"Oh... kasihan sekali dia," gumam Emma. Ia merasakan simpati yang begitu besar terhadap Therius saat ini karena ia sendiri mengalami bagaimana rasanya hidup sendirian tanpa orang tua sejak ia masih kecil. "Aku akan mencoba untuk tidak terlalu keras kepadanya..."     

"Ide bagus," kata Xion sambil tersenyum.     

"Hmm.. kalau kau? Bagaimana denganmu sendiri?" tanya Emma kemudian. "Apakah kau masih mempunyai keluarga?"     

Xion memandang Emma dengan penuh perhatian lalu menggeleng. "Aku tidak akan memberitahumu. Maaf."     

"Ha? Kenapa?" Emma mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti mengapa Xion tiba-tiba bersikap sok misterius begini.     

"Karena..." Xion menundukkan pandangannya. "Jika aku memberitahumu, maka aku harus membunuhmu."     

Emma seketika cegukan dan memutar matanya saat mendengar kata-kata Xion yang sok misterius.     

"Kau pasti tidak serius," omelnya. Ia lalu mengangkat bahu. "Hmph.. baiklah. Aku masih sayang nyawa. Karena itu aku tidak akan memaksamu memberitahuku tentang keluargamu."     

"Bagus." Xion tersenyum. "Kau pintar."     

Mereka kemudian menghabiskan minuman di gelas masing-masing dan memutuskan untuk beristirahat.     

"Awas! Kau jangan membangunkan dia!" ancam Emma saat mereka berdiri dari sofa dan bergerak menuju pintu lounge. "Biar dia tahu rasanya tidur meringkuk seperti itu. Sangat tidak nyaman."     

Ia benar-benar masih kesal mengingat ia ditinggalkan tidur di sofa kecil di perpustakaan waktu itu. Biar Therius juga tahu rasa!     

Xion tertawa terbahak-hak melihat betapa Emma ternyata bisa bersikap pendendam. Emma buru-buru membekap mulut pemuda itu dan memukuli bahunya agar Xion diam.     

"Astaga... jangan ribut! Nanti dia bangun..." cetus Emma. Sepasang mata topaznya menyipit dengan tatapan mengancam. Xion tertegun saat tangan Emma membekap mulutnya dan tubuh gadis itu menempel di punggungnya. Tanpa sadar, Xion memejamkan matanya dan mencium sesuatu.     

"Hmm... baumu enak sekali," komentarnya sambil tersenyum.     

"Aku bau wine, sama seperti kau. Kita sudah terlalu banyak minum," balas Emma. Ia melepaskan tangannya dari mulut Xion dan memukul punggung pria itu. "Ayo pergi!"     

Ia berjalan dengan langkah-langkah ringan meninggalkan lounge. Xion hanya berdiri menatap punggung Emma yang menjauh. Sepasang matanya tidak berkedip. Setelah Emma menghilang dari pandangannya, Xion memejamkan mata dan mencoba mengingat kembali seperti apa aroma tubuh Emma dari jarak sedekat tadi.     

Ah... wanginya enak sekali. Pantas saja Therius tergila-gila kepada gadis ini, pikir Xion. Ia menoleh ke belakang dan memandang Therius yang meringkuk ketiduran di sofa lounge, lalu menghela napas.     

"Ck... maafkan aku. Kau harus tidur di sini malam ini," kata Xion pelan. Ia lalu berjalan santai dengan kedua tangan di saku dan menuju ke kamarnya sendiri.     

***     

Ketika Therius bangun dengan tubuh pegal-pegal, ia segera menyadari bahwa seseorang sengaja membiarkannya tidur dengan tidak nyaman di sofa lounge karena ingin membalas dendam.     

Seulas senyum tersungging di benaknya saat memikirkan wajah Emma yang tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membalasnya. Ah, Emma menggemaskan sekali, pikir Therius.     

"Aduh..." Kepalanya tiba-tiba terasa begitu berat dan sakit. Dengan mengomel pelan ia lalu bangkit dari sofa dan berjalan kembali ke kamarnya. Duh... ia memang payah dalam urusan minum. Seingatnya ia bahkan belum sempat menghabiskan dua gelas, tetapi ia telah terkapar tidak sadarkan diri.     

Hmm.. mungkin tadi malam ia memang sedang merasa sangat senang dan nyaman dikeliling dua orang yang paling berarti baginya.     

Natan datang tidak lama kemudian ke ruangan Therius dan memberi sang pangeran obat anti hangover dan obat tidur agar Therius dapat beristirahat kembali dengan baik.     

Emma ingat pesan Therius bahwa tidak akan ada kelas hari ini karena ia mengalami hangover. Karena itu, setelah pelajaran kedua dengan Anddara, Emma memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Haoran.     

Selama berjam-jam, Emma hanya duduk di samping kapsul perawatan Haoran dan membaca salah satu buku yang dimasukkan Therius ke dalam tabletnya. Rasanya, hanya berada di samping Haoran, walaupun ia tidak melakukan apa-apa, mampu membuat Emma merasa lebih baik.     

Natan membiarkan Emma duduk sendiri di ruangan itu sementara ia melayani beberapa pasien yang datang mengeluhkan beberapa sakit ringan atau meminta obat.     

***     

Keesokan harinya ketika mereka kembali bertemu di perpustakaan, Emma dan Therius tidak membahas apa yang terjadi di lounge, pada hari ulang tahun Therius.     

Sang pangeran terlihat tidak marah karena dibiarkan tidur di sofa lounge. Ia juga sepertinya tidak ingat bahwa ia telah menyatakan cinta kepada Emma saat ia sedang mabuk.     

Rupanya benar kata Xion, Therius tidak akan mengingat hal itu keesokan harinya. Karenanya Emma juga sama sekali tidak akan mengungkit hal itu.     

Untuk apa? Nanti suasana di antara mereka menjadi canggung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.