Mengapa Toleransi Alkohol Therius Rendah
Mengapa Toleransi Alkohol Therius Rendah
Therius berdiri dan mempersilakan gadis itu duduk. Di meja telah terhidang beberapa hidangan yang terlihat lezat dan sebotol wine dengan tiga buah gelas.
Terlihat jelas bahwa Therius mengharapkan kedatangan Emma karena ia telah menyiapkan gelas ketiga untuk gadis itu. Xion buru-buru menuangkan wine untuk Emma dan mengajaknya bersulang. Wajahya cerah ceria seperti biasa.
"Untuk Putri Emma Stardust yang sudah berkenan datang ke perayaan kecil kita malam ini..." kata Xion dengan gembira.
Emma buru-buru mengoreksinya.
"Emma saja, tanpa embel-embel putri." Ia mengerling ke arah Therius. "Kau bilang kita bisa menghilangkan semua formalitas dan perselisihan selama di kapal dan menganggap seolah waktu berhenti?"
Wajah Therius tampak menjadi cerah. Ia mengangguk. "Itu benar. Kita anggap saja kapal ini sebagai area netral. Di sini tidak ada politik. Sampai Kapal Coralia ini mendarat kembali di Akkadia, maka aku bukan Pangeran Putra Mahkota bagimu, dan kau bukan Putri dari Thaesi bagiku."
"Kurasa itu bukan ide yang buruk," kata Emma. Ia mengangguk setuju.
Xion tersenyum lebar mendengar pernyataan keduanya. "Kalau begitu angkat gelas kalian dan bersulang untuk area netral. Tidak ada politik di sini."
Dengan agak ragu, keduanya mengangkat gelas mereka dan mendentingkannya ke gelas Xion.
Therius sangat menyukai perkembangan ini. Waktu lima bulan ke depan akan sangat melelahkan jika diisi dengan permusuhan, pikirnya. Ia bersyukur Emma cukup logis dan dapat menerima anjurannya. Setelah ini, mereka akan dapat hidup tenang selama mereka berbagi waktu di kapal.
Ketiganya lalu minum-minum dan makan dalam suasana yang cukup hangat.
Awalnya Xion yang banyak mendominasi percakapan, tetapi setelah Therius menghabiskan gelas pertama, ia pun menjadi tipsy dan mulai menjadi banyak bicara. Emma dapat melihat bahwa pria itu memang memiliki toleransi alkohol yang rendah.
"Astaga... kau baru minum satu gelas, tetapi sudah tipsy. Kurasa aku belum pernah bertemu laki-laki yang toleransi alkoholnya serendah dirimu," komentar Emma sambil lalu ketika melihat wajah Therius telah berubah menjadi kemerahan.
"Oh ya?" Therius mengangkat sebelah alisnya mendengar pernyataan Emma. Ia lalu mengangkat bahu. "Entahlah. Kurasa ini psikologis. Rasanya tidak banyak laki-laki yang ibunya meninggal bunuh diri karena kebanyakan minum minuman beralkohol."
Emma tertegun mendengar kata-kata pria itu. Ia tidak mengira Therius sudah tidak memiliki ibu. Apakah itu alasannya Therius tidak bisa minum alkohol banyak-banyak seperti Xion?
Kasihan sekali...
"Oh... aku tidak tahu itu," kata Emma. "Aku turut berduka."
"Ayahku meninggal dalam peperangan melawan pemberontak saat aku masih kecil," kata Therius. "Ibuku sangat berduka dan menghabiskan banyak waktunya minum-minum hingga mabuk. Dan pada suatu kali ia mencabut nyawanya sendiri. Hmm... kurasa ia jauh lebih mencintai ayahku daripada aku."
Emma tertegun dan untuk sesaat ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap Therius yang tampak sama sekali tidak sadar ia telah bicara terlalu banyak.
Emma merasakan dilema. Di satu sisi, ia ingin mengetahui lebih banyak tentang keluarga Therius, tetapi di sisi lain ia tidak ingin membuat Therius merasa canggung keesokan harinya karena tanpa sadar membuka banyak rahasia dirinya.
Emma sama sekali tidak menduga pemuda itu memiliki masa lalu yang cukup menyedihkan. Ia mengira, sebagai Pangeran Putra Mahkota, Therius pastilah mengalami semua kemudahan dan hidupnya dimanjakan istana. Ternyata ia salah menduga.
Bisa dibilang, sebenarnya nasib Therius lebih buruk dari nasibnya dan Haoran. Walaupun Haoran dipisahkan dari ibunya selama enam tahun, mereka telah berhasil bertemu.
Bahkan seharusnya jika tidak terjadi musibah yang lalu dan rencana Haoran bisa terlaksana, ia akan dapat menyingkirkan ayahnya saat ia mewarisi Lee Industries dan bersatu kembali dengan ibunya.
Emma terpisah dengan ibu dan ayahnya selama belasan tahun, tetapi mereka masih hidup dan selalu ada kemungkinan bagi Emma untuk suatu hari nanti dapat bertemu kembali dengan mereka.
Tetapi Therius...
Ia tak mungkin dapat bertemu kembali dengan kedua orang tuanya karena mereka sudah tidak ada di dunia ini.
Pelan-pelan hati Emma mulai merasa tersentuh dan dipenuhi simpati kepada sang pangeran.
"Lalu, siapa yang mengurusmu setelah kedua orang tuamu tiada?" tanya Emma akhirnya setelah menahan diri tidak bertanya.
"Aku dikirim untuk tinggal di istana bersama kakek dan nenekku," kata Therius. "Ibuku adalah anak perempuan kedua raja Akkadia. Ia menikah dengan seorang jenderal. Teman masa kecilnya. Mereka saling mencintai. Mungkin saking cintanya, mereka ingin sehidup dan semati."
Emma menuang wine ke gelasnya dan berusaha menahan agar air matanya tidak menggenang di kedua sudut matanya. Ia sekarang merasa benar-benar sedih untuk Therius. Perasaan marah dan benci yang pernah ada di dalam dadanya terhadap pria itu pelan-pelan menghilang.
Ahh.. tidak apa-apa, kan, kalau Emma merasakan simpati kepada Therius? Toh mereka sudah sepakat untuk berteman selama di kapal ini. Kalau nanti di Akkadia mereka kembali bermusuhan.. yang terjadilah.
"Apakah itu alasannya kakekmu mengangkatmu sebagai putra mahkota setelah kematian pamanmu?" tanya Emma kemudian.
Karena mereka sedang minum-minum dan Therius tampak mau terbuka bahkan untuk hal yang paling pribadi sekalipun, Emma merasa tidak ada salahnya ia mengorek informasi dari Therius sebanyak mungkin.
Siapa tahu ia akan dapat menemukan hal penting yang bisa ia gunakan untuk kepentingannya nanti, setelah mereka tiba di Akkadia dan kembali bermusuhan.
Emma masih sangat segar dan awas setelah gelas wine kedua, sementara Therius tampak semakin tipsy. Kalau ia terus minum dan mengajukan berbagai pertanyaan untuk mengorek Therius, tentu ia akan dapat memperoleh begitu banyak informasi.
"Hmm.. kurasa begitu. Kakekku sangat menyayangiku karena aku sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Aku juga merupakan cucu lelaki pertamanya, sehingga ia merasa sepantasnya jika aku yang diangkat sebagai pewaris takhtanya," kata Therius. "Aku diangkat sebagai pangeran putra mahkota begitu Paman Darius meninggal, dan hal ini membuat kedua sepupu laki-lakiku meradang."
"Tetapi, kau sendiri yang bilang bahwa kau perlu pernikahan politik untuk mengamankan takhta dari kedua sepupumu yang mendapatkan dukungan dari keluarga besar mereka," kata Emma lagi. "Apakah perintah kakekmu tidak memiliki kuasa sehingga sepupu-sepupumu bisa menentangnya?"
"Bukan begitu. Kakekku sudah mulai tua dan ia mendapat banyak pengaruh dari kanan dan kiri. Akhir-akhir ini ia mulai bimbang," Therius menjelaskan. "Kalau aku tidak meyakinkan kakekku dan para anggota dewan penasihat raja, maka kalau sepupuku berhasil menunjukkan bahwa mereka lebih pantas dariku, maka jabatan putra mahkota yang kusandang dapat dicabut kapan saja."