Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Mungkin Mereka Dapat Berteman



Mungkin Mereka Dapat Berteman

"Oh... jadi begitu?" Therius tertegun mendengar kata-kata Atila.     

Sungguh... ia tidak mengira Emma marah kepadanya dan menyalahkannya karena telah membiarkannya tidur di perpustakaan.     

"Benar, Tuan," jawab Atila dengan penuh hormat.     

"Aku akan mendatanginya dan menjelaskan apa yang terjadi," kata Therius akhirnya. "Kau tidak usah ikut."     

Tanpa menunggu balasan dari Atila, Therius segera berjalan dengan langkah-langkah panjang ke arah kamar Emma. Setelah tiba di depan pintu, ia pun mengetuk.     

"Nona Emma... Aku mau bicara."     

Emma yang tidak mengira Therius akan datang sendiri ke kamarnya, menjadi bertambah kesal. Ia membuka pintunya dengan wajah cemberut.     

"Badanku pegal-pegal dan aku perlu beristirahat. Ada apa?" tanyanya dengan suara ketus.     

"Hmm.. aku sudah mencoba membangunkanmu beberapa kali agar kau pindah ke kamar, tetapi kau tidak juga bangun," kata Therius tanpa basa-basi. "Aku bukan orang yang tidak punya perasaan."     

"Oh..." Emma tertegun mendengar penjelasan Therius.     

"Aku tidak ingin bersikap tidak sopan," kata Therius lagi. "Beri tahu aku. Kalau sampai hal seperti itu terjadi lagi ke depannya, apa yang kau ingin aku lakukan? Aku bisa memaksa membangunkanmu, atau menggendongmu ke kamar."     

Wajah Emma memerah saat mendengar kalimat terakhir Therius.     

"Pukul saja bahuku biar aku bangun. Tidak susah, kan?" tukas Emma ketus.     

"Baiklah. Akan kuingat," kata Therius mengangguk. "Kalau begitu, aku akan membiarkanmu beristirahat."     

Sang pangeran lalu berbalik pergi meninggalkan Emma yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat ia menutup pintu, Emma mendesah pelan.     

Baiklah, mungkin Therius tidak sejahat yang diduganya. Pria itu telah mencoba membangunkannya dan menyuruhnya pindah ke kamar. Emma pasti merasa sangat lelah sehingga ia sama sekali tidak dapat dibangunkan tadi malam.     

***     

Mereka tidak membahas hal itu sama sekali ketika mereka bertemu lagi keesokan harinya untuk belajar. Therius memberikan beberapa kalimat sederhana dan meminta Emma menuliskannya. Suasana terasa tenang dan damai. Masing-masing mereka tidak ada yang bicara kalau tidak perlu.     

Tidak terasa, pelajaran dua jam mereka akhirnya selesai juga.     

"Hmm.. kemajuanmu sudah sangat bagus," komentar Therius. "Bagaimana dengan buku-buku anak yang kuberikan waktu itu? Kau sudah bisa membacanya?"     

"Aku sudah selesai membaca dua di antaranya. Kurasa hari ini aku akan menyelesaikan buku ketiga. Kurasa kau sudah bisa memberiku buku bacaan yang lebih sulit."     

"Baiklah." Therius mengambil tablet Emma dan memasukkan beberapa buku lagi ke dalamnya. "Beri tahu aku kapan pun kau membutuhkan buku lagi."     

Emma mengangguk dan mengambil tabletnya lalu pergi meninggalkan perpustakaan. Sebelum ia tiba di pintu, ia berbalik dan tampak ragu-ragu.     

"Ada apa?" tanya Therius keheranan. "Ada yang ketinggalan?"     

"Hmm..." Emma melihat ke arah tablet di tangannya lalu ke arah Therius. Kemudian berkata, "Terima kasih."     

Therius tertegun mendengar kata-kata itu dari bibir Emma. Ia tidak mengira Emma akan mengucapkan terima kasih kepadanya.     

Ia hendak bertanya untuk apa ucapan terima kasih itu, tetapi ia terlalu kaget dan tidak berkata apa-apa, hingga akhirnya Emma berbalik dan pergi dengan menutupkan pintu di belakangnya.     

Hmm.. ini kemajuan, pikir Therius dalam hati.     

Sementara itu, Xion yang duduk di ruangan dengan ekspresi malas tampak terkesan melihat perubahan sikap Emma.     

Apakah Emma sudah berubah pandangan terhadap Therius dan tidak lagi menganggapnya sebagai musuh? Ia bertanya dalam hati.     

***     

Dalam latihannya kali ini Emma telah berhasil meningkatkan hasil serangannya menjadi 100 target kena dalam dua jam. Memang ini masih sangat jauh dari harapan, tetapi setidaknya ia dapat melihat kemajuan dari upayanya.     

Xion telah berjanji akan mengajarinya teknik menggunakan aeromancy yang lebih baik setelah Emma berhasil mencapai angka 200 tersebut, dan Emma bertekad akan berusaha keras untuk mencapainya.     

"Kemajuanmu lumayan bagus setelah dua minggu," kata Xion sambil memeriksa laporan statistik latihan di tembok. "Kapan kau akan mulai berlatih telemancy dengan Therius?"     

"Besok," kata Emma. "Kuharap dia mengajariku telemancer sama baiknya seperti dia mengajariku membaca."     

"Dari apa yang kulihat, sepertinya dia berbakat mengajar. Aku sama sekali tidak menduganya," kata Xion sambil tersenyum lebar. "Kau beruntung."     

"Hmm.." Emma sama sekali tidak mau membahas Therius. "Apakah latihan kita sekarang sudah selesai?"     

"Sudah. Kau boleh beristirahat. Aku tidak mau Therius mengomeliku karena membuatmu kelelahan dan tertidur di perpustakaan lagi," kata Xion sambil tertawa kecil. "Kau seharusnya melihat dia tadi malam. Dia sungguh bingung antara memukul bahumu atau menggendongmu ke kamar. Dia perlu waktu setengah jam hanya untuk mengambil keputusan."     

Emma mengernyitkan keningnya dan menatap Xion keheranan. "Benarkah? Kau juga ada di situ? Apakah aku memang sama sekali tidak bisa dibangunkan?"     

"Tidak bisa. Dia sudah mencoba segala cara untuk membangunkanmu dengan baik-baik, tetapi rupanya kau tidur seperti kayu."     

"Oh ya?" Emma menekap bibirnya. Ia tidak mengira ia benar-benar tidur seperti kerbau yang tidak bisa dibangunkan.     

"Aku sebenarnya sudah menyuruh Therius untuk memukulmu biar bangun tetapi dia tidak mau menyakitimu. Katanya, kalau dia sendiri dibangunkan dengan kasar, dia akan sangat marah dan bisa membunuh orang," kata Xion sambil geleng-geleng kepala. "Jadi dia tidak mau mengambil risiko kau hendak membunuhnya kalau ia membangunkanmu dengan paksa."     

Emma menyipitkan matanya dan menatap Xion lekat-lekat. Entah kenapa ia merasa di setiap kesempatan, Xion akan selalu berusaha memuji Therius di depan Emma untuk membuat pandangan Emma terhadap Therius berubah.     

"Bisakah kita membicarakan hal yang lain? Kau selalu saja membicarakan dia. Orang akan mengira kalian ini sepasang kekasih," kata Emma.     

Xion hanya tertawa mendengar kata-kata Emma. "Maaf. Mungkin nanti kalau aku mempunyai kekasih aku akan berhenti membicarakan Therius. Aku pikir kau sudah mulai menyukainya maka aku membahas namanya. Tadi kan kau mengucapkan terima kasih kepadanya. Apakah aku salah paham?"     

Emma menggeleng. "Aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena ia membantuku membaca. Permusuhan kami tidak berubah. Namun, aku orang yang tahu menghargai orang lain dan tahu terima kasih."     

"Aku tidak mengerti maksudnya," kata Therius. "Jadi, itu artinya kau masih membencinya atau tidak?"     

Emma terdiam sesaat dan berusaha mencari kata-kata yang tepat.     

"Hmm.. kurasa, aku mulai bisa mengenal seperti apa Therius itu sebenarnya. Ia hanya melakukan hal-hal yang menurutnya benar, untuk menjaga kepentingannya. Aku tidak menyukai caranya, tetapi aku bisa mengerti kenapa ia melakukannya." Emma menarik napas panjang. "Bisa dibilang, aku tidak membenci Therius sebagai dirinya sendiri, tetapi aku membencinya karena kedudukannya sebagai pangeran putra mahkota Akkadia yang menjajah Thaesi dan memenjarakan ayahku."     

Xion mengangguk-angguk. Ia mengerti apa maksud Emma. Sebenarnya, kalau mereka tidak berada dalam posisi seperti sekarang, jika mereka bertemu sebagai manusia-manusia biasa, mungkin mereka bisa berteman.     

"Aku mengerti," kata Xion akhirnya.     

"Bagus kalau kau mengerti. Kuharapa kau tidak terus-terusan membahasnya di depanku." Emma berdiri dan membungkuk sedikit kepada Xion. "Terima kasih atas latihan hari ini. Aku mau beristirahat dulu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.