Kesedihan Emma
Kesedihan Emma
"Kau bisa bicara sekarang," kata Therius akhirnya kepada sang operator menara. "Aku ingin mendengar semuanya."
Laki-laki di layar mengangguk hormat dan mengulangi berita yang tadi hendak disampaikannya.
"Minggu lalu Raja Cassius memerintahkan Mentri Pertahanan menghukum mati Jenderal Kaoshin Stardust secara terbuka. Putri Arreya sangat marah dan segera menyerahkan semua pasukan yang bisa dikumpulkannya untuk menyerang Akkadia. Mereka berhasil menyusup ke ibukota dan mencuri mayat Jenderal Stardust serta menculik putri sandera dari Thaesi. Sekarang mereka tidak memiliki alasan lagi untuk maju ke dalam perang terbuka."
Therius merasakan tubuhnya terhuyung. Ia harus menahan tubuhnya dengan tangan di kursi di sampingnya agar ia tidak jatuh terduduk ke kursi itu.
Emma...
Emma dalam bahaya, pikirnya. Setelah Jenderal Stardust dan putri raja Thaesi diambil dari ibukota Akkadia, kini dengan ia membawa Emma pulang, gadis itu akan menjadi sandera berikutnya.
Emma meronta-ronta saat Xion membawanya ke kamarnya. Ia menjerit dan melemparkan bola api dan petir kesana-kemari. Orang-orang yang melihat mereka menjadi kaget dan ketakutan. Xion terpaksa menggendong Emma dan memeluknya erat-erat agar Emma tidak dapat bergerak.
"Kau mau membunuh kita semua?" tanya pemuda itu. "Tenangkan dirimu dulu. Kita tidak tahu berita apa yang dibawa orang dari menara itu."
"Aku tahu apa yang terjadi... Aku bisa menduga apa yang terjadi... Aku tidak bodoh..." Emma menangis pedih. Ia hendak mengayunkan tangannya dan melemparkan bola api lagi, tetapi tubuhnnya ditahan erat oleh Xion. Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak.
Akhirnya, Emma berusaha melepaskan diri dengan menyalakan api di sekujur tubuhnya.
"Ugh... kau ini. Ini sangat berbahaya..." tukas Xion yang sigap menggunakan cryomancy untuk mendinginkan tubuhnya sehingga api dari Emma tidak membuatnya terbakar. Ia lalu mengisap oksigen di sekitar mereka sehingga api di tubuh Emma langsung padam.
"Turunkan aku!" bentak Emma berkali-kali. Ia mencoba menyerang Xion dengan electromancy, hanya beberapa kali Xion terlihat mengernyit kesakitan akibat sengatan listrik dari Emma. Ia berhasil menahannya dengan mengeluarkan energi lebih besar untuk melindungi diri.
Emma lalu mencoba menghantam Xion dengan hydromancy. Tubuh pemuda itu menjadi basah kuyup oleh guyuran air yang datangnya entah dari mana. Dengan tabah Xion tetap berjalan dengan langkah-langkah panjang membawa Emma ke kamarnya.
Setelah berkali-kali mencoba melepaskan diri dari Xion tetapi gagal, akhirnya Emma hanya bisa menangis dan menyerah. Suara tangisnya terdengar pedih sekali.
Karena tidak sabar, Xion akhirnya melesat terbang ke arah kamar mereka dan tidak lama kemudian ia sudah tiba di depan pintu kamar Emma. Pintu itu terbuka dan ia segera masuk ke dalam.
"Aku akan menurunkanmu, tetapi kau harus berjanji tidak akan membuat keributan," kata Xion. "Kalau kau tidak berjanji... aku akan tetap menggendongmu seperti ini dan tidak akan melepaskanmu."
Emma tidak menjawab. Ia telah berjanji untuk mengikuti integritas ayahnya dan memegang kata-katanya. Tetapi apa yang diperoleh ayahnya dengan menjadi orang yang berintegritas? Tidak ada.
Malah... Emma menduga sekarang ayahnya justru telah tiada.
Tidak mungkin ibunya akan berlaku nekad dan menyerang Akkadia tanpa alasan yang sangat kuat. Seperti yang pernah disampaikan Therius, satu-satunya alasan Raja Akkadia menahan Kaoshin dan membiarkannya tetap hidup adalah untuk mencegah agar putri Arreya tidak menyerang Akkadia.
Lalu, apakah yang terjadi sebenarnya? Apakah ayahnya sudah mati? Apakah ayahnya mati secara wajar ataukah dibunuh?
Tapi kalau ayahnya mati secara wajar, tidak mungkin ibunya menyerang Akkadia dengan membabi buta.
Emma kembali berusaha melepaskan diri dari dekapan Xion tetapi tidak berhasil. Ia terus berusaha memberontak, tetapi pada dasarnya Xion memang jauh lebih kuat daripada dirinya. Setelah cukup lama berusaha memberontak dan menjerit, akhirnya Emma menyerah dan menangis lagi.
Air matanya kembali membanjiri pakaian Xion yang barusan sudah dikeringkannya dengan aeromancy. Xion sama sekali tidak marah karena dari tadi diserang dan tubuhnya dibasahi oleh Emma. Hatinya merasa tergugah melihat Emma dalam keadaan seperti ini.
Ia terus memeluk Emma erat-erat, bukan saja untuk mencegahnya kabur dan membuat kerusakan di kapal, tetapi juga karena ia merasa bersimpati kepada gadis itu.
Dalam hati, Xion juga memiliki dugaan yang sama, bahwa telah terjadi sesuatu kepada Kaoshin Stardust, sehingga Putri Arreya memberontak. Namun, ia terus berharap bahwa hal itu tidak benar.
Ia berharap ia salah....
Emma terus menangis tersedu-sedu dan memanggil nama ayahnya berkali-kali. Wajahnya sembab dan pakaiannya juga telah basah oleh banjir air matanya. Setelah satu jam menangis tanpa henti, akhirnya gadis itu menjadi lelah dan kehabisan tenaga. Kepalanya terkulai dan jatuh ke samping.
Xion, yang sedari tadi berdiri menggendongnya dan menahan tubuh Emma, tertegun melihat gadis itu akhirnya tidur karena kelelahan menangis. Ia melihat ke arah pakaian mereka dan menyadari keduanya sudah basah.
Ia tidak tahu wanita bisa mengeluarkan air mata sebanyak itu.
Akhirnya ia berjalan menuju tempat tidur dan dengan hati-hati meletakkan tubuh gadis itu di sana. Ia memastikan dulu bahwa Emma memang benar-benar tidur dan tidak berpura-pura.
Ah, Emma benar-benar kelelahan, pikir Xion.
Ia merasa sangat kasihan kepada gadis itu. Semua harapannya selama enam bulan terakhir menjadi hancur tak bersisa. Tadinya Emma mengira dengan ia pulang ke Akkadia, ia akan dapat bertemu ayah dan ibunya kembali...
Ternyata, justru kabar buruk yang terjadi.
Ia tak dapat membayangkan. Emma telah tinggal di planet asing sendirian selama belasan tahun. Dan kini ia kembali menjadi sendirian. Haoran sedang koma dan ayahnya sudah tiada. Xion bahkan tidak yakin bahwa Putri Arreya akan dapat bertahan menghadapi serangan balik para prajurit dari Akkadia.
Pemuda itu hanya bisa duduk tercenung melihat Emma terbaring meringkuk di tempat tidur dengan wajah sembap dan dipenuhi air mata.
Ia belum pernah melihat Emma serapuh ini.
***
Therius benar-benar murka. Ia mendengarkan baik-baik laporan dari staf menara pendaratan dan segera meminta dihubungkan dengan mentri pertahanan untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
"Raja Cassius sedang terbaring sakit dan sekarang tidak dapat ditemui. Tetapi kami mendapat perintah dari beliau yang disampaikan oleh Pangeran Yared bahwa Raja ingin memberi contoh kepada para pemberontak dengan menghukum mati para tawanan politik," Mentri Pertahanan, Jenderal Lenka menjelaskan kepada Therius dengan penuh hormat. "Karena itulah, minggu lalu kamu mengadakan eksekusi terbuka di alun-alun ibukota."
"Kenapa kalian percaya kepada Yared begitu saja?" tanya Therius. Ia benar-benar dipenuhi kemarahan, tetapi wajahnya tetap berusaha terlihat tenang dan kepalanya tetap dingin.
Ia tidak boleh dikuasai kemarahan, karena di saat kritis seperti ini, ia harus dapat tetap berpikir tenang dan penuh perhitungan. Nasib Emma ada di tangannya dan ia tidak boleh salah melangkah.
"Kami percaya kepada Pangeran Yared karena kami melihat sendiri Paduka yang mulia Raja Cassius memberikan perintah itu dari kamar tidurnya," jawab Jenderal Lenka. "Paduka memberi perintah itu sebelum kesehatannya memburuk."
"Hmm..." Therius mendengus pelan. Ia mengerutkan keningnya dan mencoba memikirkan berbagai kemungkinan. "Apa ada peristiwa penting yang terjadi sebelum Raja mengeluarkan perintah itu?"
"Ada, Yang Mulia," jawab Jenderal Lenka. "Pasukan penjaga perbatasan kita dengan Thaesi dibantai habis oleh pasukan Putri Arreya. Komandan pemimpin pasukan di sana adalah anak tunggal Mentri Keuangan. Anda tahu beliau sangat dekat dengan raja."
"Brengsek," gerutu Therius pelan. Ia kini sudah dapat menduga apa yang terjadi. Ia tahu Putri Arreya tidak bodoh dan tak akan menyerang tanpa sebab. Besar kemungkinan ia dijebak.
Therius menduga entah Heron, entah Yared, salah satu dari kedua sepupunya itu yang dengan jahat membantai pasukan Akkadia di perbatasan dan kemudian menyalahkan Putri Arreya untuk memancing kemarahan dan dendam mentri keuangan yang mereka tahu sangat dekat dengan raja.
Lalu selebihnya sudah dapat ditebak. Raja Cassius menggap sia-sia untuk berdamai dengan Thaesi, dan kemudian menghukum mati Kaoshin Stardust sebagai hukuman terhadap Putri Arreya yang dulu telah mempermalukan keluarga raja Akkadia, dan kini membunuh putra mentri keuangan.
Padahal sebenarnya bukan Putri Arreya yang bertanggung jawab atas penyerangan itu. Raja Cassius pasti benar-benar sedang marah, ditambah lagi kesehatannya sudah memburuk, sehingga ia tidak dapat berpikir jernih.
Ahh.. Therius ingin segera tiba di istana untuk dapat melihat sendiri keadaan kakeknya dan mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia juga harus segera memikirkan tindakan apa yang harus ia ambil untuk menghukum Heron dan membalas perbuatan Yared.
Ia lalu menoleh kepada Jenderal Moria. "Setelah kita mendarat, kau jangan dulu berangkat ke Thaesi untuk menyerang mereka. Tunggu perintah dariku. Aku akan ke istana dan menemui kakekku dan membahas apa yang terjadi kepadanya."
Jendera Moria mengangguk. "Baik, Yang Mulia."
"Kau tunggu di kapal dan siap siaga. Aku akan segera memberitahumu apa yang harus dilakukan."
Therius bangkit dari kursinya dan berjalan keluar anjungan. Ia harus segera menemui Emma dan memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Dengan langkah-langkah panjang ia segera berjalan menuju kamar Emma. Setelah ia tiba di sana, Therius segera mengetuk pintu. Xion membukakan pintu untuknya dan mereka saling pandang dengan wajah keruh.
Tanpa bertanya, Xion sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Pastilah sesuatu yang sangat buruk.