Di Istana Pangeran Putra Mahkota
Di Istana Pangeran Putra Mahkota
Emma telah melihat sendiri seperti apa Jenderal Moria dan pasukannya di The Dragonite. Mereka semua sangat tangguh dan terlatih. Kalau Jenderal Moria dan semua pasukannya di The Dragonite hendak menyerang ibunya, Emma tidak yakin Putri Arreya akan dapat bertahan.
"Therius sedang di istana Raja Cassius. Ia akan pulang nanti malam. Kau bisa membersihkan diri dulu dan makan untuk memulihkan kekuatanmu," bujuk Xion. "Kita akan bertemu dengannya nanti malam dan bicara. Ada banyak hal penting yang harus kita bahas bersama-sama."
Akhirnya Emma mengangguk pelan. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hampir terjatuh ketika mencoba bangun dan berdiri dengan kedua kakinya.
Oh... mengapa ia menjadi begini lemah dan tak berdaya?
"Sini kubantu," kata Xion buru-buru. Ia segera menopang tubuh gadis itu dan memapahnya. "Kau duduk saja di sofa ini. Aku akan memanggil pelayan untuk membantumu membersihkan diri dan berganti pakaian."
Emma tidak dapat menolak pertolongan Xion karena ia tidak punya pilihan. Ia tidak mengerti kenapa tubuhnya terasa demikian lemah dan seolah tidak bertulang.
Setelah memastikan Emma duduk dengan baik, Xion keluar kamar dan memanggil pelayan untuk membantu Emma. Ia datang tidak lama kemudian dengan dua orang wanita muda yang memakai seragam rapi berwarna serba hitam.
"Tuan Putri perlu berganti pakaian, kalian tolong bantu dia," kata Xion kepada mereka.
Kedua pelayan wanita itu mengangguk hormat dan segera menghampiri Emma, sementara Xion keluar dari kamar.
Setelah pemuda itu pergi, barulah Emma dapat mempelajari kamar tempatnya berada. Ia kemudian menyadari bahwa ia belum pernah melihat ruangan yang demikian indah dan mewah.
Ia belum pernah melihat ruangan semewah ini bahkan dalam majalah-majalah gaya hidup yang menampilkan kehidupan orang-orang terkaya di bumi.
Kamarnya ini berukuran sangat luas dengan langit-langit yang tinggi dan beberapa tiang penopang yang terlihat seperti marmer berkilauan dengan berbagai ukiran yang cantik. Seolah berada di tengah karya seni yang hidup.
Kalau ia dapat mengira-ngira, tinggi masing-masing tiang saja sekitar enam meter. Ia merasa seolah berada di istana kaum raksasa. Mengapa ruangan ini besar sekali?
Tempat tidurnya terletak di tengah ruangan dengan desain yang sangat indah dan terbuat dari kayu solid yang diukir dengan tingkat cita rasa seni yang sangat tinggi. Di atas tempat tidur terdapat kasur yang sangat nyaman dan linen berwarna biru muda yang terlihat mewah dan indah.
Ada karpet tebal dan empuk di sekeliling tempat tidur. Ketika ia menginjaknya, Emma langsung teringat pada pada istilah ' seolah melangkah di atas awan'. Mungkin beginilah yang dimaksud orang-orang itu, pikirnya.
Terdapat berbagai perabotan lain di ruangan megah itu dan semuanya tampak sangat menawan.
Sungguh ruangan yang sangat layak untuk seorang putri, pikir Emma. Ia kemudian teringat pada perkataan Haoran suatu kali yang mengatakan bahwa Emma hanya pantas mendapatkan segala sesuatu yang layak untuk seorang putri.
Ahh.. betapa Emma sangat merindukannya.
Emma kembali memandang ke sekelilingnya dan mengagumi semua yang ia lihat. Ia ingat bahwa Therius adalah seorang putra mahkota dari kerajaan Akkadia yang sangat besar dan maju. Tentu saja istananya harus sepadan dengan kedudukannya.
Untuk sesaat Emma melupakan kesedihannya ketika ia termangu memandang ke sekelilingnya. Ia belum pernah melihat tempat seindah ini dan tak kuasa menjadi terpesona oleh keindahan yang ada di sekitarnya.
Siapakah yang dulu tinggal di kamar ini sebelum ia datang?
"Tuan Putri, kami akan membantu Anda mandi dan berpakaian," sapa seorang pelayan dengan suara yang sangat ramah.
Emma mengangkat wajahnya dan menatap kedua wanita muda itu. Ia mengerutkan keningnya dan membaca pikiran para pelayannya ini. Emma ingin mengetahui apa yang dipikirkan para wanita itu tentang dirinya.
'Oh.. inikah putri Jenderal Stardust dan Putri Arreya itu? Cantik sekali.. Tapi, oh.. sungguh malang nasibnya...'
'Apakah ia mengetahui bahwa ayahnya baru saja dihukum mati seminggu yang lalu? Oh.. kasihannya. Ia pasti menangis terus-menerus. Kedua matanya tampak bengkak dan penampilannya begitu kusut.'
Emma segera membuang muka dan tidak mau membaca lagi. Ia belum siap mendengarkan apa yang terjadi kepada ayahnya.
Ia sudah tahu Kaoshin meninggal dunia. Xion sudah mengonfirmasi dugaannya tersebut. Namun, Emma belum mau mendengar secara mendetail apa yang terjadi kepada ayahnya, apalagi mendengar hal ini dari orang lain.
Jadi.. ayahku dieksekusi? Oh, Tuhan...
Emma mencoba menenangkann diri. Akhirnya ia berusaha mengosongkan pikirannya dan membiarkan kedua wanita itu melayaninya.
"Namaku Ola dan ini Kira," kata pelayan pertama dengan penuh hormat. "Kami akan membantu Tuan Putri untuk mandi dan berpakaian, lalu menyiapkan segala keperluan Anda. Setelah Anda selesai, Tuan Xion menunggu Yang Mulia di ruang makan untuk makan bersama."
Emma hanya mengangguk, tanda mengerti.
"Terima kasih," katanya lemah.
Ola menyiapkan air hangat untuk mandi di bak mandi pualam yang terletak di tengah kamar, dan memiliki desain sangat indah. Ia lalu meneteskan minyak wewangian ke air hangat dan beberapa cairan yang sepertinya berguna untuk membuat relaks. Segera saja seisi ruangan dipenuhi aroma wangi yang membuat perasaan Emma menjadi tenang.
Sementara itu, Kira membantu Emma melepaskan pakaian. Awalnya Emma hendak menolak karena ia tidak terbiasa dilayani seperti ini. Ia dapat membuka pakaiannya sendiri, mandi sendiri, dan berpakaian sendiri. Ia bukan orang cacat!
Namun ternyata, saat ia mencoba melepaskan kancing pakaiannya, Emma menyadari bahwa bahkan tangannya terlalu lemah untuk dapat melakukan hal sesederhana itu. Ia benar-benar kehilangan kekuatannya.
Terpaksa ia akhirnya membiarkan saja Kira membantunya. Lagipula, dari ajaran Atila sewaktu di kapal, Emma mengetahui bahwa seorang putri harus biasa menerima bantuan para pelayan dan asisten agar ia dapat fokus pada hal-hal lain yang jauh lebih penting.
Setelah Emma berendam di bak mandi yang berisi air hangat yang beraroma sangat wangi, pelan-pelan gadis itu mulai merasa relaks. Ia memejamkan mata dan berusaha melupakan semua hal buruk yang terjadi selama enam bulan terakhir. Sebelum ia dan Haoran pergi ke bulan dan bertemu AWA.
Ia hanya berusaha mengingat momen-momen membahagiakan saat ia dan Haoran berjalan-jalan di Swiss. Kemudian saat ia dan Haoran berkunjung ke Shanghai untuk menemui ibu kandung Haoran.
Lalu mereka menikah diam-diam di Shanghai karena Haoran memutuskan untuk bersama Emma bahkan hingga ke ujung dunia saat gadis itu menetapkan tekadnya untuk pulang ke Akkadia.
Hanya dengan memikirkan hal-hal indah itu sajalah yang mampu membuat Emma bertahan tidak menjadi gila di tengah kesedihan yang sekarang sedang melandanya.