Kalau Begitu, Aku Bersedia Menikah Denganmu
Kalau Begitu, Aku Bersedia Menikah Denganmu
"Maksudmu.. Nenekku?" tanya pemuda itu dengan suara lelah. "Aku pikir juga begitu."
Emma terkejut mendengar kata-kata Therius. Ternyata pemuda itu juga punya dugaan yang sama dengannya...
"Kau pikir memang dia pelakunya?" tanya Emma. Ia mencengkram bahu Therius dengan emosional. "Penyihir tua brengsek!"
Air matanya mengalir karena rasa marah yang luar biasa. Ia masih belum mau melihat berita apa pun tentang eksekusi ayahnya. Ia tidak sanggup. Tetapi dari Kira, ia telah mendengar bahwa ayahnya digantung di alun-alun seperti pada zaman barbar.
Pemerintah Akkadia menjadikan kematian ayahnya sebagai tontonan dan membuat Kaoshin dipermalukan pada hari kematiannya. Selama acara makan malam tadi, Emma berusaha keras menahan dirinya agar tidak menampakkan emosi di permukaan.
Sungguh memerlukan upaya keras yang menguras energi. Ia tadinya sengaja berbaik-baik di depan Raja Cassius untuk membujuk agar ia diizinkan meninggalkan Akkadia. Tak disangka, kedatangannya ke istana raja justru berhasil membuatnya menemukan petunjuk tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya.
Tadinya, Emma mengira itu semua hanya kecurigaannya dari nalurinya sendiri. Ia tidak tahu apakah pemikirannya masuk akal atau tidak. Namun, saat mendengar bahwa Therius juga memiliki kecurigaan yang sama, pikirannya menjadi sibuk dan dadanya bergolak oleh amarah yang kembali muncul.
"Emma.. " Therius menatap tangan Emma yang mencengkram bahunya dan ia menyentuh tangan gadis itu. "Aku tidak akan membela nenekku. Di dunia ini, kaulah yang kuanggap penting. Kalau kau mau membalaskan dendammu kepadanya, aku akan membantumu."
Emma mengangkat wajahnya dan menatap Therius dengan tatapan haru. Air mata kembali mengaliri pipinya setelah ia berhasil menahan diri selama seminggu agar tidak menangis. Kalau dugaan mereka benar... kalau memang Ratu Ygritlah dalang semua ini.. bagaimana bisa Emma membalas dendam?
Melawan seorang ratu sama halnya dengan melawan kerajaan Akkadia itu sendiri. Ia hanya seorang gadis muda yang tidak memiliki kekuatan pendukung. Bahkan kalaupun ia berhasil mengerahkan segenap pasukan dari Thaesi, mereka tidak akan menang melawan Akkadia.
Perang hanya akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan di antara rakyat negara-negara yang terlibat. Bukan hanya Thaesi akan kembali ditekan, akan ada begitu banyak orang yang mati.. lalu akhirnya, mereka akan kalah.
Lalu apa yang akan terjadi kepada Emma? Ia akan tetap menjadi putri dari kerajaan koloni yang nasibnya ada di tangan penguasa Akkadia. Dendamnya tidak akan pernah terbalas dan sang ratu tua yang jahat itu akan menang.
"Therius..." Emma menarik tangannya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menyembunyikan air matanya yang mengalir semakin deras.
Pemuda itu terkejut melihat Emma tiba-tiba menangis. Tadi ia melihat Emma tampak murka dan dipenuhi dendam. Tetapi.. mengapa sekarang ia justru menangis?
Spontan pemuda itu menarik Emma ke dadanya dan membiarkan gadis itu menangis di sana. Ia memeluk erat tubuh gadis itu, seolah berbagi kesedihannya. Ia mengerti bahwa Emma sekarang sedang merasakan kesedihan akibat kematian ayahnya dan kembali berduka.
Dulu, saat ayahnya meninggal, Therius masih terlalu muda. Ketika ibunya meninggal tidak lama kemudian, ia seolah mati rasa dan tidak dapat berduka dengan baik. Beberapa minggu kemudian, barulah realisasi menggenapi pikirannya dan ia menyadari bahwa kedua orang tuanya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Mereka tidak akan pernah kembali, dan ia sudah menjadi sendirian. Setelah itu, barulah Therius dapat berduka. Ia menangis berhari-hari hingga matanya bengkak dan tubuhnya menjadi lemah.
"Aku turut berduka," hanya itu yang dapat dikatakan Therius. Ia tak mau mengucapkan hal-hal yang tidak perlu. Sejak Emma mendengar kabar kematian ayahnya, ia belum berduka dan menangis secara terbuka seperti ini.
Selama beberapa hari terakhir, ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak kembali menetes. Ia mengira air mata tidak berguna sama sekali. Ia lupa bahwa dengan menangis, ia akan dapat mengeluarkan perasaan duka yang menggerogoti hati dan pikirannya.
Kini, setelah ia bertemu Ratu Ygrit dan menduga bahwa sang ratulah biang keladi kematian ayahnya, hati Emma kembali terasa seolah dicabik-cabik. Bagaimana bisa ia membalaskan dendam ayahnya? Ia hanya seorang perempuan yang tidak mempunyai kekuatan?
Therius membiarkan Emma menghabiskan air matanya di dadanya. Pakaiannya bagian atas menjadi basah kuyup oleh tangisan pedih gadis itu, tetapi ia sama sekali tidak keberatan. Dengan tenang ia mengusap-usap punggung gadis itu, hingga akhirnya Emma menjadi tenang.
Ia merasa Emma harus melepaskan semua kesedihan dan kemarahannya ini agar tidak menggerogotinya dari dalam.
"Kau sudah tenang?" tanya sang pangeran dengan suara lembut setelah ia tidak mendengar suara tangis lagi.
Emma menarik napas panjang dan melepaskan diri dari Therius. Ia mengangguk pelan. Emma lalu mengangkat wajahnya dan menatap Therius dengan sungguh-sungguh.
"Therius... apakah kau sungguh-sungguh dengan semua ucapanmu tadi di acara makan malam?" tanya gadis itu dengan suara tercekat.
"Ucapanku yang mana?" tanya Therius. Ia dapat menduga kemana arah pertanyaan Emma, tetapi ia ingin memastikan.
"Kau bilang bahwa kau bersedia menjadi jaminanku. Kalau aku melarikan diri dan tidak kembali ke Akkadia, kau bersedia turun dari jabatan sebagai putra mahkota?" tanya Emma. Sepasang mata topaznya menatap Therius lekat-lekat. Berusaha mencari setitik saja kebohongan di sana.
Kau tidak tahu Emma...
Sejak kau menyelamatkan nyawaku waktu itu, aku hidup hanya untukmu. Aku akan melakukan apa pun demi dirimu.
Therius hanya bisa berkata dalam hati. Ia tak bisa menyampaikan itu kepada Emma karena ia takut Emma akan menganggapnya gila dan suasana syahdu yang mereka alami sekarang menjadi rusak.
"Aku sungguh-sungguh," kata Therius. Emma menatapnya cukup lama dan mengangguk pelan saat ia menemukan tidak ada sedikit pun kebohongan di mata lelaki itu.
"Kalau aku menghilang.. apakah kau sudah siap untuk tidak menjadi raja?" tanya Emma sungguh-sungguh.
"Apakah kau ingin menghilang?" tanya Therius. "Apakah kau berencana menghilang di Thaesi dan tidak akan pernah kembali kemari? Bagaimana dengan Haoran?"
Emma menggigit bibirnya. Ia berusaha berbohong, tetapi entah kenapa di bawah tatapan tajam Therius yang wajahnya hanya beberapa inci jauhnya, ia tidak kuasa mengucapkan kebohongan. "Aku akan meminta Xion membawanya pergi."
Therius mendesah. "Kalau Xion membawanya pergi, Haoran akan mati."
"Tidak. Teman ayahku yang bernama Leon..."
"Leon Kanakis?" Therius memotong ucapan Emma. "Apakah ia yang kau maksud?"
Emma mengerutkan keningnya. "Kau mengenalnya?"
Therius menatap Emma dengan pandangan prihatin. "Leon adalah bagian dari pemberontak yang dieksekusi bersama ayahmu. Kau pasti belum mengetahui hal ini."
Seketika tubuh Emma terhuyung ke belakang. Ia tidak menduga, satu-satunya orang yang diharapkannya akan dapat membantunya menyembuhkan Haoran, ternyata ikut dihukum mati bersama ayahnya.
Untuk apa lagi ia hidup? Ia sudah mendengar sendiri dari berbagai dokter yang memeriksa keadaan Haoran bahwa keadaan suaminya sudah tidak dapat ditolong lagi, kecuali oleh keajaiban. Emma selama ini bertahan karena ia mengira akan dapat bertemu dengan sahabat ayahnya yang memiliki kemampuan menyembuhkan.
Namun kini, harapan itu juga sirna. Lalu... untuk apa lagi ia hidup?
Semua ini karena rencana licik Ratu Ygrit... hanya demi memuluskan perjodohan antara Putri Yldwyn pilihannya dengan Therius.
Therius buru-buru menahan tubuh Emma. Ia langsung mengerti apa yang terjadi begitu Emma menyebut nama Leon. Pria itu adalah salah seorang sanomancer paling disegani di Akkadia.
Sayangnya ia membangkang perintah raja untuk menyembuhkan Pangeran Darius, paman Therius sepuluh tahun yang lalu sebagai protes atas hukuman yang diterima sahabatnya, Kaoshin. Ia pun dijatuhi hukuman penjara sebagai pengkhianat.
Dan minggu lalu, ketika Kaoshin dihukum mati, Leon pun dieksekusi bersama sahabatnya. Mereka hidup dan mati bersama.
Therius dapat menduga bahwa Emma ingin meminta Leon menyembuhkan Haoran, lalu ia akan melarikan diri dari Akkadia dan meninggalkan Therius menghadapi akibatnya. Ia menatap gadis itu dengan dada seolah terhimpit beban berat.
Mengapa Emma begitu tega kepadanya? Apakah gadis itu sama sekali tidak memikirkan perasaannya? Setelah semua yang Therius lakukan untuk Emma?
"Jadi.. Leon juga sudah meninggal, ya..." gumam Emma dengan suara tidak jelas. "Ini semua gara-gara nenek sihir tua itu..."
Therius melihat ekspresi Emma berubah. Tangannya kembali mengepal kuat menjadi sepasang tinju ke samping tubuhnya.
"Apakah kau ingin melarikan diri dan meninggalkanku menanggung akibatnya?" tanya Therius kepada Emma.
Gadis itu menoleh ke arahnya dan terdiam. Ia sudah memikirkan segala kemungkinan, tetapi sama sekali tidak mengira bahwa Leon pun sudah meninggal. Pupus sudah harapannya untuk mendapatkan kesembuhan bagi Haoran.
Lalu, kalaupun ia kabur meninggalkan Therius, bukan saja perang akan terjadi dan mengakibatkan banyak penderitaan, tetapi takhta Akkadia pun akan jatuh ke tangan Pangeran Yared yang mungkin akan memperlakukan Thaesi dengan lebih buruk.
Dilihat dari sudut pandang mana pun, akan sangat buruk akibatnya jika Emma pergi. Bukankah lebih baik jika Therius yang menjadi raja Akkadia? Pemuda itu sudah berjanji kepadanya untuk membebaskan semua kerajaan jajahan kalau Emma menikah dengannya?
Lalu... bukankah pembalasan dendam terbaik bagi Emma terhadap Ratu Ygrit adalah dengan membuatnya mengira Emma menikah dengan Therius? Ini akan membuat nenek sihir itu mengira semua rencana dan upayanya sia-sia belaka.
"Therius... kalau aku memintamu menghukum Ratu Ygrit atas kejahatannya terhadap keluargaku... apakah kau akan berada di pihakku?" tanya Emma dengan suara serak. Ia menatap lelaki itu dengan pandangan dalam. "Apakah kau bersedia membunuh Ratu Ygrit begitu kau naik takhta Akkadia?"
Therius mengangguk. "Aku bersedia."
Emma menarik napas panjang. "Kalau begitu... aku bersedia menikah denganmu."