Diundang Makan Malam Ke Istana Raja
Diundang Makan Malam Ke Istana Raja
"Begitu ya?" Emma mengangguk pelan. Ia kembali melayangkan pandangannya ke jendela dan menatap taman luas yang dipenuhi bunga warna-warni. Istana Pangeran Putra Mahkota ini sangat indah dan megah, tetapi entah kenapa, Emma tidak dapat mengagumi pesonanya. Ia merasa terkekang di sini.
"Dokter Atila juga barusan datang dan hendak memeriksa kondisi Yang Mulia," Kira menambahkan.
"Persilakan Atila masuk," kata Emma.
"Baik, Yang Mulia."
Beberapa menit kemudian asisten pribadi Emma yang juga merupakan seorang dokter itu telah melangkah masuk ke dalam kamar Emma. Ketika pandangannya tertumbuk pada Emma yang sedang duduk di pinggir jendela dengan ekspresi berduka, wanita itu tampak menggeleng dengan prihatin.
"Yang Mulia.. aku turut berduka untuk Jenderal Kaoshin Stardust," kata Atila dengan penuh simpati.
"Terima kasih, Atila," jawab Emma pendek. Ia berjalan menuju ke tempat tidurnya dan duduk di tepi ranjang, memberi tanda kepada Atila agar mendekat. "Atila, aku akan makan malan di istana malam ini dan bertemu Raja Cassius. Aku ingin kau ikut bersamaku."
"Baik, Yang Mulia," jawab Atila dengan patuh tanpa berani bertanya apa-apa. "Apakah Yang Mulia sudah merasa baikan? Kemarin saat aku memeriksa kondisi Anda, tubuh Anda sangat lemah."
"Aku sudah agak baikan, tetapi aku tetap membutuhkanmu di istana raja seandainya aku kembali sakit," kata Emma.
"Tentu saja, Yang Mulia. Saya akan selalu mendampingi Anda," kata Atila sungguh-sungguh.
"Terima kasih."
Sekitar pukul 5 sore, Kira dan Ola membantu Emma untuk bersiap-siap untuk acara makan malam di istana raja. Mereka memilihkan gaun cantik berwarna ungu dengan potongan anggun untuk dipakai gadis itu.
Emma kemudian mengetahui bahwa ungu adalah warna berkabung di Akkadia. Ia mengucapkan terima kasih kepada para pelayannya yang bersikap penuh pengertian dan memilihkan pakaian yang sesuai dengan kondisinya yang sedang berduka atas kematian ayahnya.
Selama dua hari terakhir, Emma sudah mengeraskan hatinya dan tidak mau menangis lagi. Ia merasa air matanya hanya akan tumpah sia-sia dan membuat tubuhnya menjadi lemah. Ia berusaha melupakan hal-hal buruk yang terjadi dan memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang baik.
Haoran masih hidup dan ada bersamanya di Akkadia. Emma hanya perlu bertahan agar ia dan Haoran tetap selamat sampai ia dapat menemukan Leon, sahabat ayahnya dan meminta Leon untuk menyembuhkan Haoran.
Ia juga harus bersyukur karena ibunya masih hidup. Walaupun saat ini Arreya pasti sedang berduka, setidaknya ibunya itu masih ada dan mereka juga telah berhasil mencuri mayat ayahnya.
Yang penting Kaoshin kini sudah berada dekat dengan keluarganya, walaupun hanya tubuhnya saja. Mereka pasti akan menguburnya di Thaesi dan Arreya akan dapat mengunjungi makamnya kapan pun.
Pukul enam kurang sedikit, ia dan Atila telah berjalan keluar kamarnya dan bersiap untuk berangkat ke istana Raja Cassius. Xion berdiri menyambut mereka di depan pintu. Wajah pemuda itu tampak resah.
"Malam ini aku makan malam sendiri," komentar pemuda itu. Ia memaksa tersenyum dan berusaha terlihat riang seperti biasanya. Namun, saat ini Emma sudah cukup mengenal Xion dan ia dapat merasakan bahwa pemuda itu merasa bersalah karena tidak dapat memenuhi permintaannya untuk membawanya bertemu orang tuanya di Thaesi.
Emma menarik napas panjang. Ia mengerti konflik yang dialami Xion dan tahu bahwa selama ini pemuda itu juga selalu bersikap baik kepadanya. Ia merasa tidak enak telah membuat Xion merasa bersalah.
"Jangan menyalahkan dirimu kalau kau tidak bisa membantuku. Aku mengerti bahwa membawaku bertemu orang tuaku di saat seperti ini sama seperti mengantar nyawa," kata Emma pelan. Ia menyentuh bahu Xion dan menepuknya, juga berusaha memaksa tersenyum.
Emma bukanlah gadis manipulatif yang akan memaksa orang lain melakukan keinginannya. Ia sudah belajar untuk mengurus dirinya sendiri dan tidak mengandalkan bantuan dari orang lain setelah ia tiba di Akkadia. Lagipula.. bukankah Therius sudah menyatakan bahwa pertemanan mereka di kapal sudah berakhir?
Emma tidak boleh menganggap kedua pemuda itu sebagai temannya yang akan membantunya. Ia harus dapat menyelesaikan sendiri masalahnya.
Xion menatap Emma dan ia mengerti bahwa gadis itu ingin menenangkannya, agar ia tidak merasa bersalah. Tapi oh.. mengapa matanya begitu sedih?
Xion belum pernah merasakan kesedihan untuk orang lain sebelumnya. Ia bukanlah orang yang memiliki empati tinggi. Tetapi, rasanya melihat Emma demikian berduka, hatinya ikut merasa sedih.
"Emma... kalau kau memiliki permintaan lain, aku akan berusaha sekuat tenaga mengabulkannya." Akhirnya hanya itu yang dapat ia katakan.
Emma tersenyum kecut mendengar kata-kata Xion. Semua keinginannya sangat sulit diwujudkan. Ia ingin bertemu orang tuanya dan melihat Haoran sembuh. Hanya dua itu saja, Tetapi sangat sulit dipenuhi.
"Tidak usah dipikirkan," kata Emma. "Aku pergi ke istana raja untuk menghadiri undangan makan malamnya. Kau malam ini makan sendiri."
Ia pun berlalu meninggalkan Xion yang termangu memandang kepergiannya dengan wajah sedih.
***
Setelah tinggal di istana Therius selama dua hari, baru kali ini Emma dapat berjalan keluar dan melihat betapa besar dan megahnya istana ini. Ia baru menjelajahi kamarnya, taman di dekat kamarnya, ruang makan, dan ruang duduk.
Sekarang ia melintasi berbagai ruangan besar dan bangunan yang entah untuk apa kegunaannya. Semua dibuat dengan ukuran besar dan berbahan indah. Atila sendiri tidak tahu banyak tentang urusan istana dan ia sama seperti Emma hanya bisa mendecak kagum pada setiap ruangan yang mereka lewati.
Di depan bangunan istana, telah menunggu dua orang lelaki dan seorang wanita yang semuanya berusia 30-an. Mereka mengenakan pakaian ringkas dan membawa senjata di pinggang mereka. Penampilan ketiganya tampak serius dan mengintimidasi. Namun, begitu mereka melihat Emma keluar istana, ketiganya segera tersenyum ramah dan mengangguk hormat.
"Selamat malam, Yang Mulia. Kami bertugas untuk menjemput Anda. Pangeran Licht menunggu Anda di istana Raja Cassius," kata seorang lelaki berambut panjang diikat rapi. Dilihat dari sikapnya, ia adalah yang paling senior di antara ketiga pengawal Therius. Ia membungkuk sedikit dan memperkenalkan kedua rekannya. "Namaku Avato, ini teman-temanku Jorrin dan Fen. Kami adalah anggota tim pengawalan Yang Mulia Pangeran Licht."
Emma hanya mengangguk. Ia sedang tidak memiliki energi untuk beramah-ramah dengan orang baru. Ia dapat menduga ketiga orang ini adalah pengawal Therius karena sikap mereka yang tampak seperti pengawal.
Emma hanya perlu membiasakan telinganya untuk mendengar nama asli Therius. Pangeran Licht.
"Silakan naik ke kereta kuda," kata Fen dengan hormat. "Istana raja Cassius tidak jauh dari sini."
Saat mendengar kata-kata Fen itu, barulah Emma menyadari bahwa di halaman istana terparkir sebuah kereta yang sangat cantik. Kereta itu terbuat dari kayu keras berukuran besar dan dapat menampung hingga delapan orang. Dan astaga...
Kereta kuda yang dimaksud Fen disebutnya sebagai 'sunka' dalam bahasa Akkadia yang oleh Emma dianggap sebagai kereta kuda seperti yang biasa dilihatnya di bumi, karena itu merupakan terjemahan yang paling mendekati.
Namun, ternyata, setelah ia melihat sunka itu secara langsung, Emma baru menyadari bahwa kereta kuda di Akkadia ini ternyata ditarik oleh kuda bersayap. Sungguh, indah sekali!
Emma merasa ia seolah bermimpi saat melihat hewan-hewan seperti kuda yang berbulu lebat dengan warna putih keperakan itu menarik kereta kencana yang menjemput Cinderella untuk datang ke pesta dansa istana.
Semua kudanya memiliki sepasang sayap yang besar dan kuat. Ada enam ekor kuda yang tampak gagah berdiri di depan kereta. Untuk sesaat Emma terpesona di tempatnya menatap kereta kuda itu.
"Yang Mulia tidak apa-apa?" tanya Atila. Suara asistennya menggugah Emma dari lamunannya. Ia segera menoleh dan mengangguk.
"Aku tidak apa-apa," kata Emma. Ia segera melangkah mendekati kereta dan naik dengan bantuan Jorrin. Tidak lama kemudian keenam kuda bersayap tersebut telah mengepakkan sayapnya dan membawa mereka ke arah Barat.
Avato benar saat mengatakan istana raja berada tidak jauh dari istana Therius. Dalam waktu tidak terlalu lama, kereta indah itu telah mendarat di tengah alun-alun kecil di dalam sebuah kompleks istana berwarna serba putih yang bahkan jauh lebih besar dan megah daripada istana Therius.
"Kita sudah tiba," kata Avato. Ia segera melompat turun dan membuka pintu kereta bagi Emma dan membantunya turun. "Pangeran menunggu Anda di dalam."
"Terima kasih," kata Emma. Ia melangkah masuk bersama Atila melewati sebuah pintu kayu raksasa. Setibanya di dalam mereka melintasi sebuah jembatan kayu yang sangat besar yang membelah kolam kecil berisi ikan berwarna-warni dan tanaman air yang berbunga indah.
Ketika Emma tiba di tengah jembatan ia telah melihat Therius berdiri menunggunya. Pemuda itu tersenyum dan berjalan menghampiri Emma sehingga mereka bertemu di tengah. Malam ini, pemuda itu tampak lebih tampan dari biasanya karena ia mengenakan pakaian kebesaran putra mahkota.
"Selamat datang di istana raja. Malam ini kau tampak cantik sekali," katanya sungguh-sungguh. "Kakekku baru sembuh dari penyakitnya. Kuharap kau tidak tersinggung kalau kata-katanya nanti agak sedikit kasar."
Emma mengangguk, tidak menjawab. Ketika Therius hendak menggandeng pinggangnya, Emma tanpa sadar menepiskan tangan pemuda itu.
'Emma... kau sudah berjanji untuk menjalankan peranmu sebagai tunanganku. Apakah kau ingin ingkar janji sekarang?'
Kata-kata Therius itu seketika membuat Emma sadar bahwa ia memang telah berjanji untuk menjalankan peranan sebagai tunangan Pangeran Licht selama lima tahun ke depan.
Tetapi... ayahnya telah tiada. Untuk apa lagi Emma berpura-pura?