~Ingin Pergi~
~Ingin Pergi~
Liu Anqier menghela napas, saat sebuah nama tercantum kecil di sana. Untuk kemudian, dia memasukkan surat itu pada tempatnya setelah dia menggulungnya dengan sangat sempurna.
Liu Anqier memandang sosok yang ada di dalam lukisan itu, kemudian dia meraba lukisan itu dengan begitu lembut. Semuanya tampak berkecamuk, di hatinya, di pikirannya, sehingga membuatnya nyaris tak bisa tidur beberapa hari ini.
"Dayang Liu…," panggil Zhang Hana, Kepala Dayang itu pun masuk ke dalam kamar Liu Anqier, membuat gadis cantik itu pun menoleh. "Selir Lim sangat ingin bertemu denganmu. Setelah beberapa waktu lalu aku berusaha untuk mencarimu. Akhirnya aku menemukanmu juga di sini,"
Liu Anqier pun langsung menyembunyikan lukisan itu, dia tampak tersenyum kaku kepada Zhang Hana. Dia kemudian meniup lilin yang ada di atas meja, kemudian dia berdiri. Membuat penerangan kini hanya di sudut-sudut kamarnya. Ya, entah kenapa dia sangat menyukai suasana temaram seperti itu, tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap. Setidaknya, hatinya yang syahdu tidak merasa nahta kasihan sama sekali. setidaknya, dia merasa kalau dirinya tak sendiri. Hanya karena temaramnya pencahayaan. Hanya karena padamnya sebagaian lilin-lilin kamarnya.
Siang sampai sore hari, setelah dia menyiapkan hidangan untuk para penghuni istana, Liu Anqier menyibukkan diri pegi ke sebuah sungai yang tak jauh dari kediaman lamanya. Melihat sungai itu membuat Liu Anqier agaknya merasa tenang, terlebih ketika melihat air mengalir dengan begitu tenang dan jernih. Dia suka dengan sungai itu, terlebih ketika dia melihat ikan-ikan kecil yang tampak berenang dengan lincah, atau pula saat dia melempar kerikil pada suangai itu. lompatan-lompatan kerikil kecil itu tampak sangat menenangkan hatinya sekali.
"Ya, Kepala Dauyang Zhang. Aku telah pindah tempat di sini sekarang. Jadi jika Anda ingin mencari, carilah di sini saja," jelas Liu Anqier. dia kemudian menyimpan barang-barangnya di bersama dengan barang yang lain, kemudian dia melihat jika kamar masih sepi, sehingga membuat Liu Anqier memutuskan untuk keluar menemui Zhang Hana. Tidak enak juga jika dia berbicara di sini bersama dengan Zhang Hana. Ini bukanlah kamar pribadinya, tapi ini adalah kamar bersama. Sungguh suatu hal yang di luar batas kesopnan jika dia melakukannya. Terlebih sekarang, bukan hanya manusia saja yang memiliki telinga, bahkan di seluruh dinding yang ada di istana pun memiliki telinga yang cukup tajam untuk mendengar bisikan selemah apa pun.
"Baiklah, marilah kita berbicara di hutan pinus yang ada di belakang, dekat pavilion barat. Di sana suasananya cukup nyaman, dan Selir Lim pun sudah menunggumu di sana," kata Zhang Hana.
"Baiklah, Kepala Dayang Zhang,"
Keduanya kini mulai berjalan dengan langkah tergesa, melihat sisi kanan dan kiri seolah ingin memastikan jika tidak ada satu pun sosok yang akan mengikuti mereka.
Liu Anqier hanya berdiam diri selama perjalanan mereka menuju pavilion barat membuat Zhang Hana agaknya bisa menangkap apa yang terjadi saat ini. sebuah situasi yang sangat rumit dan tak bisa dimengerti oleh siapa pun juga. situasi yang akan sulit dan membuat semua orang tidak akan pernah membayangkan jika ini akan terjadi.
"Kau tahu, kembalinya kau di pavilion Dayang istana benar-benar mengagetkan banyak pihak," kata Zhang Hana. Keduanya kini menyusuri jalanan setapak, sampai keduanya berada di perbatasan taman istana bagian belakang, lalu menuju ke arah hutan pinus yang dimaksud oleh Zhang Hana. Ada sebuah kolam ikan di sana, kolam yang ikan koinya cukup besar dan segar-segar, namun menurut kepercayaan, ikan-ikan itu tak ubahnya dengan seluruh makhluk di sini, penuh dengan mistis karena mereka juga kalangan dari iblis.
Tak lama setelah mereka cukip lama berjalan, akhirnya mereka sampai pada pavilion kecil yang letaknya di atas kolam ikan. Liu Anqier bisa melihat dengan jelas, ketika Lim Ming Yu sedang duduk di sana sambil memainkan kecapinya. Dawaiannya terdengar begitu indah dan nyata, sebuah seni musik kelas tinggi yang tak ada siapa pun yang bisa untuk menandinginya. Liu Anqier bahkan sangat terpukau dengan suara musik dari kecapi tersebut.
"Pheonix dalam rengkuhan rembulan, apakah kau pernah mendengar musik itu?" tanya Zhang Hana. Liu Anqier tampak menoleh, dia agaknya cukup terpesona sejingga membuatnya terpaku untuk beberapa saat. "Lagu ini memiliki makna yang indah dan sangat mendalam. Dan lagu ini bahkan di alam manusia sangat terkenal. Seniman mana yang tak mengetahuinya, terlebih untuk para pasangan yang sedang patah hati. Phoenix dalam rengkuhan rembulan menandakan suatu cinta dengan sedikit paksaan. Namun bagaimana bisa rembulan merengkuh phoenix yang memiliki sayap untuk terbang, memiliki kaki untuk mencengkeram. Sampai kapan pun rembulan tidak akan pernah bisa untuk mendapatkan pheonix. Pada akhirnya kisah cinta mereka hanyalah kisah cinta semu yang tidak tidak memiliki akhir yang indah. Cinta yang mereka miliki hanyalah cinta dalam diam, cinta yang tak bisa bersatu untuk selamanya. Sebab Pheonix memilih untuk pergi meninggalkan rembulan. Hingga pada akhirnya sang rembulan memutuskan untuk tenggelam, dan berganti dengan siang. Seperti itulah kisah cinta mereka, takdir cinta yang telah dituliskan oleh para Dewa dari langit dengan sangat nyata. Bahkan seberapa kuat keduanya untuk bersatu, yang telihat hanyalah seberapa besar jarak mereka untuk tidak akan pernah menemui titik temu. Terdengar sangat menyakitkan dan menyedihkan, namun bagaimanapun tak selamanya takdir cinta memiliki kisahnya yang indah. Adakalanya mereka memiliki takdir cinta yang memilukan, itu bukan berarti karena langit tidak sayang. hanya saja kadang-kadang harus ada sosok yang perlu dijadikan contoh, jika di dunia ada bahagia juga sedih, ada senyum dan juga air mata di dalamnya."
Liu Anqier menundukkan wajahnya, air matanya sudah mengalir begitu saja di pipi. Dia merutuki dirinya sendiri. Sial, memang. kenapa dia harus merasakan sedih seperti ini. lantunan musik yang dilantunkan Lim Ming Yu benar-benar sangat menamparnya dalam satu waktu.