Jodoh Tak Pernah Salah

Part 246 ~ Tangisan Ranti



Part 246 ~ Tangisan Ranti

"Anda galak sekali nona." Zico menyindir sambil tersenyum.     

"Gimana gue nggak galak jika lo mau sentuh kekasih gue." Clara memarahi Zico.     

"Hai nona bukannya Egi gay mana mungkin punya pacar cewek."     

"Apa lo bilang?" Clara naik pitam. Ia menampar Zico namun pria itu menepis tangannya.     

Zico malah memegang tangan Clara dan menggenggamnya dalam waktu lama.     

"Jangan berani memukulku nona jika tidak ingin mendapatkan masalah. Jika marah aku akan menyeret kamu ke ranjang."     

"Bajingan kau." Clara memaki Zico.     

"Terima kasih pujiannya." Zico tersenyum evil. Ia mencium telapak tangan Clara lalu melepaskan tangannya.     

"Ngapain lo kesini?" Egi melipat lengan bajunya karena kepanasan.     

"Gue mau ajak lo pulang."     

"Gue tahu apa yang lo lakukan."     

"Apa yang gue lakukan?" Egi malah menantang Clara.     

"Lo datang ke rumah orang tua Bara dan memberi tahu mamanya jika kalian dulunya sepasang kekasih. Akibat perbuatan lo mamanya Bara dirawat karena mengalami serangan jantung dan sekarang beliau koma."     

"Memang itu yang gue inginkan," balas Egi kejam.     

"Lo enggak punya hati dan perasaan." Clara kecewa lalu menampar pipi Egi hingga bekas tamparannya membuat jejak tangan di pipi Egi.     

"Beraninya lo nampar gue?" Egi akan membalas tamparan Clara namun dicegah Zico.     

"Jangan bro. Apa kata orang jika lo mukul cewek. Nanti lo malah kena keroyok."     

Egi mengurungkan niatnya, "Ngapain lo ngikutin gue?"     

"Kita harus pergi dari sini sebelum Bara menemukan lo."     

"Kenapa kita harus pergi?" Egi menanyakan pertanyaan konyol.     

"Lo jangan bego. Mama Bara koma di rumah sakit dan jika sampai mamanya meninggal lo nggak akan selamat Egi. Bara akan membunuh lo," ucap Clara emosi.     

"Apa lo mau mati disini tanpa tante Ira tahu nasib lo?" Clara mengingatkan.     

Egi terhenyak teringat tantenya. Emosi membuatnya melupakan sang tante yang sangat berarti dalam hidupnya.     

"Ayo kita pergi dari sini." Clara menarik tangan Egi.     

Egi meninggalkan Zico tanpa sempat pamit. Egi bak kerbau dicucuk hidungnya. Mengikuti langkah kaki Clara.     

Clara membawa Egi ke bandara. Clara sudah memesan tiket ke Jakarta. Mereka pulang dengan penerbangan terakhir. Selama dalam pesawat Egi hanya diam tak bicara sedikit pun.     

******     

Matahari telah terbit. Cahayanya memendar menerangi bumi. Burung-burung berkicauan seolah sedang bernyanyi mengagumi keindahan dunia. Bara dan Dila tertidur sambil berpelukan. Mereka menunggu Ranti yang sedang koma. Bara meminta Herman pulang untuk istirahat. Besok pagi Herman akan bergantian menunggu Ranti.     

Bara membuka matanya. Dengan hati-hati bangkit takut membangunkan Dila. Bara mendekati Ranti dan menyentuh tangan sang mama.     

"Ma bangunlah ma." Bara mengajak Ranti untuk bicara. Biasanya orang koma bisa mendengarkan orang lain bicara walau mereka tidak sadar.     

"Mama pasti kuat. Jangan bikin aku cemas ma. Aku sayang mama. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa mama." Bara menangis untuk kesekian kalinya. Jika sudah menyangkut sang mama ia akan cengeng dan lemah. Ranti segalanya bagi Bara. Selama ini mencoba menutupi penderitaannya karena menjadi korban pemerkosaan dua kali hanya demi Ranti. Bangkit dari keterpurukan juga demi Ranti. Semua Bara lakukan untuk sang mama.     

Dila terbangun dari tidurnya. Ia bangkit mendekati sang suami yang sedang bersedih. Dila mengusap punggung sang suami berusaha menenangkannya     

"Mama akan baik-baik saja sayang. Kita pasrahkan pada Allah. Aku yakin mama bisa sembuh."     

Bara berbalik menatap sang istri. Bara mengecup telapak tangan Dila. "Aku takut kehilangan mama sayang. Semalam aku mimpi buruk. Ada acara jamuan makan di rumah. Itu pertanda buruk."     

Dalam kepercayaan orang Minang jika ada keluarga yang bermimpi ada jamuan makan di rumah dan orang ramai artinya ada salah keluarga yang akan meninggal.     

"Itu hanya mimpi buruk sayang. Mimpi itu datangnya dari setan." Dila menepis kekhawatiran Bara.     

Pintu kamar berderit Herman datang, "Kalian sudah bangun?"     

"Sudah pa." Dila menjawab.     

"Dila enggak kerja?" Herman mengajukan pertanyaan pada sang menantu.     

"Dila izin pa. Mau merawat mama."     

"Terima kasih telah peduli pada Ranti."     

"Tentu aku harus peduli pa. Mamanya Bara juga mamaku. Kita keluarga pa." Dila berkata membuat Herman terharu. Herman tak salah memilih menantu.     

"Kalian sarapan dulu biar papa yang gantian jaga mama."     

Dila dan Bara pergi ke kantin rumah sakit mengisi perut mereka. Herman duduk di samping Ranti. Ia memegang tangan Ranti dan mengajaknya bicara.     

Ranti membuka matanya perlahan-lahan. Herman tersenyum sumringah melihat sang istri telah sadar.     

"Mama." Herman tersenyum manis.     

"Pa," panggil Ranti dengan suara lemah.     

"Iya ma. Ini papa disini bersama mama."     

"Pa, mama shock mengetahui Bara ternyata gay." Ranti bicara terengah-engah.     

Herman kaget bak kena petir di siang bolong mendengar ucapan sang istri.     

"Bara normal ma." Herman menepis ucapan Ranti.     

"Jangan bohong pa. Egi datang ke rumah dan memperlihatkan video ciuman mereka."     

Herman mengepal tangannya karena marah. Beraninya Egi membongkar rahasia Bara pada Ranti.     

"Melihat reaksi papa berarti papa tahu jika Egi dan Bara sepasang kekasih. Kenapa papa diam saja?"     

"Tidak ma."     

"Jangan bohong pa. Mama sudah mendampingi papa selama empat puluh tahun. Mama tahu jika papa sekarang berbohong."     

"Ma."     

"Jujurlah sama mama. Bara gay?"     

Akhirnya Herman mengalah. Percuma jika ia berbohong toh Ranti tahu jika ia tengah berbohong.     

"Berarti Bara belum sembuh dari penyakitnya pa. Kenapa papa sembunyikan dari mama? Kenapa tidak memberi tahu mama?"     

"Papa nggak ingin buat mama sakit karena kepikiran Bara. Papa nggak bisa melihat mama sakit. Papa nggak bisa."     

"Jika papa jujur sama mama mungkin Bara tidak akan jadi gay. Sebagai ibu, mama akan berusaha membimbing anak mama menjadi orang yang benar. Selama ini dia pura-pura sembuh di depan mama dan menjadi anak yang baik. Mama sedih pa." Ranti menangis tersedu-sedu.     

"Bara tidak gay lagi ma. Dia sudah bertaubat dan kembali ke kodrat. Dila membantu dia ma. Bara telah berubah walau belum sepenuhnya normal."     

"Mama tahu pa. Egi telah menceritakan semuanya sama mama. Mama lega jika Barang sudah bertaubat dan menjadi lelaki seutuhnya. Terima kasih telah mencarikan Bara istri sebaik Dila." Ranti bicara terbata-bata.     

Herman menangis terisak-isak. "Ma jangan bicara dulu. Mama harus sembuh dan baru kita bicara."     

"Tidak pa. Mama harus bicara untuk yang terakhir kalinya." Suara Ranti semakin lama semakin pelan.     

"Mama jangan bicara lagi," pinta Herman memelas.     

Napas Ranti semakin terengah-engah. Herman berteriak keras melihat keadaan Ranti yang semakin memprihatinkan. Teriakan Herman terdengar oleh Bara dan Dila. Kebetulan kantin berdekatan dengan kamar perawatan Ranti. Setelah membayar makanannya mereka buru-buru kembali ke kamar Ranti.     

"Ma jangan tinggalkan papa," Pinta Herman memegang tangan Ranti.     

"Mama." Bara dan Dila memanggilnya serentak.     

"Ba-bara. Dila." Napas Ranti semakin lama semakin sesak.     

"Iya ma." Dila dan Bara menangis memegang tangan Ranti yang satunya lagi.     

"Dila apapun yang terjadi jangan tinggalkan Bara. Dia masih butuh bimbingan kamu."     

"Iya ma. Aku janji. Mama sembuh ya ma."     

��Bara."     

"Iya ma."     

"Taubatlah. Jadilah laki-laki seutuhnya. Jangan menyimpang lagi. Kasian istrimu."     

"Iya ma. Aku janji." Bara menangis terisak-isak.     

Ranti mengucapkan dua kalimat syahadat setelah itu ia pergi menghadap Sang Maha Kuasa. Ranti telah pergi meninggalkan dunia ini dengan tenang.     

"Mama." Teriak mereka histeris.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.