Jodoh Tak Pernah Salah

Part 276 ~ Bara Menggombal 



Part 276 ~ Bara Menggombal 

"Uda aku tunggu informasi selanjutnya. Silakan hubungi aku disini." Dila memberikan kartu nama pada Fatih.     

"Terima kasih," balas Fatih menerima kartu nama Dila.     

"Sepertinya pembicaraan kita sudah cukup. Sekali lagi selamat atas pelantikannya Pak Muhammad Fatih. Semoga ilmu yang di dapat dari Al-Azhar bisa memajukan UIA. Aku mohon undur diri." Dila bangkit dari kursinya dan pergi.     

"Aku juga sudah selesai." Bara mengibaskan jas menyusul Dila yang telah dulu keluar dari auditorium.     

"Kemana mereka?" Fatih bertanya pada Dian.     

"Biasalah pasangan koplak."     

"Kok koplak sich?"     

"Mereka itu kayak gitu gayanya. Sok-sok benci padahal saling rindu."     

"Ooohhh."     

"Kak aku pamit. Selamat atas pelantikannya. Semoga sukses. Assalamualaikum."     

"Walaikumsalam."     

Bara mengejar Dila dan membawa sang istri ke dalam mobilnya dengan sedikit memaksa. Dila sempat melawan tapi tetap saja tenaganya kalah kuat dengan suaminya.     

"Kamu sudah janji lo mau bicara setelah acara ini," ucap Bara ketika mereka berada dalam mobil. Bara menghidupkan mesin mobil dan membawanya pergi dari UIA.     

"Bara aku mau kerja," cebik Dila kesal.     

"Kamu mau dihukum?" Bara menebarkan ancaman.     

"Kenapa aku dihukum?" Dila tertegun dan mengingat sesuatu. "Itu tidak berlaku karena kita sedang bertengkar."     

"Bertengkar atau tidak kita tetap suami istri."     

"Menyebalkan," gerutu Dila mencubit lengan Bara.     

"Jangan cubit ah Dil. Sakit tahu. Nanti aku cubit kamu di daerah terlarang. Semakin kamu marah aku semakin horny lo."     

"Gila."     

"Gila karena mencintai kamu."     

"Jangan gombal!"     

"Aku tidak gombal. Aku jujur."     

"Aku tidak percaya."     

"Aku tidak butuh kamu percaya apa tidak."     

"Menyebalkan."     

"Aku menyebalkan demi mengambil hatimu."     

"Kamu." Dila seakan ingin meremas muka Bara namun ia urungkan. Tak mau menjadi istri yang durhaka.     

"Kamu apa sayang?" Bara memajukan bibirnya seakan mencium bibir Dila.     

"Jangan mesum disini. Orang-orang bisa liat."     

"Orang dari luar enggak bisa melihat ke dalam. Tenang aja." Bara mengelus paha Dila.     

Dering telpon mengalihkan perhatian Bara. Ia segera mengangkat panggilan telepon dari Dian.     

:telephone_receiver: "Ada apa?"     

:telephone_receiver: "Bos aku kok ditinggal sama Abi. Bos bawa mobil kemana?" Dian memprotes.     

:telephone_receiver: "Kalian balik kantor saja pakai taksi online. Aku mengantarkan istri tercinta ke kantor."     

:telephone_receiver: "Bos menyebalkan." Dian memprotes sikap Bara.     

:telephone_receiver: "Harusnya kamu mengerti Dian. Aku merindukan istri tercinta."     

:telephone_receiver: "Terserah bos." Dian mematikan sambungan telepon.     

"Maaf tadi angkat telepon." Bara berkata pada Dila.     

"Kalo bawa mobil enggak usah jawab telepon Bara."     

Bara memiringkan badannya dan mencium bibir Dila sekelas. "Hukuman karena telah memanggil suamimu dengan nama."     

"Jangan cari alasan buat mesum." Dila memprotes tindakan Bara. "Antar aku ke kantor."     

"Tidak mau," balas Bara menggeleng.     

"Aku masih kerja Bara. Aku aka nada pertemuan dengan pemilik baru rumah sakit Harapan. Aku mau menawarkan kerja sama. Jangan halangi aku."     

"Aku akan membantu kamu dengan koneksiku."     

"Tidak mau. Aku bisa sendiri tanpa bantuan kamu."     

"Jangan menolak bantuanku Dila."     

"Ini pekerjaanku. Aku tak butuh bantuan kamu."     

"Yakin?"     

Smartphone Dila berdering. Ia pun mengangkat panggilan dari Naura     

:telephone_receiver: "Ya uni," sapa Dila lembut dan penuh rasa hormat.     

:telephone_receiver: "Dil, Pak Zico mau reschedule pertemuan kalian nanti jam tiga. Beliau buru-buru ke Jakarta ada urusan."     

:telephone_receiver: "Kapan Pak Zico kembali ke Padang uni?"     

:telephone_receiver: "Katanya seminggu lagi."     

:telephone_receiver: "Lama juga ya. Enggak bisa berurusan sama direktur keuangan gitu?"     

:telephone_receiver: "Pak Zico mau turun tangan sendiri."     

:telephone_receiver: "Baiklah."     

"Mau kemana kita sayang? Kamu gagal lo ketemuan sama pemilik rs Harapan. Kencan yuk?"     

"Enggak mau. Aku mau kerja."     

"Kalo kep bukan jam kerjanya enggak terikat?"     

"Jangan becanda Bara."     

Lagi-lagi Bara mencium bibirnya sekilas. Andai tidak menyetir mungkin Bara sudah melumat bibir Dila dengan ganas.     

"Bara kamu genit sekali." Dila mengelap bekas ciuman Bara. Dila mengambil tisu dan membersihkan bibir Bara karena lisptiknya menempel di bibir Bara.     

"Terima kasih sayang." Bara mengecup tangan Dila.     

"Kita mau kemana?"     

"Kemana saja asal kita pergi berdua."     

"Jangan bercanda."     

"Aku tidak bercanda. Kamu enggak ingat ini jalan menuju kemana?"     

"Jangan bilang ke Danau Teduh?"     

"Benar sekali. Pintarnya istriku." Bara mengedipkan mata.     

"Aku mau kerja."     

"Aku antar kamu pergi kerja dengan syarat nanti aku jemput pulang kantor."     

Dila memalingkan wajah karena tidak setuju dengan persyaratan Bara. Feelingnya sudah kuat jika dijemput pulang kantor maka akan dibawa pulang ke Danau Teduh.     

"Tidak mau."     

"Kalo tidak mau ya tidak diantar ke kantor. Kita keliling kota." Bara tersenyum penuh kemenangan. Mau tidak mau, suka tidak suka Dila harus mengikuti syarat dari Bara baru diantar pulang ke kantor.     

"Baiklah." Dila akhirnya menyerah dan menyetujui syarat dari Bara.     

"Gitu dong cantik. Makin cinta deh." Goda Bara sekali lagi.     

"Udah dech jangan gombalin aku terus." Dila merajuk manja. "Bisa diabetes aku digombalin."     

"Enggak bakal sayang," balas Bara memonyongkan bibir.     

Bara akhirnya mengantarkan Dila ke kantor. Sorenya jam lima sore Bara datang ke kantor sang istri. Tanpa sungkan Bara menunggu di dalam banking hall.     

"Ada Pak ketua," sapa Vinta si nyai badas.     

"Udah sembuh kakinya?" Tanya Bara basa basi.     

"Udah nich Pak."     

"Jangan panggil Pak, ketuaan." Bara memprotes panggilan Vinta.     

"Oh tidak bisa. Bapak kan ketua DPRD Sumbar. Seganlah kami enggak panggil Bapak."     

"Pak makasih lo bantuannya."     

"Bantuan yang mana?"     

"Bantuan penjagaan polisi waktu aku kecelakaan. Jika enggak ado kedua polisi itu mungkin aku udah mati dibunuh di rumah sakit."     

"Ah biasa aja. Kirain apa."     

"Kep Dila cantik pake hijab ya Pak. Bapak liat nggak?"     

"Liat. Malah kami ketemu di UIA."     

"Kabarnya rektor barunya masih muda ya Pak. Ganteng nggak Pak?" Vinta penasaran dengan desas desus yang beredar tentang rektor baru UIA.     

"Kalo ganteng kenapa?"     

"Bolehlah daftar," balas Vinta cengengesan.     

"Ingat udah ada Akbar." Dila tiba-tiba datang.     

"Eh ada kep. Sebelum janur kuning melengkung masih bebas kep. Aku dan Akbar belum tentu jodoh. Nanti malah jagaan jodoh orang. Pacaran sama siapa nikahnya sama siapa."     

"Yuk pulang." Dila melirik Bara.     

"Ya ampun kep enggak ada mesra-mesranya panggil Pak ketua. Panggil sayang kek, papi, honey, babe." Vinta memprotes.     

"Kep kamu memang gitu. Enggak ada romantisnya." Bara menggoda Dila.     

"Kalian jangan macam-macam ya." Dila melotot pada Vinta dan Bara. "Kalian mau keroyok aku?"     

"Enggak ada keroyok kep. Biar Pak ketua aja yang keroyok kep. Keroyok sayang." Vinta mengedipkan mata pada Bara. "Iya kan Pak ketua?"     

"Iya. Nanti kep Dila bakal dikeroyok enak."     

"Bara." Dila memanggil suaminya dengan kesal. Apa-apaan mereka berdua bekerja sama menggodanya.     

"Pulang lagi kep. Perang ma Pak ketua jangan disini cukup di ranjang aja," balas Vinta cekikikan.     

"Dada Vinta." Bara melambaikan tangan pada Vinta.     

"Jagain kep aku Pak."     

"Siap."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.