14. RENCANA PERNIKAHAN DIAN DAN ZICO
14. RENCANA PERNIKAHAN DIAN DAN ZICO
Lona tertawa terbahak-bahak pasca kepergian Dian dan Alvin. Hari ini ia sengaja menjemput Alvin di pesantren karena dua hari lagi anak itu akan ulang tahun yang kelima belas. Lona ingin merayakan pesta ulang tahun cucu kesayangannya itu. Namun sesampainya mereka di Singapura malah dapat kejutan seperti ini.
"Mami udahlah. Jangan tertawa mulu," cicit Zico menahan kesal. Sejak tadi Lona mentertawainya.
"Gimana mami enggak ketawa. Liat kami dimarahin sama Alvin. Seumur-umur baru kali ini mami liat kami diam aja ketika dimarahi."
"Bedalah mi. Alvin anak aku."
"Dia marah karena pantas marah," lanjut Lona membuat Zico bungkam.
"Mami senang lo Zi, akhirnya kalian menikah. Feeling mami enggak salah. Pasti kalian bakal jatuh cinta. Benci dan cinta beda tipis. Kalian sudah membuktikan ucapan mami. Kalian akhirnya bersatu. Enggak ada yang lebih membahagiakan mami selain berita ini."
"Mami enggak liat apa aku diomelin sama Alvin. Dicecar abis-abisan."
"Harusnya kita malu lo Zi. Kita yang diajarin sama Alvin. Mami udah setua ini baru mendekatkan diri ke Tuhan akhir-akhir ini. Kamu salah juga. Udah mami bilang jangan tinggal serumah sama Dian. Ujung-ujungnya bakal kena ceramah Alvin. Kalian udah ketangkap basah sama Alvin bermesraan."
"Cuma cium pipi dan pegang pinggang mami. Jangan lebay."
"Bagi Alvin kalian udah zina. Ingat Zico, anak kamu itu religius. Taat pada agama dan Tuhan."
"Iya mami aku tahu." Zico mengambil minuman dingin dalam kulkas lalu menenggaknya. Suasana cukup panas tadi sehingga ia butuh air dingin untuk mendinginkan hatinya.
"Sejak kapan kalian dekat?" Lona menginterogasi Zico.
"Semenjak kami tinggal di Singapura mi."
"Jadi kamu tinggal di Singapura demi Dian?" Mata Lona mengerling berusaha memastikan.
"Seperti itulah mi." Zico buka suara. Buat apa menyembunyikannya dari Lona pada akhirnya sang ibu akan mengetahuinya.
"Seperti itulah gimana? Cerita yang jelas dong Zi."
"Aku suka sama Dian ketika dia menyelamatkan aku dari G. Sejak itu aku jatuh cinta pada ibu dari anakku."
"Hanya itu?"
"Ya terus bagaimana lagi? Mami maunya gimana?"
"Kita harus melakukan persiapan untuk melamar Dian. Meski ini pernikahan kedua bagi kamu tapi bagi Dian yang pertama. Kita harus memberikan yang terbaik buat Dian."
"Mami atur aja. Aku ngikut saja kemauan mami."
"Kok ngikut aja?"
"Mami diskusi aja sama Dian. Apa kemauannya Dian kabulin aja, aku rasa dia enggak bakal minta yang macam-macam. Aku masih shock dimarahin Alvin. Sikapnya tadi seperti seorang ayah yang lagi melindungi anaknya." Zico tersipu malu.
"Itu tebakan Alvin benar? Dian hamil lagi?"
Minuman Zico tersembur mendengar pertanyaan Lona. Zico tiba- tiba tersedak. Lona menepuk punggung Zico.
"Aduh Zi. Kalo minum hati-hati dong."
"Gara-gara mami," cebik Zico meminum segelas air.
"Coba mami enggak tanya, enggak mungkin aku tersedak." Zico menaruh gelas agak keras di atas mini bar. Pertanyaan Lona ada-ada saja, membuat dunianya jungkir balik.
"Berarti benar dong jika kalian sudah melangkah sejauh itu." Lona menggunakan kata-kata yang lebih sopan. Tak mau terlalu vulgar bicara pada Zico.
"Iya, kami sudah melakukannya. Mami puas?" Jawab Zico dengan wajah galak.
"Karena itu kalian memutuskan menikah?"
"Bukannya hanya itu saja sih. Aku sebenarnya udah dari lama mau melamar Dian, cuma liat sikap acuh tak acuh Dian jadi minder. Setelah kekhilafan itu makanya aku berani lamar Dian. Enggak nyangka juga dia bakal suka sama aku. Dian panik mi, aku keluar di dalam waktu itu. Dian baru saja selesai datang bulan. Takut hamil duluan."
Lona mencubit lengan Zico karena telah berani bicara tanpa rem. Masa bilang 'aku keluar di dalam waktu itu' tanpa rasa malu dan bersalah.
"Mulutnya filter dong Zi. Masa ngomong terlalu jelas sama mami."
"Salah lagi." Zico mengacak rambutnya.
"Jujur salah, bohong lebih salah. Mau mami apa sih?"
"Maunya mami kalian cepat nikah aja. Mana tahu kamu tokcer langsung jadi."
"Mana mungkin bisa cepat-cepat mi. Bisa-bisa Pak Rahman dan Ibu Asti curiga lagi."
"Kalian nikah aja dulu. Resepsi bisa kapan-kapan. Kalo bisa minggu depan kalian sudah menikah. Resmi secara agama dan negara dulu."
"Aku diskusikan sama Dian dulu mi."
"Diskusi boleh tapi jangan dikamar ya Zi. Nanti khilaf lagi." Lona menutup mulutnya meninggalkan Zico.
"Mami." Gigi Zico bergemeletuk.
Zico mengirimkan pesan ke Dian. Ia menunggu Dian di taman belakang dekat kolam renang. Dian memakai jubah tidurnya lalu menyusul Zico ke belakang.
"Alvin udah tidur?" Tanya Zico ketika melihat kedatangan Dian.
"Sudah. Dia kecapekan banget. Aku mau tidur malah kamu ajakin kesini. Ada apa?"
"Mami minta kita segera nikah. Mami mau minggu depan kita udah nikah. Mami takut adik Alvin lahir dari kekhilafan kita kemarin."
"Kamu cerita sama mami?" Dian menutup wajahnya karena malu.
"Kamu bikin malu aja sih Zi." Dian memukul Zico. Mau ditaruh dimana mukanya jika bertemu dengan Lona.
"Santai aja. Mami enggak bakal goda kamu." Zico malah memeluk Dian.
"Lepas Zi." Dian mengingatkan. "Nanti Alvin liat bisa kacau lagi."
"Bukannya dia udah tidur? Sebentar saja. Aku ingin memeluk kamu Di."
"Enggak bisa sabar gitu? Jika kita dah nikah kamu bebas meluk kapan aja."
"Maunya sekarang Di," rajuk Zico sok manja.
Zico melepaskan pelukannya lalu mengajak Dian duduk.
"Gimana Di? Kamu setuju enggak kalo kita nikah minggu depan? Kamu enggak usah pusing urus persiapan pernikahan kita. Biar aja mami yang urus. Resepsinya nyusul aja. Aku takut lo sama ancaman Alvin." Zico tertawa miris.
"Jika malam itu apa yang aku tumpahkan ke kamu jadi adiknya Alvin, enggak tahu deh apa yang bakal dilakukan anak itu sama kita. Minimal kita nikah dulu."
"Aku setuju aja Zi, cuma ayah dan ibu gimana?"
"Besok kita pulang ke Bandung."
"Alvin dan mami baru aja datang kok kita ke Bandung?"
"Bawa aja mereka ke Bandung. Mami itu bawa Alvin kesini buat merayakan ulang tahun cucunya. Bukankah dua hari lagi Alvin ulang tahun?"
"Alvin mana mau rayakan ulang tahun."
"Tadi aku udah bilang sama mami."
"Terus?"
"Mami ubah rencana kayaknya."
"Mending kita kasih sumbangan ke panti asuhan memperingati ulang tahun Alvin. Tiap tahun kayak gitu aja."
"Ide yang bagus." Zico kembali memeluk Dian. Mencium puncak kepala Dian.
Dian hanya pasrah mendapatkan perlakuan yang manis dari Zico.
"Besok kita pulang jam berapa?"
"Pagi jam delapan bagaimana?"
"Ide yang bagus. Aku akan beritahu Pak Herman dulu jika kita pulang ke Bandung."
"Mami, papi ngapain peluk-pelukan." Alvin berkacak pinggang menatap kedua orang tuanya bak seekor singa yang akan memakan mangsa.
Dian dan Zico terperanjat karena kembali ketahuan berduaan dan berpelukan.