Part 393 ~ Ujian ( 6 )
Part 393 ~ Ujian ( 6 )
"Salahkah aku jika jatuh cinta pada suamiku sendiri? Tidak ada yang salah disini. Apa yang aku lakukan sudah benar. Ya aku sangat mencintai Bara. Aku sudah menerima masa lalunya."
"Kamu terlalu baik Dila. Kamu jangan percaya begitu saja pada bajingan itu. Dia telah menipu kamu. Dia hanya berpura-pura baik dan dia tidak benar-benar bertobat seperti yang kamu ceritakan." Iqbal menyanggah pernyataan Dila.
"Aku yang lebih tahu uda karena aku yang hidup dengannya." Dila membela suaminya.
"Apa Bara mengancam kamu Dil hingga kamu membela dia mati-matian seperti ini?" Tanya bunda dengan wajah sendu.
"Apa kamu sedang menghukum kami Dila?" Defri tertunduk lesu.
"Aku tidak menghukum siapa-siapa."
"Ayah tahu. Ayah telah bersalah telah menjodohkan kalian. Ayah memaksa kamu waktu itu. Ayah sadar jika ayah bukan ayah yang baik. Jika ayah tahu dia bukan pria baik-baik pasti ayah tidak menjodohkannya kamu. Mungkin ayah akan membiarkan kamu menunggu Fatih pulang."
Dug...…..Dila seperti tersengat listrik. Tubuhnya bergetar hebat. Jika tidak salah mencerna ayah tahu hubungannya dengan Fatih di masa lalu.
"Ayah dan Iqbal tahu jika kamu dan Fatih menjalin hubungan di belakang kami. Kami juga tahu jika kalian berjanji akan saling menunggu. Kami juga tahu jika kamu tidak mau menerima pinangan dan berpacaran dengan pria lain karena kamu sedang menunggu Fatih. Ayah tahu Fatih tidak berani datang pada ayah untuk meminta kamu karena dia merasa belum pantas untuk bersanding denganmu. Dia ingin memantaskan diri. Ingin menyamakan posisinya dengan keluarga kita. Makanya pria itu bersikeras untuk mencapai cita-cita dan mimpinya baru melamar kamu. Sebenarnya jika Fatih tidak pengecut dan kamu berani bersuara ayah pasti akan merestui hubungan kalian. Siapa yang tidak bangga memiliki calon menantu seperti Fatih? Dia tampan, sukses dan ilmu agamanya bagus. Kalian terlalu pengecut untuk mengakui hubungan kalian. Ayah bukanlah orang yang gila harta dan bukan orang yang gila sanjungan. Sebagai anak, harusnya kamu tahu seperti apa ayah kamu. Menantu yang bagaimana yang ayah inginkan. Kamu terlalu takut dan menganggap ayah orang lain." Sesal Defri menatap Dila yang shock.
Penyap dirasakan Dila. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Defri. Jika ia sangat mencintai Fatih dan menginginkan pria itu menjadi suaminya dulu. Dila menyeka air mata dan berusaha tegar.
"Untuk apa ayah membahas Fatih sekarang? Toh dia akan menikah dengan Naima. Aku pun sudah bahagia dengan pernikahanku. Harusnya ayah tidak menyalahkan aku dan Fatih kenapa tak berani mengakui hubungan kami. Jika ayah memang ayah yang baik tanpa aku cerita, ayah sudah mewujudkan mimpiku. Sakit tapi tak berdarah yah. Ayah malah menyalahkan aku sebagai perawan tua padahal ayah tahu siapa yang dinanti. Harusnya ayah memanggilku dan menanyai aku soal Fatih. Ayah tak memahami putri ayah sendiri. Membahas Fatih sekarang ga ada gunanya bagiku. Fatih hanyalah masa lalu. Bara masa depanku."
"Bahagia macam apa yang kamu sebut Dila? Bahagia memiliki suami seorang mantan gay? Bahagia memiliki suami pembunuh seperti Bara?" Defri tersenyum sinis.
"Aku bahagia menikah dengan Bara. Bukankah dia menantu pilihan ayah?" Dila memukul telak Defri.
Dila berhenti bicara sejenak. Mengambil napas lalu membuangnya. Dila kembali melanjutkan ucapannya.
"Arti bahagia bagi setiap orang tak akan selalu sama, karena kebahagiaan sering dipersepsikan sebagai ketercapaian atas sesuatu yang diinginkan, kesuksesan atau kesempurnaan. Sesungguhnya tidak ada kesempurnaan yang membuat bahagia, tapi kebahagiaan membuat hidup terasa sempurna. Setiap harapan dan kenyataan sebenarnya bisa membuat kita bahagia karena diri kitalah yang bisa menentukan, menjadi sumber dan merasakan kebahagiaan itu."
"Bahagia bisa dimaknai sebagai menyatukan berbagai perasaan positif hingga menumbuhkan ketenteraman jiwa dan ketenangan hati, serta menciptakan kebermaknaan hidup. Itulah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati bukan sekadar mengejar mimpi dan harapan, tapi memiliki mimpi dan harapan yang mampu membuat kita termotivasi dan terinspirasi untuk bahagia. Meskipun arti dan standar kebahagiaan setiap orang berbeda-beda dan bersifat relatif, namun kebahagiaan sejati akan bisa dirasakan oleh setiap orang apabila kebahagiaan sejati disandarkan kepada Allah SWT. Pemilik langit dan bumi. Aku bahagia karena menerima takdirku menikah dengan Bara. Memahami jika Fatih bukan jodoh yang Tuhan berikan padaku. Aku buka pintu maaf pada Bara. Memberikan kesempatan kedua untuknya. Apapun kondisi hidupku saat ini, apapun masalah yang datang kepadaku saat ini, dan apapun cobaan dan rintangan yang aku hadapi saat ini. Semuanya adalah ujian dari Allah SWT agar aku sadar jika semua yang ada di dunia ini milik-Nya. Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan aku hanya mampu menerimanya dengan rasa sabar, ikhlas dan bersyukur pastinya."
Dila menatap keluarganya satu persatu. Dila harus meyakinkan keluarganya soal Bara.
"Tak ada satu pun yang terlewatkan di dunia ini dari pengawasan Tuhan, walaupun hanya satu detik. Tak ada seorang pun yang bebas dari pantauan Tuhan walaupun hanya sesaat. Tak ada seorang pun yang mampu menepis kehendak Tuhan walaupun cuma sebentar. Dari awal aku tidak pernah memilih Bara. Aku hanya menerima takdirku dengan lapang dada. Jika Tuhan berkehendak tak ada yang bisa memungkirinya. Jika Tuhan tak menghendaki aku menikah dengan Bara maka aku tak akan menikah dengannya. Pernikahan ini campur tangan ayah, papa dan Tuhan. Aku hanya mampu menjalani, berusaha dan berdoa, dan itulah tugasku di dunia ini. Tak perlu membuat hidup ini menjadi rumit jika kita ingin merasakan betapa berharganya kita."
"Aku bahagia karena ikhlas dengan takdir Tuhan." Dila menatap tajam pada sang ayah.
"Kamu tidak bahagia Dila. Kamu hanya berpura-pura untuk menghukum kami. Betapa teledornya kami hingga kamu menikah dengan pria menjijikkan seperti Bara." Iqbal menepis pernyataan Dila.
Dila menunjuk Iqbal. Dadanya bergemuruh karena Iqbal menghina suaminya.
"Jaga bicara uda! Dia suamiku. Jangan pernah merendahkan suamiku." Dila menghardik Iqbal. Intonasi bicaranya tinggi dan penuh amarah.
"Apa yang Bara berikan padamu hingga kamu sangat membelanya nak?" Lusi bicara lembut dari hati ke hati.
"Bara memberikan aku cinta dan kasih sayang. Aku dan dia saling mencintai. Kalian jangan pernah pisahkan kami. Apa pun yang terjadi aku akan tetap bersama dia."
"Sepertinya Bara telah memberi guna-guna pada kamu. Kamu begitu membelanya mati-matian. Jika kamu normal, kamu akan bahagia dan senang karena kami mendukung kamu untuk berpisah dengan dia. Ayah sadar jika ayah yang salah disini. Ayah khilaf telah menikahkan kalian."
"Tidak ada yang khilaf disini ayah. Daun yang gugur tak luput dari Takdir Tuhan termasuk pernikahan kami."