Jodoh Tak Pernah Salah

68. TANGISAN RERE



68. TANGISAN RERE

Rere melepaskan genggaman Angga. Ia tak bisa berdekatan dengan pria itu. Ada rasa yang masih tertinggal, namun mereka sudah tak bisa bersama. Rere berusaha memberontak meski Angga menggenggam tangannya semakin erat. Pria itu malah memeluknya dan menahan tubuh Rere.     

"Kenapa kamu tinggalin aku Re? Aku mohon maaf telah melakukan kesalahan sama kamu waktu itu. Aku khilaf Re. Apa anak itu anak aku Re?" Angga bertanya dengan bulir air mata.     

"Sudah bicaranya?" Rere berusaha tegar. Bersikap kejam agar Angga tak lagi mengharapkannya.     

"Kenapa kamu ketus Re? Apa kamu tidak merindukan aku? Apa tak ada sedikit pun rasa yang tertinggal untuk aku?"     

Rere memalingkan wajah tak sanggup menatap Angga. Jika terus menatap wajah sang kekasih bisa jadi pertahanan Rere runtuh dan ia akan buka mulut.     

"Bilang sama aku yang sejujurnya Re. Anak kecil tadi anak kita?"     

"Angga please...jangan ganggu aku. Kami sudah hidup tenang. Kamu jangan pernah ganggu kami. Sampai kapan pun aku tidak akan bicara sama kamu. Siapa ayah anak itu."     

"Berarti anak itu anak aku?" Angga bersikeras seraya memegang bahu Rere.     

"Tidak." Rere menggeleng. Ia mendorong troly belanjaan dan bersiap untuk pulang.     

Langkah Rere terhenti kala Angga menahan troly belanjaannya. Pria itu terus mengikutinya hingga parkiran. Angga bahkan membantu Rere memasukkannya belanjaan ke dalam bagasi.     

Rere membuka kunci mobil namun tangannya ditahan oleh Angga.     

"Apalagi Angga?" Rere emosi karena Angga tak kunjung berhenti mengikutinya.     

"Jawab pertanyaan aku Re! Kemana saja kamu selama ini? Apa anak itu anakku?"     

"Angga jangan bermimpi. Dia bukan anak kamu. Aku pergi karena sudah tak mencintai kamu. Anak itu adalah anak aku dengan suami. Sekali lagi aku tegasin Leon bukan anak kamu. Jangan ganggu aku."     

"Jadi nama dia Leon?" Wajah Angga sumringah mengetahui nama anak Rere.     

Rere menghela napas berat karena keceplosan menyebut nama anaknya.     

"Sudahlah Angga. Kita tak perlu bicara lagi. Semoga kamu bahagia."     

"Apa kamu bahagia Re?" Tanya Angga memastikan.     

Rere tak menjawab. Ada rasa sendu dan getir yang ia rasakan. Biarlah perasaan ini hanya ia yang tahu. Selama ini Rere merahasiakan siapa ayah Leon dan bersumpah sampai mati tidak akan mengatakannya. Ainil saja tidak pernah tahu siapa ayah Leon meski ibu kandung Rere. Selama ini Rere bungkam dan tak bersedia buka mulut.     

"Sudahlah Angga." Rere melunak, nada bicaranya lebih lembut. Percuma bersikap keras pada Angga. Bukannya berhenti Angga malah semakin penasaran dan mengejarnya.     

"Sudah bagaimana?"     

"Aku tidak bisa bicara sekarang."     

"Baiklah jika kamu tidak mau bicara. Berapa nomor ponsel kamu? Nomor kamu yang lama sudah tidak aktif."     

"Tidak perlu Angga." Tolak Rere halus. Bagaimana pun ia tidak mau berhubungan lagi dengan Angga.     

"Aku perlu nomor kamu."     

"Tapi aku enggak butuh nomor kamu."     

"Please... Re." Angga memelas berlutut di depan Rere. Air matanya mengalir deras.     

"Maafin aku malam itu Re. Aku enggak sengaja melakukannya malam itu. Aku khilaf. Aku tahu alasan kamu meninggalkanku. Tak bisakah kita memulai dari awal Re?"     

"Sayangnya tidak bisa Angga. Aku sudah menikah dan punya anak." Rere membantu Angga bangkit.     

"Malam itu aku mabuk dan tak sengaja melakukannya."     

"Cukup Angga." Telapak tangan Rere melayang di depan wajah pria itu.     

"Jangan teruskan ucapan kamu."     

"Aku tahu kamu marah dan kecewa sama aku Re karena melakukan itu. Aku benar-benar khilaf."     

"Aku bilang berhenti ya berhenti. Kamu ngerti bahasa Indonesia tidak?" Rere ngamuk lalu menendang tulang kering Angga. Selagi Angga menahan sakit Rere kabur dari parkiran.     

"Jangan pergi Re." Pekik Angga menggapai tangan Rere.     

Angga tak mengenal kata menyerah. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ketika telah bertemu Rere. Angga akan menebus kesalahannya di masa lalu karena melakukan kesalahan fatal pada Rere.     

Angga tahu jika Rere berbohong. Wanita itu tidak pernah menikah. Angga juga yakin jika anak Rere adalah anaknya. Malam itu Angga mabuk karena dikerjai oleh teman-temannya. Ia datang ke kost Rere dan merenggut kehormatan gadis itu. Bayangan masa lalu melintas dalam benak Angga.     

"Jangan lakukan Angga. Please.….." Rere terbaring di ranjang dengan posisi tubuh sedang ditindih Angga.     

"Re aku mencintaimu. Tolong layani aku." Angga membelai pipi dan berusaha mengecup bibir Rere meski perempuan itu menghindar.     

"Angga aku mohon belas kasihan kamu. Kita masih pacaran bukan suami istri. Jangan sakiti aku." Rere berusaha memberontak namun tenaganya kalah kuat. "Kamu mabuk. Angga sadarlah. Jangan lakukan itu. Aku akan membenci kamu jika melakukannya."     

"Aku enggak mabuk Re. Aku sadar dengan apa yang aku lakukan. Kita saling mencintai kan Re?"     

"Aku memang mencintai kamu tapi itu tidak bisa jadi pembenaran untuk kita melakukan hubungan intim sebelum nikah. Aku harus menjaga kehormatanku. Aku harus menjaganya demi suamiku kelak. Pergilah dari sini."     

"Jangan tolak aku Re." Angga merajuk dan semakin tak terkontrol akibat mabuk.     

Tia kamu dimana? Tolong aku. Jangan sampai Angga menodai aku! Bisik Rere menahan tangis. Berharap sahabatnya segera pulang.     

"Angga jangan." Rere mengumpulkan kekuatan lalu menendang Angga hingga tersungkur. Ia memanfaatkan kesempatan untuk kabur. Rere ketakutan dan frustasi. Ia tak menyangka sang kekasih akan menodainya. Rere berlari sejauh mungkin.     

Angga berhasil menjangkau Rere. Pria itu menggendong Rere dan melemparnya ke ranjang. Pria itu mencumbu Rere dengan paksa.     

"Angga kenapa kamu jahat? Kenapa tega melakukan semua ini sama aku?" Isak Rere dengan suara parau.     

"Jangan menangis Re. Kamu pasti akan menikmatinya nanti."     

"Angga jangan." Pekik Rere sebelum Angga melakukan perbuatan terkutuk itu.     

Angga menghapus air matanya. Ia berjalan menuju mobilnya lalu mengikuti Rere.     

"Aku paham kenapa kamu membenci aku Re. Seharusnya kamu meminta aku bertanggung jawab bukan melarikan diri. Aku tahu kamu kecewa. Aku sudah berubah semenjak kejadian itu. Aku akan bertanggung jawab sama kamu." Angga masih mengikuti mobil Rere tanpa sepengetahuan wanita itu.     

"Jadi Rere tinggal disini." Angga bicara sendiri.     

Satpam jaga mencegat mobil Angga. Komplek perumahan Rere tidak mengijinkan orang asing sembarangan masuk.     

"Saya teman Rere," kilah Angga menunjuk mobil Rere yang duluan masuk.     

"Kenapa mbak Rere ga bilang jika temannya mau bertamu?" Satpam menaruh rasa curiga.     

"Kalo Bapak enggak percaya telepon aja Rere atau pegang KTP saya. Saya bukan orang jahat." Angga mengeluarkan KTP dari dompetnya lalu memberikannya pada satpam komplek.     

"Silakan Mas."     

"Terima kasih Pak." Angga kembali melajukan mobilnya.     

Mobil Angga berhenti di seberang jalan rumah Rere. Angga melihat seorang bocah laki-laki datang menghampiri Rere dan memeluknya.     

"Jika itu anak kita kenapa kamu diam Re? Apakah karena anak itu lahir dari hasil pemerkosaan hingga kamu enggak mau bilang sama aku?" Angga bicara sendiri seraya menyeka air matanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.