Jodoh Tak Pernah Salah

JANGAN DIBUKA 7



JANGAN DIBUKA 7

"Papa, Dian. Bisakah kalian jujur padaku?" Bara menatap keduanya penuh harap.     

"Kenapa aku bercerai dengan istriku?" Tanya Bara tajam. Ia sudah tak bisa lagi menahan gejolak di hatinya. Setiap kali menanyakan istrinya, Herman mau pun Dian selalu mengelak.     

"Bara kamu belum sembuh sepenuhnya. Papa belum bisa cerita," ucap Herman dengan perasaan hancur. Bagaimana Herman bisa cerita jika Bara dulunya gay dan karena itulah keluarga istrinya memisahkan mereka. Herman tak mau jujur karena berdampak pada kesehatan mental Bara. Bagaimana jika Bara tak siap menerima kenyataan? Bagaimana jika Bara kembali sakit?     

"Terlalu sakit untuk papa katakan pada kamu Bar. Papa ingin kamu fokus untuk sembuh. Bagaimana papa mau cerita jika kamu sendiri tidak ingat siapa diri kamu? Bahkan kamu lupa nama, tanggal lahir dan apa pekerjaan kamu. Kamu bahkan lupa sama papa dan hanya ingat pada mama."     

Bara merasa tercabik-cabik mendengar penuturan Herman. Dia memukul dadanya pelan. Kenapa ia bisa lupa segalanya hingga tak kenal dengan ayah kandungnya sendiri.     

Dian merutuki kebodohannya kenapa ia sampai keceplosan mengatakan hamil di depan Bara. Kondisi yang Zico alami sama dengan kondisi Bara. Bukan istri yang morning sickness tapi suami.     

Zico hanya bisa diam mematung melihat perdebatan Bara dan Herman. Suasana canggung tercipta pagi ini. Seperti ada yang menaruh bawang. Herman dan Bara menangis haru.     

"Papa hanya ingin yang terbaik buat kamu Bar. Papa takut kamu shock dan tak terima kenyataan dengan apa yang papa sampaikan. Papa ingin kamu yang ingat dengan sendirinya. Bukannya papa jahat tak mau cerita, tapi ini terlalu sakit buat diceritakan. Setidaknya dengan kamu ingat sendiri tak terlalu menyakitkan. Papa tidak tahu dimana mantan istri kamu," kata Herman dengan napas tak beraturan. Sengaja menekankan kata 'mantan istri' agar Bara paham jika mereka sudah berpisah.     

"Dimana dia sekarang?" Bara menyeka bulir bening di sudut matanya.     

"Kami tidak tahu bos." Dian angkat bicara. Zico menahan tangannya untuk diam, namun Dian sudah tak tahan melihat suasana pagi ini.     

"Dia pergi setelah kalian resmi berpisah. Bukannya saya membela Bapak. Pak Herman hanya ingin yang terbaik untuk bos. Jika bos ingin tahu siapa diri bos. Aku akan memberikan profil bos. Tiba-tiba aku tak enak badan. Aku pergi dulu," ucap Dian meninggalkan meja makan.     

"Maaf aku pergi." Zico pamit mengekori Dian.     

"Dian," panggil Bara.     

Langkah Dian terhenti dan menoleh ke belakang.     

"Ya bos."     

"Selamat atas kehamilan kamu."     

Dian memaksakan senyumnya.     

"Makasih bos."     

Dian dan Zico pergi ke rumah mereka. Dian mempercepat langkahnya menuju kamar.     

"Mami pelan jalannya mi." Zico mengingatkan. Sudah tahu hamil masa jalan cepat-cepat.     

Sejak mereka resmi menjadi suami istri panggilan mereka sudah berganti. Zico memanggil Dian mami, sementara itu Dian memanggil Zico papi.     

Dian masuk ke dalam kamar. Duduk di atas ranjang merutuki kebodohannya. Kenapa bisa keceplosan dan membuat suasana tidak enak.     

"Mami kenapa?" Zico duduk di sebelah Dian. Mengelus puncak kepala istrinya.     

"Pi. Aku nyesel bilang hamil di depan Bara." Dian menghapus air matanya.     

"Aku terlalu bahagia sehingga tak sabar memberi tahu jika aku hamil."     

Zico mendekati Dian lalu memeluknya.     

"Mami enggak sengaja. Mami terlalu bahagia."     

"Papi bahagia aku hamil lagi?"     

"Kok mami tanya gitu?" Zico tersenyum kecut.     

"Kali aja terlalu cepat buat papi. Kita baru sebulan nikah eh mami udah hamil. Papi jadi enggak nikmati peran sebagai pengantin baru."     

Tawa Zico pecah mendengar penuturan sang istri. Ini pasti hormon hamil bikin Dian jadi baperan.     

"Enggak kok mi. Malah papi bahagia mami hamil lagi. Kalo bisa tiap tahun mami hamil. Papi mau punya anak banyak."     

"Mami bukan kucing papi," cebik Dian kesal memukul dada Zico pelan.     

"Mi, nanti kita periksa ke dokter ya. Papi mau tahu dah berapa minggu kehamilan mami. Jangan-jangan dia tercipta ketika kita khilaf kemarin," ucap Zico diiringi gelak tawa.     

"Papi enggak lucu."     

"Bercanda mami. Mau dia tercipta waktu khilaf apa enggak yang penting dia sehat-sehat di dalam perut mami." Zico merunduk mencium perut Dian yang masih rata.     

"Papi akan menjadi suami yang siaga buat mami dan debay. Papi akan mengawasi kalian langsung. Maafkan papi jika posesif sama mami. Anggap ini juga penebusan papi karena tak bisa menemani mami saat hamil Alvin dulu. Mami harus melewatinya seorang diri." Zico tiba-tiba menangis menyesali perbuatannya.     

Dian menangkup kedua pipi Zico.     

"Sudahlah pi. Hal yang buruk tidak usah diingat lagi. Kita ingat yang baik-baik saja. Aku senang papi yang morning sickness bukan aku."     

"Gapapa kok mi. Biar papi tahu jika hamil itu enggak mudah."     

"Dulu ketika hamil Alvin aku selalu mual dan muntah tiap pagi. Apa yang dimakan pasti dimuntahkan lagi. Tapi sekarang aku senang karena papi yang mengalaminya." Dian tertawa ceria.     

"Aku rela kok mi muntah dan mual tiap pagi. Bikin dedeknya berdua. Enggak masalah kalo papi yang mual." Zico kembali memeluk Dian.     

"Aku menyesal ngomong hamil di depan Bara. Aku enggak peka jika kondisi papi sama dengan dia. Aku yakin jika Dila hamil saat ini. Jika aku tidak salah hitung mungkin dia sedang hamil empat bulan."     

"Benarkah mami?"     

"Saat Bara ditembak seharusnya hari itu mereka melakukan testpack apakah transfer embrio mereka berhasil apa tidak.".     

"Kenapa mami tahu dengan detail?"     

"Aku sekretaris merangkap asisten dia papi. Apa sih yang enggak aku tahu soal Bara. Hubungan dia sama Egi juga aku tahu." Dian tergelak tawa.     

"Aku sudah menghubungi uni Naura cuma tidak tersambung. Apa yang terjadi pada mereka? Aku penasaran kemana Dila pergi. Dia pasti disembunyikan keluarganya."     

"Naura juga mendadak mengundurkan diri dari Harapan Indah. Aku juga bingung kemana dia? Mami boleh aku bicara sesuatu?"     

"Papi mau ngomong apa?"     

"Bisakah mami fokus saja dengan kehamilan mami tanpa memikirkan Dila? Mungkin ini takdir yang harus dijalani Bara dan Dila. Kita tak bisa ikut campur terlalu jauh dalam masalah Bara. Meski pun Bara hilang ingatan, cepat atau lambat dia akan mengingat semuanya. Jangan pernah memaksakan diri mami. Memang mami berhutang budi sama dia cuma apa yang mami lakukan ke dia sudah lebih dari cukup."     

"Jangan bilang papi cemburu?" Dian malah menggoda suaminya.     

"Apa aku tidak berhak cemburu mami?" Zico mengikuti permainan sang istri. Dengan nakal jari jemari Zico menyingkap rok yang dikenakan istrinya. Zico mengelus paha Dian hingga perempuan itu meremang.     

Dian mencekal tangan Zico karena bergerak lebih jauh.     

"Papi masih pagi."     

"Kenapa kalo pagi mami?"     

"Papi mau kerja bukan?" Dian terengah-engah karena Zico menggodanya dibawah sana.     

"Aku bos mami jadi terserah mau datang jam berapa." Zico merebahkan Dian di ranjang.     

"Papi," pekik Dian karena Zico mulai melepaskan pakaiannya satu persatu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.