Jodoh Tak Pernah Salah

120. MEMBAWA SALSA 



120. MEMBAWA SALSA 

Dila menangis tersedu-sedu. Hatinya remuk kala melihat kemesraan Bara dan Rere. Istri mana yang tidak cemburu melihat kemesraan suaminya dengan perempuan lain, meski Rere juga istri Bara. Ia melihat ada cinta di keduanya. Hatinya terasa diremas. Salahnya meninggalkan Bara sehingga pria itu memilih wanita lain mengisi hatinya.     

Rere mengetuk pintu kamar. Dila menghapus air matanya dengan cepat. Tak mau Rere melihatnya sedang menangis.     

"Masuk," ucap Dila seolah tak terjadi apa-apa.     

Rere masuk dalam kamar. Duduk di sebelah Dila.     

"Aku ingin bicara kak."     

"Bicara apa?' Sikap Dila ketus pada Rere. Menatap wajah Rere saja tidak mau. Hatinya masih sakit melihat kemesraan Rere dan Bara. Tak pernah terpikir oleh Dila jika pada akhirnya akan membagi Bara dengan wanita lain. Kita tidak pernah tahu takdir. Bagaimana takdir akan menuliskan jalan hidup manusia.     

"Kak tolong tatap aku." Rere paham kecemburuan Dila. Perempuan itu melihatnya dan Bara bercanda. Satu hal yang Rere tahu cinta Dila masih bertahta untuk Bara.     

Dengan terpaksa Dila menatap Rere. Mereka beradu netra.     

"Ada apa?"     

"Kembalilah pada abang Bara."     

"Tidak mau." Dila berpangku tangan.     

"Kenapa tidak?"     

"Aku tidak sanggup berbagi suami." Dila yang tengah emosi kelepasan bicara.     

"Masih adakah cinta itu?"     

Dila memalingkan wajah. Tak sanggup berkata-kata. Ia tak mau terjebak dengan ucapannya.     

"Buat apa kamu pertanyakan?"     

"Tentu saja penting bagiku. Aku seorang wanita dan juga ibu. Tak baik memisahkan ayah dan anak."     

"Aku juga seorang wanita, istri dan juga ibu. Aku juga tak ingin memisahkan Bara dan triplets, tapi keadaan memaksaku. Meski aku wanita muslim tapi aku tidak sanggup jika berpoligami. Dalam agama kita memang membolehkan pria beristri lebih dari satu bahkan sampai empat. Aku pribadi tidak setuju dengan poligami. Kakakku sendiri memiliki dua istri, tapi tak mendapatkan kebahagiaan. Dia gagal jadi suami yang baik. Kedua istrinya hanya terlihat akur di depannnya, tapi di belakang kakakku kedua istrinya bermusuhan. Aku menolak kembali pada Bara. Kalian sudah bahagia. Aku lebih baik mundur daripada di poligami. Aku tidak cukup ilmu menjalaninya. Aku tidak menentang ajaran agama, aku menghargai dan mempercayai ajaran itu. Namun bagi diriku pribadi tidak mau dimadu. Menurutku hanya Rasulullah yang bisa menjalani poligama secara adil dan mencintai istri-istrinya tanpa ada rasa iri dan dengki. Zaman sekarang tidak ada wanita yang mau di poligami meski ahli agama sekali pun. Mustahil tak tebersit rasa cemburu melihat suami dengan istri lain. Rasulullah poligami karena ingin melindungi para janda yang ditinggal mati suaminya di medan perperangan. Laki-laki zaman sekarang poligami hanya karena nafsu. Pernahkah kamu liat istri kedua lebih jelek dan tua dari istri pertama? Tidak bukan? Pasti istri kedua lebih cantik, bohay, muda dan seksi daripada istri pertama."     

"Kak." Rere menyanggah ucapan Dila namun wanita itu melayangkan tangan ke udara. Dila meminta Rere diam. Ia masih ingin bicara.     

"Mungkin kamu bisa menerima poligami, tapi aku tidak. Aku sudah menyaksikan kegagalan kakakku dalam berpoligami. Sejak dulu aku berimajinasi berbagai kisah cinta. Aku harapkan sebuah kesetiaan. Mempunyai pasangan yang setia, yang tidak memiliki istri lebih dari satu. Mungkin sikap aku yang menentang poligami seperti tidak menghargai syariat islam. Pada hakikatnya poligami diperbolehkan bukan wajib. Jika tidak sanggup berpoligami maka cukup satu istri. Aku tidak sanggup berbagi suami denganmu. Tidak akan hina seorang wanita islam jika ia menolak poligami. Aku tidak ikhlas berbagi suami."     

Rere manggut-manggut mengerti kegundahan Dila. Ingin sekali mengatakan pada Dila jika ia bukan istri Bara. Namun Bara mencegahnya, pria itu ingin Dila merenungi kesalahannya.     

"Aku mengerti maksud kakak. Jika aku mundur apa kakak mau kembali pada bang Bara?" Rere mengajak bicara dari hati ke hati.     

"Jangan bodoh Rere. Aku tidak suka ucapanmu. Pikirkan anakmu." Dila bangkit dari sofa tidak suka dengan ucapan Rere.     

"Leon bukan anak bang Bara." Rere jujur pada akhirnya. Ia tak sanggup melihat duka di wajah Dila.     

"Meski itu bukan anak Bara, tapi bagi Leon Bara adalah ayahnya. Jangan korbankan diri kamu demi kami."     

"Tidak kak, aku tidak berkorban demi kalian, tapi..."     

"Rere," panggil Bara berteriak. Dari suaranya Bara terlihat panik. Dila dan Rere bergegas keluar kamar menyusul Bara.     

"Ada apa bang?" Rere dan Dila ngeri melihat Bara memakai rompi anti peluru dan memasukkan peluru ke dalam pistol.     

"Ada apa Bar?" Dila ikut bersuara.     

" Dino dan Gesa dalam bahaya. Tadi Gesa izin padaku untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Dino. Ternyata suruhan pangeran Ahmed mengincar Gesa."     

"Rere," panggil Bara menyentuh bahu adiknya. "Kamu, Dila dan anak-anak tetap di penthouse. Jangan kemana-mana. Aku akan menyelamatkan Gesa. Sudah saatnya publik tahu siapa pembunuh Ananya."     

"Tunggu," ucapan Dila dan Rere serentak. Mereka saling berpandangan.     

"Tunggu apa?" Bara menatap keduanya bergantian.,     

"Apa hubungan Gesa dan Dino?" Napas Dila naik turun-turun.     

"Gesa asisten Ananya. Dia ada dalam mobil saat kecelakaan itu terjadi."     

"Apa hubungan Dino dan Ananya?" Rere yang buka suara.     

"Dino suami Ananya," ucap Bara pelan. Ia tahu reaksi Rere bagaimana nantinya.     

"Apa?" Suara Rere terdengar keras.     

Bara hanya tertawa terkekeh melihat reaksi sang adik. "Tahukan dunia ini sempit?"     

"Bang sejak kapan kamu tahu?" Rere mengcengkram kerah baju Bara.     

Bara hanya terkekeh melihat reaksi Rere yang marah dan kecewa.     

"Kamu tahu aku menyelamatkan Gesa dan Dino demi siapa? Demi kalian. Aku ingin Leon bertemu dengan Dino. Sudah saatnya Dino tahu siapa anak laki-lakinya."     

"Bang kamu jahat." Rere memukul dada Bara kuat-kuat. Kesal karena dibohongi. Bara selama ini tahu siapa ayah biologis Leon tapi memilih diam.     

"Apa maksud semua ini?" Dila malah kebingungan melihat situasi ini.     

"Ayah kandung Leon adalah Dino bukan aku," jawab Bara enteng. Ia memasukkan pistol dalam pinggangnya.     

Dila mendekati Bara lalu mengcengkram kerah baju suaminya.     

"Tidak mungkin Dino ayah kandung Leon. Dino pria yang setia. Tidak mungkin mengkhianti Ananya." Dila memekik di telinga Bara.     

Sementara itu Rere tiba-tiba pusing dan gugup. Bisa jadi Dino memudahkan aksesnya bertemu triplets di sekolah karena pria itu sudah tahu siapa Rere. Tubuh Rere gemetar dan menggigil.     

"Kamu tanya saja pada Dino nanti setelah aku berhasil menyelamatkannya." Bara mengambil ponsel lalu menghubungi teman baiknya pangeran Syehzade, putra mahkota Brunei Darussalam.     

"Hai Bara," sapa pangeran Syehzade.     

"Help me bro," lirih Bara.     

"What happen?"     

Bara menceritakan semuanya pada pangeran Syehzade tentang Gesa, Dino dan Ananya. Putra mahkota Brunei pun bersedia membantunya. Benar ucapan Bara, putra mahkota hanya pantas dilawan dengan putra mahkota juga. Bagaimana pangeran Syehzade tidak mau membantu. Ia berhutang budi pada Bara karena telah menyelamatkan Eci, istrinya yang telah disekap di rumah sakit jiwa di Jakarta. Jika bukan karena bantuan Bara mungkin pangeran Syehzade tidak menemukan Eci. Putri mahkota telah memalsukan kematian Eci. Setelah prosesi kematiannya, Eci dibawa dan disekap di rumah sakit jiwa di Jakarta ( Baca kisahnya di Doctor Couple : Pernikahan Sang Dokter Cinta ).     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.