118. TALAK AKU
118. TALAK AKU
Dila membenturkan kepalanya ke dinding merutuki kebodohannya. Kenapa ia bisa lepas kontrol dan melayani Bara di ranjang? Mereka sudah berpisah hampir empat tahun. Secara hukum mereka memang suami istri, tapi dalam agama mereka sudah berpisah. Dila menyesali perbuatannya karena telah berzina dengan pria yang bukan mahramnya.
Bara membuka mata. Kaget menyadari tidak ada Dila di pelukannya. Pria itu mengucek matanya kala melihat Dila membenturkan kepalanya ke dinding.
"Apa yang kamu lakukan Dila?" Bara shock. Segera bangkit dari sofa dan mencegah Dila berbuat bodoh.
Dila menutup mata. Ia sadar Bara belum mengenakan pakaiannya. Pria itu masih telanjang, tanpa penutup tubuh sedikit pun.
Bara mengambil pakaian yang berserakan di lantai lalu memakainya. Ia tak ke kamar mandi, ia memakai pakaiannya di depan Dila. Cuek padahal Dila sudah pucat. Wajahnya memutih bak mayat hidup.
"Ada apa?" Tanya Bara menyentuh pundak Dila. Wanita itu menepis tangannya. Takut Bara kembali menyentuhnya.
Dila bukannya munafik tak mau disentuh, namun ia tak mau melakukannya lagi. Terperdaya dengan pesona Bara hingga kembali takluk. Dila tahu bagaimana Bara, pria itu tak pernah puas menyentuhnya. Pasti Bara ingin menyentuhnya berulang-ulang. Mengulangi kebersamaan mereka dan mendesahkan rindu yang selama ini terpendam. Meski Rere sudah di sisinya namun pria itu terlalu rakus jika ingin punya dua istri.
"Aku pergi," ucap Dila bangkit dari sofa namun tangannya dicekal Bara.
"Siapa yang membolehkan kamu pergi? Aku masih ingin kamu disini."
"Sudahlah Bar. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kamu ingin tidur denganku? Kamu sudah puas? Mendapatkan aku? Kamu jangan mempermainkan aku. Ingat kamu sudah punya istri. Aku sebagai wanita merasa kotor. Kita bercinta disini sementara Rere bersama anak-anak. Aku tidak ingin jadi duri dalam hubungan kalian. Lepaskan aku."
"Aku tidak akan melepaskan kamu."
"Kamu tidak punya alasan untuk mempertahankan aku."
"Alasan aku mempertahankan kamu lebih kuat dari sebelumnya. Aku bertahan demi kamu dan triplets." Bara hampir keceplosan. Lupa jika ia masih bersandiwara lupa ingatan. "Rere dan Dian sudah menceritakan semuanya padaku?" Kata Bara sekenanya, padahal yang cerita hanya Rere bukan Dian. Bara memang pandai bersilat lidah, lebih tepatnya menjadikan Dian kambing hitam.
"Dian?" Dila mengernyitkan kening. "Tidak mungkin Dian cerita sama kamu."
"Kenapa tidak mungkin?" Bara memancing Dila untuk bicara.
"Dian tak mungkin cerita soal aku ke kamu. Jika dia melakukannya, pasti sudah dari dulu dia lakukan. Dian tahu keberadaan aku di KL semenjak aku hamil. Jangan berusaha membohongi aku Bar."
Bara naik darah. Ternyata Dian sudah tahu keberadaan Dila dari dulu namun ia menyembunyikannya. Pria itu mengamuk. Bara memukul tangannya ke dinding.
"Dian," pekiknya amarah. Bara marah besar karena Dian menyembunyikan keberadaan Dila. Andai saja perempuan itu bicara dari dulu mungkin ingatannya cepat pulih. Bara terluka dan kecewa. Orang yang sangat ia percayai tega membohonginya.
"Bar. Hentikan!" Dila memegang tangan Bara. Tangan pria itu mengeluarkan darah. "Kenapa kamu marah?"
"Masih tanya kenapa aku marah padanya? Tentu saja aku marah pada Dian. Sejak dulu aku mencari tahu keberadaan istriku, tapi dia hanya diam. Aku seperti orang bodoh mencarimu. Meski aku hilang ingatan, tapi aku merasakan jika kamu mengandung anakku. Asal kamu tahu Dila. Aku mengalami mual dan muntah. Aku bahkan tidak bisa makan. Baru satu suap makanan itu kembali aku muntahkan. Perasaanku tidak enak. Eneg mencium bau makanan. Aku sadari mungkin aku yang ngidam bukan kamu. Bahagia jika aku yang mengalaminya bukan kamu. Kamu pernah tidak pikirkan perasaan aku selama ini? Aku berusaha mengingat memori tentang masa lalu kita. Semudah itukah kamu meninggalkan suamimu? Apa salahku Dila?" Bara memegang kedua lengan Dila, menatap perempuan itu lekat. Bara bisa melihat jika Dila menahan tangisnya. Berusaha tegar padahal ia sendiri rapuh.
"Aku tidak bisa melakukannya." Dila bersikap angkuh. Ia harus tega agar Bara menjauhinya. Dila sadar diri jika Rere bersama Dila.
Bara gemas. Ia mendekati Dila, menekuk wajah Dila dengan kedua tangannya. Menahan tengkuk wanita itu. Mencium bibirnya dengan gemas. Bara kesal sekaligus dongkol, kenapa Dila masih berpura-pura.
"Hentikan Bar!" Dila memukul dada Bara. Cubitannya menghentikan kegiatan Bara.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Berhenti menyentuhku!" Dila menghardik Bara. "Jangan zinahi aku."
"Zina?" Mata Bara membulat. Sakit hati mendengar ucapan Dila jika ia telah menzinai istrinya sendiri.
"Kita telah berbuat khilaf Bar. Kita bukan suami istri lagi." Napas Dila terengah sembari memegang dada. Sesak rasanya menyampaikan semua ini.
"Apa aku pernah mengucapkan talak padamu?" Dila menggeleng.
"Selagi aku belum menjatuhkan talak padamu maka kita masih berstatus suami istri. Kamu masih istri sahku. Kita tak pernah sepakat untuk berpisah."
"Tidak. Kita bukan suami istri lagi. Kamu sudah menikah dengan Rere."
"Meski kita sudah lama berpisah namun kita masih suami istri jika belum ada ucapan talak dariku. Jika kamu tidak percaya silakan tanya pada ahli agama. Jangan seenaknya mengatakan apa yang kita lakukan tadi perzinahan. Aku suamimu dan sudah kewajiban kamu melayani nafkah batinku." Bara meradang. Tadi ia marah pada Dian sekarang marah pada Dila.
Dila menggeleng kuat. Tak terima dengan pernyataan Bara.
"Kamu harus mematuhi aku mulai hari ini. Kalian akan tinggal bersamaku."
"Tidak." Tolak Dila mentah-mentah.
"Kamu tidak bisa menolaknya."
"Talak aku," ucap Dila memejamkan mata. Sesungguhnya ia tak sanggup mengatakannya. Entah keberanian darimana ia bisa melakukannya.
"Tidak akan. Sampai kapan pun kamu tetap istriku. Tidak ada alasan untukku melakukannya," ucap Bara hati-hati. Perkara talak
Bara naik darah. Ia menarik Dila dari ruang kerjanya lalu menariknya ke kamar. Bara mengurung Dila dalam kamarnya.
"Lepaskan aku Bar." Dila mengetuk pintu kamar yang telah dikunci Bara dari luar. "Aku mau pulang."
"Ini rumahmu," balas Bara mengunci pintu otomatis. Dila tak akan bisa keluar kamar jika password tidak tahu.
Bara datang menghampiri Rere yang tengah bermain bersama anak-anak. Ketiganya langsung lengket dengan Rere. Perempuan itu memang pintar mengambil hati anak kecil. Ketiganya tidur di sofa bersama Rere. Bara lega melihat senyum ketiga anaknya. Pria itu mengangkat tubuh anaknya satu persatu dan membaringkan di kamar yang telah ia persiapkan.
"Ada apa bang?" Rere melihat kemarahan di mata sang kakak.