110. KEJUTAN DARI DIAN
110. KEJUTAN DARI DIAN
Bara melengkungkan senyum. Setuju dengan pendapat Tia. Beberapa tahun belakangan ini memang ia tak pernah tersenyum. Hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Tak ingat siapa dirinya. Tak ingat keluarga dan tak ingat semuanya. Bara bak hidup dalam persimpangan.
Bara bertopang dagu. Tersenyum melihat aksi Rere di rumah Dila. Ingin sekali memeluk Rere saat ini karena berhasil menjalankan rencana mereka, bahkan hasilnya diluar ekspektasi Bara.
"Tentu saja aku tersenyum. Aku telah menemukan cintaku yang telah lama hilang. Aku menemukan istriku dan juga anak-anakku."
"Lalu apa rencana Bapak selanjutnya?"
"Aku akan mendekati anak-anak." Bara tersenyum. Ia mengambil ponsel lalu menatap potret Dila dan triplets. Bara memasang foto mereka sebagai wallpaper.
"Tungga Apa ya anak-anak. Apa tidak menyangka jika kalian ada tiga. Satu saja memiliki kalian sudah bahagia." Tanpa disadari air mata Bara tumpah membasahi layar ponsel.
"Bapak kenapa nangis?" Daniel khawatir melihat sikap Bara.
"Saya nangis bahagia Daniel. Saya tahu jika punya anak kandung, tidak satu tapi tiga. Saya terharu. Keturunan Aldebaran telah lahir. Papa saya pasti akan sangat bahagia tahu memiliki tiga orang cucu yang sangat lucu dan menggemaskan. Saya ingin memeluk ketiganya. Kalian atur cara agar saya bisa bertemu dengan si kembar tanpa sepengetahuan Dila dan Dino. Saya mau triplets tahu jika ayah kandung mereka saya bukan Dino. Mengerti?"
"Mengerti Pak," jawab keduanya. Tia menatap Daniel dan mengangguk.
"Saya yakin kalian bisa melakukannya."
"Terima kasih telah mempercayai kami Pak." Tia menatap Daniel dengan cinta. Tanpa disadari Bara melihat keduanya berpegangan tangan di bawah meja. Bara tersenyum melihat kebucinan mereka. Ada rasa iri menyergapnya. Ingin mengulang kemesraannya bersama Dila.
"Hmmmmm. Bisa kalo ada saya tidak bermesraan?" Tegur Bara pada keduanya.
Reflek keduanya kelabakan. Melepaskan genggaman dan saling buang muka. Tia dan Daniel malu.
"Kalian mentang-mentang bucin malah pamer sama saya. Hargai saya yang sudah menjomblo hampir empat tahun." Bara terkekeh tawa, puas mengerjai kedua anak buahnya.
"Bapak bikin saya malu."
Ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka. Tia ke depan membukakan pintu kamar Bara. Sebelumnya ia melihat dari intercom siapa yang datang. Ternyata Rere dan Gesa. Keduanya langsung masuk dan menghampiri Bara.
"Hai istriku sayang? Sudah carikan madu buat suamimu?" Kekeh Bara melihat Rere duduk di depannya.
"Senang ya bang?"
"Senang pake banget. Akting adik gue benar-benar keren. " Bara memberikan dua jempol untuk Rere. "Kapan nikahin aku sama Dila? Dah kangen meluk kakak ipar kamu."
"Modus." Rere menyentil lengan kekar Bara.
"Makasih ya dek." Bara menggenggam tangan Rere.
"Sama-sama bang. Aku ingin kamu bahagia." Rere mengulas senyum di bibir manisnya.
Tia, Gesa dan Daniel tersenyum melihat kedekatan saudara tiri itu. Meski mereka lahir dari orang tua yang berbeda namun kekompakan mereka tidak ada yang bisa mengalahkan. Saling melindungi satu sama lain. Bara begitu menyayangi Rere begitu juga sebaliknya.
"Kenapa kamu kepikiran masalah poligami sih Re?"
"Gapapa papa. Terlintas di pikiran aku saja bang. Ini kesempatan abang untuk kembali sama kak Dila. Secara hukum kalian masih suami istri. Kita bisa memantik emosi kakak Dila melalui anak-anak. Aku akan mendekati ketiga anak-anak abang lalu mendoktrin mereka. Aku pastikan anak-anak akan mengakui abang sebagai Apa mereka."
"Caranya?" Bara penasaran dengan rencana Rere.
"Enggak usah abang tahu. Ketika kita berhasil mengambil hati anak-anak disitulah kita memainkan emosi kak Dila sebagai seorang ibu. Kita bawa anak-anak liburan, kita harus minta ijin dulu sama Dino. Kita harus membawa Hanin karena anak itu selalu bersama triplets. Mereka sudah terbiasa berempat."
"Bagaimana?" Bara menatap Tia.
"Saya akan mengaturnya Pak. Saya akan bertemu dengan Dino membicarakan semuanya."
"Bagus. Atur sebaik mungkin. Lalu apa rencana selanjutnya Re? Aku sudah tak sabar."
"Tahan diri bang. " Rere menyenggol lengan Bara. "Bucinnya dihilangkan dulu." Rere malah mentertawai kakaknya.
"Enggak bisa hilang kalo sudah membahas Dila."
"Ketika anak-anak sudah bersama kita, maka aku akan menekan kak Dila untuk menikah secara agama sama bang. Kalian enggak perlu lagi menikah secara hukum karena secara hukum masih terikat hubungan suami istri."
"Lalu atur honeymoon kami di pulau privat." Bara tergelak tawa. Menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tak sabar melewatkan malam pengantin bersama Dila setelah beberapa tahun terpisah.
"Ternyata lo mesum ya bang." Rere malah mentertawai Bara. "Satu hal lagi yang harus kita atasi. Papa sudah mendesak kita pulang ke Jakarta. Sepertinya teh Dian sudah mencium gelagat aneh dari kita."
"Kenapa begitu?"
"Bang, aku melihat Jimmy di KL. Aku pastikan dia sedang menyelidiki kita."
"Dian." Bara memijit pelipisnya. Ternyata susah menutup rahasia dari Dian. "Jangan biarkan Dian mengacaukan rencana kita." Bara mengambil ponsel lalu menghubungi Dian.
"Hai bos apa kabar?" Sapa Dian ramah dari seberang. Wanita itu mengelus perut buncitnya. Kandungan Dian sudah masuk bulan ketujuh.
"Kenapa kamu kirim Jimmy ke KL?" Bara bicara tanpa basa-basi.
"Mana mungkin aku kirim Jimmy." Dian mengelak dengan gaya mencemooh.
"Jangan main-main Dian." Bara berkata dengan lantang dan tegas.
"Bisa juga bermain-main dengan kami bos? Sudah ingat semuanya? Kenapa diam saja?" Tanya Dian menohok.
"Saya tidak bermain-main. Berhenti ikut campur dalam masalah pribadi saya. Sudah cukup kamu bohongi saya beberapa tahun belakangan ini."
"Bos dengarkan saya dulu. Saya melakukannya demi kesehatan bos. Jika aku paksakan bos ingat semuanya bisa mempengaruhi kesehatan bos. Dari awal aku sudah mengetahui keberadaan Dila, cuma saya tidak bisa mengatakannya. Bukan waktu yang tepat. Aku takut mental bos down." Dian membuat pengakuan dosa.
"Dian kamu benar-benar." Bara bergidik marah. Air mukanya keruh membuat Rere, Tia, Daniel dan Gesa takut.
Satu hal yang Rere pahami. Bara sangat menyeramkan saat marah.
"Maafkan aku bos. Aku hanya mendengarkan perkataan dokter Demir. Beliau mengatakan jika bos tidak boleh memikirkan masalah berat. Takut pembuluh darah di otak bos pecah. Aku hanya melindungi bos. Karena bos sudah ingat semuanya. Mungkin saya harus katakan sebuah kebenaran."
"Apa itu?" Bara melunak. Sedari tadi Bara menghidupkan speaker agar pembicaraan mereka didengar yang lain.
"Aku sudah menemukan siapa ayah kandung Leon," ucap Dian membuat Rere hampir pingsan. Untung saja ada Tia yang menopang tubuhnya.
"Teh Dian menyelidiki aku?" Rere menangis emosional.
"Bos ada Rere disana?" Dian malah panik. Tak menyangka jika Rere mendengarkan percakapannya dengan Bara.
"Dia mendengar apa yang kita bicarakan dari tadi. Suruh Jimmy kembali ke Jakarta!"
"Tidak bisa bos. Aku sudah menyiapkan pasukan bayangan untuk menjaga kalian. Keberadaan Rere dan Gesa sudah di ketahui pembunuh Ananya. Mereka mengincar nyawa Rere dan Gesa. Aku meminta Jimmy kesana untuk melindungi kalian. Pembunuh Ananya bukan orang sembarangan. Dia salah satu anggota kerajaan Kelantan."
Jantung Rere dan Gesa hampir copot mendengar perkataan Dian. Tubuh keduanya menggigil dan gemetar.
"Jangan bilang pangeran Ahmed," ucap Gesa dengan bibir gemetar.