109. MENDATANGI DILA ( 4 )
109. MENDATANGI DILA ( 4 )
"Kakak jangan emosi dulu. Aku hanya ingin yang terbaik. Bagaimana kita duduk bertiga dengan abang Bara?" Rere melancarkan misinya. Mengaduk-ngaduk perasaan orang memang ahlinya.
"Jangan gila kamu."
"Ini tidak gila. Sudah saatnya kita duduk bertiga membicarakan anak-anak. Aku akan mengatakan semuanya pada suamiku." Rere bangga pada dirinya karena jago berakting.
"Jangan macam-macam Rere." Dila menunjuk Rere. Tersirat kemarahan di matanya.
"Aku tidak macam-macam kak. Aku hanya ingin menyatukan anak-anak dengan ayah mereka."
"Pergilah dari rumahku." Dila mengusir Rere. Tangannya menunjukkan pintu keluar.
"Dila tenanglah." Lala menenangkan Dila yang tengah emosi.
"Bagaimana aku tidak emosi Ante. Dia mau mengambil anakku." Dila terisak tangis. "Anak yang aku besarkan seorang diri lalu seenaknya diambil orang lain?"
"Suamiku tidak meninggalkan kalian. Bara ditinggalkan bukan meninggalkan. Tolong garis bawahi. Memang terdengar kejam, tapi aku ingin memanusiakan suamiku. Sampai kapan dia lupa semuanya? Tidak mungkin dia hilang ingatan sampai ajal menjemputnya."
"Rere. Bisakah awak tak terlalu frontal?" Lala menjadi penengah . Tak ingin mereka semakin ribut.
"Saya nak mahu sebenarnya aunty terlalu frontal. Tapi macam mana lagi. Kak Dila tak nak dengan pendapat saya. Saya mahu berbuat cam mana? Saya hanya ingin membahagiakan abang Bara. Tak banyak permintaan saya. Tolong adil dengan suami saya. Dia harus tahu dengan anak-anaknya. Saya nak buat kesepatakan."
"Kamu pikir aku ibu yang seperti apa? Aku tidak akan membiarkan anak-anakku tinggal bersama kalian."
"Jadi kakak mau rujuk dengan bang Bara?" Rere tergelak tawa. Sudah saatnya menjebak sang kakak ipar.
Dila tak bisa menjawab pertanyaan Rere. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, sangat ingin rujuk dengan Bara, namun Rere dan Leon penghalang hubungan mereka. Dila tak mau menjadi istri kedua dari suaminya. Poligami tak pernah terlintas dalam pikiran mereka. Poligami memang boleh dalam agama, namun tak semudah itu menjalaninya. Dila berkaca dari poligami Iqbal, abangnya. Naura dan Ria tidak pernah akur dan mereka saling menjatuhkan. Iqbal tidak tahu jika kedua istrinya hanya berpura-pura akur di depannya. Pada akhirnya kedua istrinya saling menjatuhkan. Ria bahkan berencana membunuh Naura, namun untungnya ketahuan.
"Pikirkan tawaranku. Duduk bertiga dengan kami membicarakan masa depan anak-anak atau menjadi istri kedua suamiku. Tenang saja pernikahan kalian akan aku restui. Jangan takut jika dianggap wanita kedua. Kakak tetap yang pertama bagi suamiku."
"Kamu serius dengan ucapanmu Rere? Kamu melemparkan suamimu pada wanita lain?" Lala tergagap. Tak percaya dengan pemikiran Rere.
"Istri macam apa kamu? Memberikan suamimu pada wanita lain?"
"Kak aku hanya realitis. Bukankah dalam agama kita laki-laki di perbolehkan poligami? Aku tidak masalah kalian menikah lagi demi anak-anak. Hakikat tertinggi dari mencintai adalah melepaskan. Tapi aku tak bisa melepaskannya, mungkin dengan memberikan izin suamiku menikah lagi lebih baik. Dia mendapatkan kamu dan anak-anak. Aku dan Leon tidak kehilangan abang Bara. Aku sadar jika suamiku hilang ingatan ketika aku nikahi, tapi tidak menutup kemungkinan abang Bara akan ingat semuanya. Setelah itu terjadi aku akan dibuang? Tentu saja aku tidak mau. Aku membutuhkan kakak. Ketika ingatan dia kembali lalu tidak ingat kami, setidaknya ada kakak yang menahan kami dan menjelaskan siapa kami pada bang Bara. Dia sangat mencintai kakak dan terlalu bucin. Aku tahu bagaimana bang Bara di masa lalu ketika kalian menikah." Rere bicara dengan begitu menyakinkan.
Bara tergelak tawa mendengarkan percakapan Rere dan Dila. Rere sengaja memasang kamera kecil berbentuk kancing baju dan alat komunikasi di tubuhnya. Bara memintanya, memastikan bagaimana reaksi Dila ketika Rere mengaku sebagai istrinya.
"Adik gila. Masalah poligami dibahas. Sejak kapan aku mau poligami. Kurang waras dia." Bara terkekeh tawa ketika melihat hasil kamera tersembunyi Rere dari laptop. Hiburan tersendiri untuknya melihat ekspresi ketakutan Dila. Gemas sekali dan ingin mengecup bibir yang selalu jadi candu untuknya. Tak sabar untuk memeluk Dila dan menyentuhnya.
Pintu kamar Bara diketuk dari luar. Tia dan Daniel masuk. Mereka ikut menonton live Rere bersama Dila dan Lala.
"Bagaimana hasil perbincangan kamu dengan ayah biologis Leon?" Bara menatap Tia.
"Dia setuju dengan rencana kita. Awalnya dia sanksi jika Leon anaknya tapi setelah hasil tes DNA keluar, dia yakin dan mau bertanggung jawab pada Rere dan Leon."
"Mau juga pria itu bertanggung jawab."
"Dia minta waktu Pak."
"Waktu apa?"
"Dia ingin menenangkan diri. Ini terlalu cepat untuknya. Dia harus memberi tahu keluarga besarnya masalah Leon dulu. Dia tidak tahu jika Rere hamil karena kejadian itu. Dia mau mencari pelaku yang telah menjebaknya malam itu. Andai tidak ada Rere mungkin ia akan mengalami skandal besar. Dia malah menyesal telah menghamili Rere dan sempat menuduhnya yang tidak-tidak."
"Angga bagaimana?"
"Lelaki bucin itu masih saja mengharapkan Rere Pak. Kan kacau, bucin banget dia jadi cowok. Mau mengakui Leon sebagai anaknya." Daniel malah buka suara.
"Kenapa kamu yang jawab? Saya tanya Tia bukan kamu," ucap Bara dingin. Daniel menutup mulutnya karena kaget dengan reaksi sang bos. "Kayak kamu enggak bucin aja sama Tia. Jika saya bikin aturan baru di kantor bagaimana? Sesama karyawan tidak boleh menikah? Kalo nekat nikah salah satu harus resign. Saya tiru peraturan di bank." Bara tersenyum tanpa dosa.
Seketika raut muka Tia dan Daniel berubah suram.
"Jangan dong Pak. Kalo Bapak bikin aturan itu saya malah enggak bakal nikah sama Tia. Tia tulang punggung keluarga mana mungkin resign." Wajah Daniel memelas minta dikasihani.
"Nah makanya jangan bilang orang bucin, kalo kamu sendiri bucin."
"Maaf Pak," cicit Daniel pelan.
"Sampai kapan pun aku tidak akan mau menyerahakan triplets pada kalian." Dila bersikeras dengan keputusannya.
Bara, Daniel dan Tia tak berkedip menonton drama yang tengah disuguhkan Rere. Mereka tepok jidat. Rere mengerjai Dila habis-habisan.
"Sepertinya aku terlalu banyak bicara. Aku beri kakak waktu selama tiga hari. Menikah dengan suamiku agar terus bersama anak-anak atau aku akan mengambil paksa anak-anak tapi kakak tidak bisa bertemu mereka lagi. Aku rela dimadu asal suamiku bahagia. Aku ingin dia tahu betapa besarnya cintaku."
Dila terduduk di sofa. Lemah seluruh sendi di tubuhnya. Sekali lagi di hadapkan pada pilihan yang sulit. Ia tak bisa melepaskan anak-anaknya namun tak mau menjadi istri kedua. Ia tak siap menghadapi pernikahan seperti Ria dan Naura.
"Pret….. Becanda Rere kebangetan. Sejak kapan masalah poligama jadi rencana kita Pak?" Tia bertanya pada Bara.
"Rere improvisasi sendiri." Bara tergelak tawa.
Seumur hidup Daniel dan Tia baru kali ini melihat Bara tersenyum bahagia. Biasanya pria itu sangat kaku, sulit senyum atau tertawa.