93. JANGAN GANGGU AKU
93. JANGAN GANGGU AKU
Rere harus membalas budi atas kebaikan Bara selama ini. Meski mereka hanya saudara tiri namun ikatan persaudaraan mereka seperti saudara kandung. Saling mengasihani dan melindungi. Rere datang kesana bersama Gesa. Bagaimana pun Gesa harus kembali ke negara asalnya. Sampai kapan Gesa bersembunyi dan menutupi fakta kematian Ananya. Menurut Gesa sudah saatnya ia membuka tabir dibalik kematian Ananya.
Rere membanting pintu kamar. Ia jengkel dan kesal karena Angga datang menyusulnya. Rere tak habis pikir dengan sikap mantan kekasihnya itu.
"Tunggu Re." Angga menghalangi pintu dengan kakinya. Perempuan itu bersikeras tak mau bertemu dan mendekatinya.
"Apalagi Angga?" Sebal menatap wajah tanpa dosa Angga.
"Izinkan aku bicara."
"Tidak ada yang kita bicarakan lagi. Pergilah dari hadapanku."
"Jangan begini Re." Angga memelas meminta Rere mengasihaninya.
"Cukup Angga. Kamu tahu siapa aku. Jika aku bilang tidak ya tidak. Jika kamu mengenalku pasti kamu paham."
"Re. Berikan aku kesempatan."
"Kesempatan apalagi Angga?" Rere naik darah, tak mengerti jalan pikiran pria yang pernah mengisi hatinya.
"Begitu besarkah kebencian kamu padaku Re?"
"Sangat membenci kamu Angga. Sejak malam itu aku membenci kamu," pekik Rere emosional. Ingatan Angga melecehkannya masih terekam di ingatannya.
"Hanya satu kesalahan Re. Tak bisakah kita perbaiki? Menikahlah denganku Re demi Leon, anak kita."
"Cukup Angga. Jangan lanjutkan ucapan kamu. Jika aku minta pertanggungjawaban kamu sudah dari dulu aku meminta kamu menikahiku. Mudah saja bagi bang Bara buat menemukan kami. Hal kecil Angga, tapi aku tidak mau. Sampai kapan pun aku tak sudi menikah dengan kamu."
"Jangan egois Re."
"Aku tidak egois. Aku melakukan demi kebaikan kita bersama."
"Kebaikan bersama bagaimana? Leon tidak mengenal siapa ayah kandungnya."
"Tidak perlu. Bang Bara sudah mengambil peran itu. Leon tidak pernah kehilangan sosok ayah. Jadi pergilah dari hidup kami." Rere kembali menutup pintu namun Angga menahannya.
"Kita harus selesaikan Rere."
"Semua sudah selesai beberapa tahun yang lalu Angga. Jangan menyusahkan dirimi."
"Kamu wanita aneh yang pernah aku temui Rere. Dimana-mana wanita mencari laki-laki yang telah menghamilinya dan minta dinikahi. Sementara kamu malah tidak mau menikah dengan pria yang telah menghamili kamu."
"Aku tidak sama dengan wanita itu. Tidak akan menikah hanya demi tanggung jawab. Aku datang kesini bukan untuk berdebat dengan kamu. Aku datang kesini untuk mencari keberadaan kakakku. Enyahlah dari sini." Rere melepaskan tangan Angga dari gagang pintu. Mendorong pria itu dengan kasar lalu menutup pintu kamar rapat-rapat.
Angga marah dan kecewa. Pria itu memukul udara yang hampa. Perasaannya hampa dan terluka mendapatkan penolakan demi penolakan Rere. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Susah membujuk Rere. Angga meratapi nasibnya pilu. Menyesal telah melecehkan Rere. Gara-gara perbuatannya malam itu, wanita yang ia cintai jadi membencinya. Angga meninggalkan kamar Rere dengan perasaan nyeri.
Rere bersandar di pintu. Sesak ia rasakan telah bersikap kasar pada mantan kekasihnya. Rere menyeka air mata. Jantungnya berdegup dengan kencang. Napasnya naik turun tak berarutan. Gadis itu memegangi dadanya yang sesak. Sebenarnya Rere tidak bisa bersikap ketus dan kasar, namun ia lakukan agar Angga berhenti mendekatinya. Rere tak ingin Angga masuk dalam kehidupannya lagi. Rere sudah bahagia bersama Leon.
"Kenapa Re?" Gesa menatapnya dengan khawatir. Takut para pembunuh Ananya memburunya sehingga Gesa menyamar datang ke Malaysia. Ia mengubah penampilannya. Rambutnya dipotong blonde dengan warna coklat lalu menggunakan soflens. Gesa nyaris tidak dikenali.
"Tidak apa-apa." Rere berusaha tegar. Tak mau membicarakan masalah pribadinya.
"Angga lagi?" Gesa sudah bisa menebak.
"Jangan bahas. Gue lagi enggak mood bahas dia." Rere melangkah masuk ke dalam kamar. Ia lepas sepatu lalu berbaring di ranjang. Pikirannya kosong menatap langit-langit kamar.
"Tia dan Daniel sudah ditemukan. Mereka selamat dan tinggal di posko penampungan beberapa hari ini. Besok kita akan menjemput mereka. Sekalian urus paspor mereka di kedutaan biar bisa pulang ke Jakarta."
Rere bangkit dari ranjang. Ia berdiri lalu mendekati Gesa. Menepuk pundak wanita itu pelan.
"Terima kasih atas bantuannya."
"Ini belum seberapa Re dengan pertolongan kamu. Aku berhutang nyawa padaku." Sendu Gesa menatap maniak mata Rere. Ada tangisan dan kesedihan yang tengah ia tutupi.
Keesoakan harinya Rere dan Gesa menuju posko pengungsian. Lokasi tsunami tampak mencekam. Sisa-sisa bencana masih terlihat jelas. Puing-puing gempa masih terlihat. Reruntuhan bangunan belum dibersihkan pemerintah setempat. Masih fokus pencarian korban tsunami. Betapa mengerikannya gempa dan tsunami di Pulau Pangkor. Bulu kuduk Rere berdiri, tak bisa membayangkan jika mengalami sendiri. Gesa menuju posko untuk mengecek keberadaan Daniel dan Tia. Mereka berdua malah menjadi relawan untuk membantu anak-anak sembuh dari rasa trauma. Mereka masih was-was dan ketakutan. Paranoid jika gempa susulan terjadi.
Relawan membawa Tia dan Daniel pada Gesa.
"Kau siapa?" Tanya Tia menyelidik.
Gesa membuka kacamatanya. Tersenyum menatap Tia. Gadis itu tak percaya ketika melihat Gesa ada di depan matanya.
"Gesa lo..." Tia tak percaya jika Gesa berani datang ke Malaysia. Bukankah gadis itu masih bersembunyi dari pembunuh Ananya?
"Diam." Gesa menaruh telunjuknya di bibir. "Tidak usah banyak bicara. Gue mau jemput kalian. Rere sudah menunggu di mobil."
"What Rere ada disini?" Tia mendapatkan satu persatu kejutannya. "Apa yang membawa dia hingga datang kemari?"
"Nanti kita bicara. Mari ke mobil. Anda Daniel?" Gesa melirik Daniel, calon suami Tia.
"Iya," jawab Daniel singkat.
"Ini pacar lo Tia?"
"Bukan pacar tapi calon suami," jawab Daniel cepat sebelum Tia bicara.
"Gercep juga lo," balas Gesa menatap Daniel.
"Harus. Sebelum diambil orang."
"Wow….Perfect." Gesa memutar matanya. Gadis itu menatap Tia. Melalui gerakan matai a menggoda Tia. Wajah Tia bersemu merah.
"Mari kita ke mobil." Gesa mengajak keduanya naik mobil.
"Rere."
"Tia."
Kedua berpelukan haru. Rere merasa lega karena Tia ditemukan dalam keadaan selamat. Daniel duduk di depan bersama sopir. Sementara para perempuan duduk di kursi tengah.
"Gue kira bakal kehilangan lo Tia. Alhamdulilah kalian selamat."
"Berkat doa kalian semuanya." Tia menggenggam erat tangan Rere. Terharu karena sahabatnya itu datang mencarinya.
"Bagaimana Pak Bara? Apa sudah ditemukan keberadaannya?" Tia menatap Rere penuh pengharapan. Berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Rere.
"Sampai sekarang kami belum menemukan keberadaan Pak Bara." Gesa malah menjawab pertanyaan Tia.