86. TERJEBAK ( 7 )
86. TERJEBAK ( 7 )
Dila menangis tersedu-sedu. Merasa takut dan asing di tempat ini. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Tidak mungkin ia tinggal seorang diri di pulau terpencil ini. Dila duduk seraya memeluk kakinya. Pakaiannya kering dibadan. Ia sudah merasa gatal. Dila mencemplung di dalam laut. Setidaknya badannya tak gatal lagi.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku berada disini? Seingatku terjadi gempa lalu kepalaku membentur pilar bangunan dan berdarah. Apa sebenarnya yang terjadi?" Dila memejamkan matanya kala berendam di air laut. Ia mengapung di dalam laut. Dila tak punya harapan lagi. Berasa kecil dan asing di tempat yang tidak ia ketahui.
Dila keluar dari laut seraya berjemur di tepi pantai. Sadar hanya mempunyai pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia berjemur seraya mengeringkan pakaian. Setidaknya tubuhnya tidak gatal dan bau lagi.
"Shaka, Shakel, Salsa, Hanin. Ama kangen kalian nak." Dila kembali menangis ketika mengingat anak-anaknya. Tak pernah ia bayangkan jika akan terpisah dari anak-anaknya. Setidaknya Dila sedikit lega anak-anak bersama Dino dan mereka selamat. Seandainya anak-anak masih bersamanya mungkin ia tidak bisa menjaga keempat anak itu.
Dila membentuk segi empat melalui jarinya. Bergaya bak fotografer yang tengan membidik langit.
"Sampai kapan pun nak. Ama tidak kuat berpisah dari kalian. Ama tidak tahu apa yang terjadi nak. Kenapa Ama berada disini? Ama malah berpisah dari kalian sebelum memberi tahu yang sebenarnya nak. Ayah kalian Bara bukan Dino. Sedih sekali Ama tidak bisa berjumpa dengan kalian. Hikss…..Hiks….Ama tidak mau disini." Dila menangis terisak-isak dalam waktu lama.
"Menangis tidak akan membuat kamu kembali," ucap seorang pria. Dila berdiri karena kaget. Ternyata ia tak sendirian. Wajahnya sumringah kala mengetahui ada orang lain di pulau ini.
Dila semakin kaget kala melihat siapa pria yang bersamanya. Pria itu menjinjing kayu dengan memakai kemeja putih yang sudah berwarna kecoklatan. Dadanya terekpos kala kancing kemeja si pria di lepas dua sampai tiga buah.
"Bara." Dila mengucek matanya. Apakah ia sedang berhalusinasi? Ia kembali mengucek mata memastikan ini nyata.
Bara melempar kayu bakar yang ia cari ke hutan ke bawah. Ia mendekati Dila. Pria itu memegang tangan Dila dan menuntun memegang pipinya.
"Sudah puas?" Tanya Bara ketus. "Ini aku Aldebaran."
Dila baru percaya jika itu Bara ketika mencubit pipi pria itu. Dila bahkan iseng mencubit pipi pria itu keras hingga menjerit kesakitan.
"Aw….," pekik Bara ketika tangan Dila meremas pipinya dengan kuat. "Sakit tahu."
Dila terharu, ia tidak sendirian di pulau ini. Hatinya terlalu bahagia hingga memeluk Bara dengan erat. Bara terperangah kala Dila memeluknya dengan erat seperti orang yang sudah lama tidak bertemu. Bara hanya diam mendapatkan pelukan itu. Pasrah ketika Dila bergelayut manja. Bara hanya diam mematung tak membalas pelukan Dila. Ia memaklumi sikap Dila. Pasti wanita itu mengira tinggal sendirian di pulau terpencil ini.
"Bisa lepaskan pelukannya?" Tanya Bara dengan wajah datar.
Dila kaget lalu melepaskan pelukannya. Setidaknya kerinduan dengan pelukan Bara sudah terobati. Lengan kekar dan dada bidang yang selalu jadi sandarannya kembali ia rasakan. Wajah Dila merah karena malu karena tahu diri jika Bara yang sekarang bukan lagi Bara suaminya. Bara yang sekarang hanya menganggapnya orang asing.
"Maafkan aku."
"Aku maafkan," kata Bara dingin seperti biasa.
Dila merasa malu karena telah memeluk Bara. Andai mereka tidak terdampar ke tempat terpencil mungkin Bara sudah memakinya seperti ia memaki Kinanti.
"Terima kasih," balas Dila dengan wajah menunduk. "Bar, aku mau tanya."
Hanya jawaban 'Hmm' yang Dila dapatkan. Pria itu sibuk menyusun kayu bakar lalu membuat api dengan menggesekkan dua buah batu. Kayu itu terbakar.
"Kenapa bakar kayunya sekarang? Ini lebih berguna buat nanti malam."
"Aku mau membuat tanda jika ada pesawat melintas di tempat ini. Kita butuh bantuan. Tidak mungkin kita disini selamanya. Kasihan keluarga kita." Bara menyusun kayu bakar hingga membentuk tulisan 'HELP'.
"Tapi ini akan efektif jika malam hari." Dila mengemukan pendapatnya.
"Bisa tidak cerewet?" Gigi Bara bergemeletuk gemas dengan celotehan Dila. Untung saja ia terdampar bersama Dila. Andai bersama Kinanti mungkin ceritanya akan berbeda. Perempuan itu pasti ingin berlama-lama dan mencuri kesempatan kala malam datang.
Dila hening. Tak ada percakapan di antara mereka. Bara kembali ke hutan kala kayu bakarnya sudah tersusun rapi. Dila tak bertanya mengapa pria itu kembali ke hutan. Ia terlalu sebal dengan Bara. Entahlah, mereka telah jauh. Ikatan cinta mereka tidak seperti yang dulu. Semua berbeda.
Tak lama kemudian Bara kembali membawa pisang. Buah itu ia petik berebut dengan monyet. Untung Bara lebih cepat sehingga mendapatkan pisang.
"Makanlah." Bara memberikan pisang pada Bara.
"Dimana kamu mendapatkannya?" Dila malah bertanya bagaimana Bara mendapatkan pisang.
"Makan saja. Tidak usah banyak tanya." Bara bicara dengan mode ketus dan dingin. Seperti biasanya. Ia terlihat begitu cerewet.
"Kenapa kita bisa sampai disini?" Tanya Dila di sela memakan pisang. Bara tahu saja jika ia tengah lapar.
"Kamu tidak ingat?" Kening Bara berkerut tak habis pikir dengan Dila.
"Aku hanya ingat gempa Bar. Kepalaku terbentur pilar bangunan. Berdarah lalu pingsan."
"Aku kamu tidak bertanya bagaimana lukamu bisa sembuh?"
"Bagaimana?" Dila menghentikan makan pisang. Ia mengemut pisang lalu mengeluarkan pisang itu dalam keadaan utuh.
Jakun Bara naik turun melihat tingkah Dila. Ia lelaki normal melihat Dila memakan pisang dengan cara seperti itu, otaknya traveling memikirkan hal berbau mesum. Bara mengumpat dalam hati menjauhkan pandangannya.
"Aku menyelamatkkan kamu. Mengobati lukamu dengan daun-daun yang ada di pulau ini. Setelah gempat terjadi terjadi tsunami?"
Dila bangkit dari duduknya. Bergidik ngeri ketika membayangkan tsunami menerjang di Parkour Laut Resort.
"Kamu menyelamatkanku?" Wajah Dila dekat dengan wajah Bara.
"Siapa lagi jika bukan aku. Jika aku tidak selamatkan kamu mungkin kamu hanya tinggal nama."
"Bar, terima kasih," ucap Dila tulus membuat Bara merinding. Mata Dila begitu meneduhkan, ucapannya benar tulus dari dalam hati dan tidak ada kepura-puraan disana.
"Sama-sama," jawab Bara mengalihkan pandangannya. Makin lama melihat wajah Dila membuat otak liarnya berkelana. Mereka hanya berdua di pulau asing ini. Kenapa pesona dan senyuman Dila membuatnya tenang dan taka sing seolah terbiasa melihatnya. Senyuman Dila sangat manis bahkan mengalahkan manisnya gula Jawa. Bara memukul jidatnya sendiri. Kenapa Dila bisa membuat otaknya traveling? Sementara Kinanti yang menawarkan diri terang-terangan ia tolak.
"Bar kamu belum cerita bagaimana kita bisa selamat dari terangan tsunami itu?