Jodoh Tak Pernah Salah

79. PERTANYAAN DIAN



79. PERTANYAAN DIAN

Tia terdiam mematung mendengar pertanyaan Dian. Orang seperti Dian tidak bisa dibohongi. Tia merengut kesal, tidak mau jika rencananya dan Rere berantakan karena Dian.     

"Kamu diam berarti kamu mengiyakan pertanyaanku. Masalah apa yang tengah terjadi?"     

"Saya diam bukan mengiyakan Bu. Saya lagi berpikir darimana Ibu tahu. Saya seperti bicara dengan cenayang." Tia tertawa terkikik berusaha mengalihkan pembicaraan.     

"Apa kau bisa dipercaya Tia?" Dian mengelus perutnya yang tengah membuncit. Usia kandungannya masuk bulan ke-tujuh. Dua bulan lagi akan melahirkan.     

"Jika Ibu tidak mempercayai saya mana mungkin Ibu menempatkan posisi saya sebagai sekretaris Pak Bara menggantikan Ibu."     

"Kamu sudah pintar bicara rupanya." Sarkas Dian seraya mengunyah buah pir.     

"Saya belajar dari Ibu," kekeh Tia merendah untuk meroket.     

"Katakan padaku apa yang terjadi selama di KL!".     

Tia menggeram kesal karena Dian mengintimidasinya. Ia sangat tahu sepak terjang Dian. Wanita itu sangat mengerikan jika marah. Otak Tia traveling memikirkan jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan Dian.     

"Baiklah jika Ibu ingin tahu," lirih Tia dengan suara berat.     

"Kinanti hadir di acara pernikahan putri Tuan Irfan Khan. Siluman ular itu bahkan ingin menjebak Pak Bara untuk menghabiskan malam bersama. Pak Bara waktu itu datang kesana karena perempuan itu mengetahui rahasia masa lalu Bapak."     

"Pantas," umpat Dian kesal. Ia berusaha tak mengumpat dalam kata-kata kasar karena sadar sedang mengandung. Ibu hamil harus menjaga sikap dan perkataannya. Kata orang tua dulu kelakuan anak akan meniru kelakuan ibunya ketika hamil si anak.     

"Pantas apa Bu?" Tia malah kepo.     

"Sudahlah tidak apa-apa," elak Dian cepat.     

"Kalo gapapa kenapa Ibu marah?" Tia semakin penasaran karena Dian sangat mencurigakan.     

"Kapan kalian kembali?"     

"Tiga hari lagi Bu."     

"Cepatlah kembali. Ada yang harus kita bicarakan."     

"Tentang apa Bu?"     

"Kenapa kamu tidak sabaran sekali sih?" Gerutu Dian kesal. Andai Tia ada di depan matanya mungkin Dian sudah mencolok mata Tia.     

"Ya saya takut kalo Ibu yang panggil."     

"Kenapa kamu takut?"     

"Ya Ibu tanya kayak orang yang sedang mengintrogasi. Seram Bu," kata Tia pura-pura takut dan ngeri. "Sekali Ibu tendang saya bisa patah tulang."     

"Berlebihan sekali kamu. Aku tidak seperti itu."     

"Ya ampun Ibu masa lupa?" Goda Tia memancing amarah Dian.     

"Daniel bisa kamu goda seperti itu tidak dengan saya."     

"Kok Daniel dibawa sih Bu?" Tia memprotes karena Daniel dibawa-bawa dalam pembicaraan mereka.     

"Apa kamu enggak sadar jika direktur operasional kita naksir sama kamu? Sudah jangan banyak mengelak. Terima saja cinta dia."     

"Ibu kok jadi biro jodoh sih?"     

"Jangan mengalihkan pembicaraan Tia. Laporkan apa saja gerak-gerik bos padaku! Apa dia bersikap aneh."     

"Apa Ibu meminta saya menjadi mata-mata?"     

"Jangan banyak tanya! Lakukan apa yang aku perintahkan," ucap Dian sebelum mematikan sambungan telepon.     

Tia merengut kesal karena merasa terintimidasi. Tidak mudah berhadapan dengan Dian.     

Dian terlalu pintar untuk dibohongi. Tia menghirup udara dengan rakus. Terlalu banyak hal yang terjadi semenjak kedatangan mereka di Parkour Laut Resort. Takdir seolah mempermainkan cinta Bara dan Dila. Misi Tia dan Rere untuk mempersatukan mereka harus berhasil.     

Tia berbaring di ranjang. Malam semakin larut. Mereka besok akan kembali KL karena akad nikah putri Tuan Irfan diadakan disana. Tia memutar otak memikirkan rencana selanjutnya.     

Baru saja matanya mulai terpejam Dian kembali menelpon. Tia pura-pura tidak mendengarkan panggilan Dian. Anggap saja ia sudah ketiduran, alasan tak mengangkat telepon biar tidak kena marah.     

Misinya adalah mempersatukan Bara dan Dila. Membuat keluarga kecil mereka kembali bersama. Lelah ternyata jika kita berusaha membahagiakan orang lain sementara sampai sekarang Tia belum menemukan kebahagiaannya.     

Tiba-tiba pintu kamar Tia di ketuk seseorang. Tia mengintip siapa yang datang. Ia segera membukakan pintu ketika tahu yang datang itu Daniel.     

Tanpa dipersilakan pria itu masuk ke kamar Tia dan duduk di sofa.     

"Gue butuh penjelasan Tia." Daniel berkata dengan wajah dingin. Tia jadi ketakutan melihat Daniel seserius ini. Selama kenal Daniel dan jadi bawah belum pernah ia melihat pria itu serius dan berwibawa.     

"Apa yang harus gue jelasin Daniel?", Tia malah tersenyum mengejek.     

"Banyak yang lo jelaskan termasuk kejadian malam ini antara Pak Dino dan Pak Bara. Apa yang lo ketahui dan gue enggak tahu?"     

"Masalah kantor gue akan cerita tapi jika masalah pribadi Pak Bara bukan kapasitas lo untuk mengetahuinya."     

Daniel sangat kecewa mendengarkan jawaban Tia. Jika saja ia punya wewenang maka akan menarik Tia menjadi sekretarisnya dan mengukung sang wanita untuk masuk dalam kehidupannya.     

"Kenapa lo sangat perhatian dengan Pak Bara? Sampai lo urusin masalah pribadi beliau?" Daniel bangkit lalu mendekati dan menyentuh pinggang Tia.     

"Apa yang lo lakuin ke gue?" Tia kaget mendapati sikap aneh Daniel. Mencoba melawan namun Daniel semakin kuat membelit tubuhnya. Daniel mengubah posisi Tia. Ia memeluk Tia dari belakang bahkan dagunya bersandar di leher Tia. Bulu roma Tia meremang. Ada perasaan aneh yang tengah menyergap. Daniel malah mengecup leher Tia sehingga membuat wanita itu merasakan gelenyar aneh dalam tubuhnya. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Daniel sangat tahu area sensitif di tubuh Tia.     

"Lepaskan gue Daniel." Pekik Tia setelah menguasai keadaan.     

Daniel merenggangkan pelukannya.     

"Kenapa lo enggak bisa melihat jika gue menaruh perhatian sama lo? Gue cemburu dan marah ketika lo sangat perhatian dengan Pak Bara. Lo terlalu ikut campur dalam urusan pribadi Pak Bara. Gue cemburu Tia. Kenapa bukan lo yang jadi sekretaris gue?"     

"A-apa maksud lo?" Tia tergagap. Secara tidak langsung Daniel mengakui perasaannya.     

"Jangan bodoh tidak mengerti apa yang gue katakan. Ada tipe pria yang tak bisa mengucapkan cinta tapi memperlihatkan dengan perbuatan. Gue tipe pria itu Tia, tapi sepertinya lo enggak paham dan mengerti perasaan gue yang sesungguhnya. Gue cinta sama lo. Be my wife." Daniel merunduk dan memberikan cincin pada Tia.     

Tia speechless tak percaya Daniel bisa semanis ini. Tia malah melamun kala Daniel melamarnya. Mulut Tia sampai melongo mendapati sikap romantis Daniel. Pria itu serius dengan ucapannya.     

"Maukah lo menikah dengan gue?" Daniel bertanya sekali lagi dengan penuh harapan.     

Tia merasa semua ini mimpi. Mana mungkin Daniel melamar sementara mereka tidak pernah berpacaran.     

"Ini sangat mengejutkan buat gue. Kasih gue waktu Daniel. Ini terlalu mendadak dan cepat bagi gue. Jujur gue kaget lo mengungkapkan perasaan sama gue. Bisakah lo kasih gue waktu untuk berpikir?" Perasaan Tia menghangat. Ia tak jadi marah karena Daniel mengganggunya malam-malam.     

"Berapa lama gue menunggu hingga lo memberikan jawaban?"     

"Jika lo memaksa maka gue akan memberikan jawaban malam ini, tapi jangan salahkan gue jika jawabannya tidak memuaskan lo." Tia malah mengultimatum.     

"Gue akan tunggu," ucap Daniel cepat.     

Tia malah tertawa melihat sikap konyol Daniel. Pria itu mengusap wajahnya karena malu.     

"Gue menunggu jawaban lo," ucap Daniel mengecup bibir Tia sekilas. Setelah itu Daniel melarikan diri tak mau menjadi korban KDRT. Ia menatap Tia dengan wajah cengengesan.     

"Daniel," pekik Tia murka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.