78. SEMAKIN PELIK
78. SEMAKIN PELIK
"Dia bukan ayah triplets," ucap Dila berbohong.
"Benarkah?" Mata Dino membulat tak percaya. Ternyata Dila bisa melakukan kebohongan besar.
"Dino please…Jangan marah. Aku enggak sanggup jika kamu marah. Kamu orang terdekat aku hampir 4 tahun ini. Jangan bersikap begini Dino. Aku enggak kuat jika kamu marah sama aku. Aku akui jika aku salah. Dinihari itu aku enggak sengaja keluar kamar karena enggak bisa tidur. Lalu aku jalan-jalan ke pantai untuk menenangkan diri. Aku enggak sengaja melihat Bara dan Kinanti. Mereka bertengkar hebat. Aku enggak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah itu Bara pergi. Aku terus berjalan-jalan lalu mendapati Bara pingsan. Aku panik dong melihat orang pingsan. Jiwa kemanusiaanku timbul. Aku menolong dia. Tidak mungkin dinihari aku mengetuk pintu kamar Tia, sekretarisnya Bara. Yang ada Tia akan menuduh aku yang tidak-tidak. Sekretaris Bara itu sangat menyeramkan."
"Oh begitu?" Sarkas Dino tak mempercayai ucapan Dila. "Meski kamu sudah jelaskan aku tidak bisa percaya begitu saja." Dino pergi meninggalkan Dila.
"Jangan ikuti aku," lanjut Dino melarang Dila.
Dila tak berkutik. Kakinya lemas mendapati sikap ketus Dino. Selama ini mereka hidup bersama, baru kali ini Dila mendapati sikap Dino yang seperti ini. Biasanya pria itu lembut, pengertian dan tenang. Hanya karena satu kesalahpahaman Dino berubah 180 derajat. Dunia Dila seperti jungkar balik. Tak menyangka masalah ini semakin pelik. Kita manusia hanya bisa berencana selanjutnya takdir Tuhan yang menentukan.
"Aku dihadapkan dalam masalah berat. Satu pria merupakan ayah kandung dari triplets. Satu pria lagi adalah pria yang berada di sisiku ketika aku susah. Tuhan aku telah menyakiti Dino. Aku tidak ingin menyakiti pria sebaik Dino, aku melakukannya dengan spontan." Dila meratapi nasib.
*****
"Pelan-pelan Tia." Gerutu Bara kala Tia membersihkan luka di wajahnya. Akibat pukulan Dino, bibirnya robek dan matanya membiru kena bogem mentah.
"Ini sudah pelan-pelan Pak," cebik Tia kesal. Andaikan Bara itu Daniel mungkin Tia akan menekan luka Bara agar semakin sakit.
"Bapak kenapa sich sampai bertengkar dengan Pak Dino?" Tia berusaha menginvestigasi sang bos.
"Kamu enggak perlu tahu."
"Saya perlu tahu dong Pak. Saya dengar Bapak mengganggu Dila. Dia itu istrinya Pak Dino Pak. Wajar dia marah ketika Bapak ada di kamar Dila."
"Jadi pagi Bapak menghilang itu pergi ke kamar Dila?" Daniel semakin membuat Bara terpojok. Bisa-bisanya anak buahnya menyudutkannya.
"Hilangkan pikiran kotormu Niel," ucap Bara dingin. Wajahnya tak bersahabat menatap Daniel.
"Gimana enggak kotor pikiran saya Pak. Bapak menghilang pagi itu. Tiba-tiba sudah ada di kamar Dila? Pria dan wanita dewasa dalam satu kamar apakah yang mereka lakukan?" Tangan Daniel membentuk emot orang yang sedang berciuman.
"Jangan menuduhku yang tidak-tidak." Semprot Bara tak terima tuduhan Daniel.
"Saya enggak nuduh lo Pak. Melihat situasinya semua orang akan berpikiran yang sama seperti saya. Aduh otakku, kenapa pikirannya kotor? Apa perlu otak ini dibersihkan dengan sunlight? Agar lemak-lemak kotor di otak ini hilang," ucap Daniel menyentuh kepalanya. Ucapan Daniel hanya menyindir Bara secara halus.
Bara melipat lengan kurta yang ia pakai. Ia terpancing dengan ucapan Daniel.
"Kamu mau ribut sama saya?" Cecar Bara dengan mata melotot.
"Mana mungkin saya berani Pak," elak Daniel membuat Tia tertawa.
"Pak sudahlah. Jangan marah-marah." Tia menengahi perdebatan keduanya.
"Oh kamu membela dia?" Bara menunjuk Daniel.
"Bukan membela sich Pak cuma mau menengahi saja," balas Tia dengan senyuman. Tia memberi plester pada luka Bara.
"Bos kamu Daniel apa saya?"
"Ya Bapaklah."
"Kenapa kamu bela dia?"
"Saya enggak bela siapa-siapa Pak. Saya hanya menengahi. Menyikapi hal yang terjadi tadi. Saya harap Bapak jangan bicara lagi dengan Dila."
"Bukan saya yang mendekati Dila tapi wanita itu yang selalu mendekati saya. Dia mengikuti saya."
"Seharusnya tadi Bapak tidak perlu emosi. Tadi bisa dibicarakan baik-baik. Bapak jangan membantah ucapan saya dulu. Pak Dino wajar marah karena dia merasa miliknya direbut. Suami mana yang enggak marah mendapati istrinya membawa pria lain? Enggak orang atau kita pasti negative thinking Pak. Pria dan wanita dewasa dalam satu kamar ngapain? Logikanya aja Pak. Saya ambil contoh. Kinanti bawa cowok ke dalam kamar mereka ngapain?"
"Bikin dedek bayilah," celetuk Daniel semakin membuat Bara kesal dan terpojok.
"Nah semua orang akan berpikiran seperti Daniel. Jadi menurut saya kemarahan Pak Dino tadi dalam batas wajar. Harga diri dia sebagai laki-laki merasa terinjak kala ada pria asing masuk kamar Dila. Jadi jangan Bapak anggap ini sepele. Ini permasalahan rumit. Andai mulut Dino lemes dan katakan masalah ini ke Tuan Irfan siapa yang susah? Tuan Irfan pasti akan berpikiran buruk sama Bapak. Di pesta pernikahan putrinya Bapak membuat kekacauan. Tidak bisa kita pungkiri Pak, Tuan Irfan bisa saja memutuskan perjanjian kerja sama dengan kita. Kita datang ke tempat ini untuk berbisnis dengan beliau. Kita jangan menodai kesakralan pernikahan putri beliau." Tia menjelaskan dengan bijak.
Bara terdiam. Kata-kata Tia menampar hatinya. Apa yang diucapkan sang sekretaris benar adanya. Bara merenung, memikirkan kesalahannya. Tiba-tiba kepala Bara jadi sakit dan berdenyut. Tiba-tiba matanya memerah lagi. Jika kondisi Bara seperti ini dipastikan sakitnya kambuh lagi. Tia dengan cepat mengambil obat Bara dan memberikannya pada sang bos. Bara memakan obat itu lalu meminum air yang disodorkan oleh Tia.
"Sakit lagi kepalanya Pak?" Tia auto panik.
"Bapak engggak apa-apa?" Daniel bangkit dari tempat duduknya menghampiri Bara. Pria itu memegangi tangan Bara agar tidak jatuh dari kursi.
"Aku tidak apa-apa," balas Bara dengan suara parau. Matanya melotot seperti orang linglung.
"Saya akan panggil dokter," ucap Tia khawatir.
"Tidak perlu," cegah Bara. "Aku akan tidur. Kembalilah ke kamarmu. Ada Daniel disini. Kamu tidak perlu khawatir."
Tia keluar dari kamar Bara dan Daniel. Gadis itu melengos. Masalah semakin pelik. Tia mengambil napas pelan lalu menghembuskannya. Iphone milik Tia berdering dengan keras. Ia melihat nama si penelpon di layar iphone.
"Bu Dian," cicit Tia kaget. "Kenapa tiba-tiba menelpon aku?"
Tia memencet tombol hijau di layar iphone.
"Selamat malam Bu," sapa Tia basa-basi.
"Selama kalian berada di KL apa semuanya baik-baik saja?" Tanya Dian dari seberang.
Tia memukul jidatnya seraya berbisik dalam hati. "Mati gue. Tim investigasi sedang bertanya. Gue harus jawab apa ini. Apa Ibu Dian tahu sesuatu. Sangat sulit berbohong dengan dia."