60. BARTER
60. BARTER
Naura membuka pintu kamar yang hampir tertutup. Ria masuk ke dalam kamar bersama Naura. Keduanya duduk di atas ranjang. Keduanya seperti kakak adik, tak ada kebencian dan persaingan sebagai mantan madu.
"Kenapa uni menangis?" Ria menghapus air mata Naura.
"Aku merasa menjadi orang jahat karena telah memisahkan Iqbal dan anak-anak. Bagaimana pun Iqbal tetap ayah kandung mereka. Tak sepantas kita memisahkan mereka dan membiarkan Allea dan Attar membenci papa mereka. Aku tidak ingin anak-anak terlibat konflik dengan Iqbal. Cukup kita berdua yang konflik dengan Iqbal mereka jangan." Naura menyandarkan kepalanya di bahu Ria.
Hati Ria ikut teremas. Ia mengelus kepala Naura. Ria mengerti apa yang dirasakan Naura.
"Kita tidak salah uni. Apa yang kita lakukan sudah benar. Melarikan diri dari Iqbal. Anak-anak trauma dan mengalami gangguan psikologis karena menjadi saksi KDRT kita. Sebagai orang tua mereka, kita tak pernah mengajari anak-anak untuk membenci Iqbal. Rasa benci itu timbul secara alamiah. Mereka melihat semuanya. Sudahlah uni jangan menangis lagi."
"Apa yang kita lakukan sudah benar Ria?" Naura mencoba mencari pembelaan.
"Sudah benar uni." Ria mengangguk seraya memeluk Naura dengan erat.
"Aku merasa tindakan kita salah memisahkan anak-anak dengan papanya."
"Uni tidak salah. Tindakan uni sudah benar. Ingat bagaimana perjuangan kita untuk memperbaiki mental Allea dan Attar. Jika kita tak melarikan mereka mungkin anak-anak kita mengalami gangguan psikologis. Uni terlalu baik dan gampang tersentuh. Saking baiknya uni bahkan rela memiliki madu sepertiku. Aku malah menjahati uni dan berniat membunuh uni dulu. Ternyata aku salah telah menjahati uni. Sebaliknya uni tetap baik padaku dan membantuku menghadapi masa sulit."
"Sudah jangan ungkit masa lalu lagi." Naura tak suka Ria mengungkit masa lalu mereka.
"Kenyataannya seperti itu uni. Aku menyesal telah jahat pada orang sebaik uni. Hati uni begitu bersih dan suci." Ria ikutan menangis.
"Kenapa kamu menangis?" Giliran Naura yang menghapus air mata Ria.
"Jika bukan karena jasa uni tiga tahun yang lalu mungkin aku sudah jadi gelandangan dan tidak bisa hidup layak bersama Attar dan Aina."
"Jangan disebut lagi Ria. Attar dan Aina juga anak-anakku. Aku tidak ingin mereka kesulitan."
"Terima kasih telah menjadi kakakku uni." Ria memeluk Naura makin erat. "Aku tidak pernah menyangka hubungan kita malah membaik setelah kita tak menjadi istri Iqbal lagi."
"Semua ada hikmahnya Ria." Naura berusaha mengulas senyum membangkitkan semangat dalam dirinya.
"Ria," panggil Naura lirih.
"Ya uni."
"Jangan biarkan anak-anak membenci Iqbal. Cukup kita yang memiliki masalah dengan Iqbal. Anak-anak jangan terlibat konflik dengan ayah mereka. Anak-anak jangan dilibatkan dengan masalah orang dewasa. Jahat sekali jika kita melakukan semua itu."
"Uni bagaimana kita memberikan Iqbal akses bersama dengan anak-anak dengan barter informasi?"
"Maksudnya?" Kening Naura berkerut tak mengerti arah pembicaraaan mantan madunya.
"Kita beri Iqbal kebebasan menemui anak-anak dengan syarat memberi tahu kita keberadaan Dila." Ria tersenyum manis.
Mulut Naura ternganga tak percaya dengan ide Ria. Kenapa ia tak pernah memikirkan sebelumnya.
"Bukannya Dian meminta bantuan kita untuk menemukan keberadaan Dila agar ingatan Bara pulih."
"Kamu benar." Tiba-tiba Naura bersemangat dan ceria.
"Tapi sebelumnya kita akan memastikan jika Iqbal tak akan membawa lari anak-anak." Ria tetap waspada dan tak mudah mempercayai Iqbal begitu saja.
"Kamu benar Ria. Kita harus mempersatukan Dila dan Bara. Aku yakin jika sekarang Dila hidup bersama anaknya. Jika ketiga embrio itu hidup di rahim Dila kemungkinan anaknya ada tiga orang. Aku ingin bertemu dengan Dila."
"Aku juga ingin bertemu dengan Dila. Meski dia marah padaku, tapi dia tetap meminta Iqbal mempertahankan aku menjadi istri Iqbal dan meminta kakaknya memperlakukan aku dengan baik."
"Dila memang baik. Tak layak jika orang sebaik Dila tak bahagia. Dia harus bersatu dengan Bara bahkan mereka masih suami istri secara hukum."
"Bagaimana kabar dari Yosef?"
"Yosef sibuk. Dia berada di Eropa mendapat tugas negara. Dia tak bisa membantu kita." Naura menghela napas berat.
"Baiklah uni kita keluar menemui Iqbal." Ria menarik tangan Naura. Hubungan mereka sangat baik, sudah seperti kakak adik.
"Iqbal bisa kita bicara," ucap Ria tak lagi memanggil Iqbal dengan embel-embel 'uda'. Ria menoleh pada ketiga anaknya. "Kalian bisa bermain dulu atau pergi ke kamar atas? Mami, mama dan papa mau bicara."
"Baik mami," jawab Attar cepat. Ia menarik tangan Allea dan Aina menuju ke kamar mereka di lantai dua.
"Apa yang ingin kalian bicarakan?" Tanya Iqbal setelah anak-anak pergi.
"Apa kamu ingin memiliki kebebasan menemui anak-anak?" Ria bicara tanpa basa-basi.
"Tentu saja aku ingin."
"Tidak berniat membawa lari anak-anak dari kami bukan?" Ria mencoba memastikan.
"Tidak akan. Aku tidak ingin anak-anak semakin membenciku."
"Baiklah kalo begitu." Ria berpangku tangan. Ria melirik Iqbal dengan lirikan mata meminta pria itu duduk di sofa. Ria dan Naura juga duduk setelah Iqbal duduk.
Mereka bertiga beradu netra, memandang dalam diam.Tak ada yang memulai pembicaraan. Suasana hening.
"Baiklah Iqbal." Ria buka suara.
"Aku lebih tua darimu." Iqbal sedikit kesal karena Ria memanggilnya dengan sebutan nama.
"Maaf, aku bukan istrimu lagi. Jika memanggilmu uda itu sama aja melukai perasaan suamiku yang sekarang. Jangan terlalu kolot banget. Ini Jakarta bukan Padang. Hal kecil jangan dipermasalahkan," jawab Ria sekenanya. Ucapan Ria malah memancing tawa Naura.
"Apa yang sebenarnya ingin kalian inginkan? Aku yakin ada sesuatu yang membuat kalian mengijinkan aku bebas menemui anak-anak."
"Tolong garisbawahi. Jangan melarikan anak-anak." Naura akhirnya bicara.
"Kami ingin melakukan barter," lanjut Ria lagi.
"Barter apa?" Iqbal kebingungan tak mengerti arah pembicaraan kedua mantan istrinya.
"Kami beri kamu kebebasan menemui anak-anak tapi beri tahu kami dimana keberadaan Dila."
Iqbal menghela napas berat. Bukannya tak mau memberi tahu dimana keberadaan Dila, tapi dia sendiri tidak tahu.
"Bicaralah yang jujur Iqbal. Aku tahu tadi kamu berbohong bilang tak mengetahui keberadaan Dila." Naura menatap curiga.
"Bagaimana aku harus mengatakannya padamu Naura? Aku benar-benar tidak tahu dimana Dila." Iqbal sedikit emosional.
"Jangan berteriak Iqbal. Pelankan suaramu. Jangan sampai anak-anak mendengar." Geram Ria dengan gigi bergemeletuk.
"Kamu sudah kurang ajar sekarang." Iqbal bicara dengan nada tinggi.
"Aku bukan istrimu lagi, tak perlu aku menyembah kamu seperti dulu," ucap Ria dingin memalingkan muka.
"Kalian jangan berdebat lagi." Naura menengahi. "Dimana keberadaan Dila? Jika kamu beritahu kami maka kamu bisa bertemu anak-anak sesukamu."
"Bagaimana harus aku katakan padamu Naura. Aku tidak tahu keberadaan Dila. Dia tak hanya kabur dari Bara tapi juga dariku. Apa aku perlu bersumpah di atas Alquran agar kalian yakin aku tidak berbohong?"
Naura tercekat. Ia sangat mengenal Iqbal dengan baik. Pria itu tidak tahu dimana keberadaan Dila. Iqbal tidak berbohong. Dia berkata jujur. Hilang sudah harapan Naura untuk menyatukan Bara dan Dila kembali.