47. PESTA SANGEET ( 2 )
47. PESTA SANGEET ( 2 )
Baranya bukan lagi Bara yang dulu. Menatapnya penuh cinta, menyanjung dan memujanya. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Rindunya telah menumpuk namun ia dihempaskan ke bawah. Dila memalingkan wajahnya.
"Ama ke kamar mandi dulu. Kalo Baba tanya bilangin ya Hanin," ucap Dila membelai pipi Hanin.
"Ok Ama."
Dila menjauh dari mereka. Ia tak bisa menahan perasaan sedih dan terlukanya. Bara telah menikah lagi dan sudah punya satu anak. Meski sudah diprediksi sebelumnya namun tetap saja Dila tak bisa berdamai dengan keadaaan, menerima kenyataan. Terlalu sulit untuk ia terima. Ia terlalu pongah jika cinta Bara padanya tidak pernah mati. Buktinya Bara bisa sembuh dari luka yang telah ia torehkan bahkan sudah memiliki satu orang anak.
Lantunan lagu Bollywood telah menggema dengan keras. Acara sangeet telah dimulai. Tamu bersiap untuk bernyanyi dan menari. Sangeet Night adalah pesta pembuka dari rangkaian pesta pernikahan khas India. Dalam bahasa Sanskerta, Sangeet berarti bernyanyi bersama. Lantunan lagu Bollywood menyergap indera pendengaran Dila.
Bole chudiyan.......
Bole kangna........
Haai main ho gayi teri saajna
Tere bin jiyo naiyo lag da main te margaiya
(Le jaa le jaa, dil le jaa le jaaLe jaa le jaa, soniye le jaa le jaa)
(Le jaa le jaa, dil le jaa le jaaLe jaa le jaa, soniye le jaa le jaa)
Aah aah aah aah, aah aah aah
Dila abaikan acara itu, melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia ingin menumpahkan perasaaannya. Tak kuasa ingin menangis mendapati kenyataan yang menyesakkan dada.
Dila menangis melepaskan uneg-uneg dihatinya di depan wastafel. Untung saja kamar mandi hanya ada ia seorang hingga bebas menangis, mengeskpresikan perasaaanya. Dila menyandarkan tubuhnya ke dinding. Getir ia rasakan. Perjalanan cintanya tak pernah mulus dan selalu menghadirkan luka yang begitu dalam. Rasa sakit ini jauh lebih sakit daripada gagal menikah dengan Fatih. Bara terlalu istimewa dalam hatinya meski dulu tak mudah menjadi istri Bara. Pria yang telah memberikannya tiga orang anak yang lucu.
Kenyataan ini harus membuat Dila harus sadar diri. Dila kebingungan bagaimana memperkenalkan anak-anak pada Bara, jika pria itu abai padanya. Bukannya mengakui, mungkin Bara akan menganggap dia gila telah mengaku memiliki anak darinya.
"Ya Allah kenapa begitu sesak dan menyakitkan? Aku tidak menyangka bertemu Bara dalam keadaan seperti ini. Terjadi kesalahpahaman disini. Bahkan dia tak mengenal aku sama sekali. Entah dia berpura-pura atau bagaimana. Ini terlalu menyakitkan untukku. Aku lebih baik dimarahi, dimaki daripada didiamkan seperti ini. Bagaimana aku akan memperkenalkan Shaka, Shakel dan Salsa pada Bara. Bagaimana pun Bara harus mengenal ketiga anak-anaknya. Triplets juga harus tahu siapa ayah kandung mereka."
Dila menangis pilu. Dadanya begitu sakit. Rasanya Dila dicekik begitu kuat. Teringat kejadian tiga tahun yang lalu. Kala itu ia masih mengandung triplets. Dila tak mau makan sama sekali. Ia merindukan Bara. Bukan Dila saja yang merindukan Bara namun bayi dalam kandungannya juga rindu. Dila baru mau makan ketika melihat foto Bara. Ia pandangi foto pria itu selagi makan. Selera makannya meningkat. Dila teringat prosesi kelahiran anaknya tiga tahun yang lalu.
"Pelan-pelan Bu. Dorong sedikit lagi. Anda bisa melahirkan bayi-bayi ini secara normal," ucap dokter yang tengah membantu persalinan Dila.
Dila berusaha mengejan meski napasnya ngos-ngosan. Rasanya ia telah berlari begitu jauh namun belum sampai finish. Dila bermandikan keringat. Sakitnya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika kontraksi yang ia rasakan semakin kuat dan semakin sakit. Bertaruh nyawa ia melahirkan anak-anak dan tak mudah. Dia sendiri dalam ruang persalinan. Berharap Bara ada disampingnya, mendampingi melahirkan anak-anak mereka.
Dila berhalusinasi melihat Bara ada disampingnya. Senyum pria itu begitu teduh. Senyuman itu memberikan Dila kekuatan untuk bisa mengejan lebih kuat. Bara hadir dalam prosesi melahirkan anak mereka. Membelai wajahnya penuh cinta, memberikan kekuatan.
'Kamu bisa Dila. Kamu wanita yang hebat.'
Dila merasa mendapatkan semangat baru. Dalam satu tarikan napas. Ia berhasil mengeluarkan bayi pertama.
"Baby girl," ucap dokter memperlihatkan bayi yang masih berlumuran darah.
Perawat menyeka keringat di pelipis Dila. Ia kehabisan banyak tenaga. Masih ada dua bayi lagi yang harus dilahirkan. Dokter sudah menyarankan Dila untuk SC agar lebih mudah. Tak gampang melahirkan bayi kembar tiga dengan persalinan normal.
Dila merasakan perjuangan berat melahirkan. Antara hidup dan mati. Betapa ia sadar begitu besarnya perjuangan ibu melahirkan anak. Masih tegakah pria yang menyakiti perempuan? Masih beranikah seorang anak melawan pada ibu mereka?
Tiga puluh menit kemudian Dila kembali merasakan kontraksi. Dokter kembali bersiaga melihat jalan lahir. Dila kembali mengejan. Bayi kedua lahir. Selang tiga puluh menit kemudian bayi ketiga juga lahir. Bayi kedua dan ketiga lahir berjenis kelamin laki-laki.
"Aku telah melahirkan anak ketiga anak kamu Bara," ucap Dila tersenyum menatap bayangan Bara.
Lambat laun bayangan Bara menghilang dari mata Dila. Sadar jika pria itu hanya halusinasinya.
Dila masih saja menangis menelan pil pahit masa lalu. Seharusnya ada Bara disampingnya ketika melahirkan triple Abadi. Bukan salah Bara, salahnya karena pergi meninggalkan pria itu. Salahnya juga tak bicara dan diskusi pada suaminya masalah ancaman Iqbal dan Defri. Salahnya karena mengambil keputusan sendiri. Pada akhirnya mereka berdua yang terluka dan tersakiti.
"Kakak enggak apa-apa?" Tanya Tia tiba-tiba muncul di depan Dila.
Dila kaget. Perempuan itu bangkit seraya menghapus air matanya. Ia merapikan lehenga choli yang ia pakai. Lehenga choli merupakan pakaian tradisinal India. Pakaian tradisional ini terdiri dari rok panjang dan atasan choli, semacam blus yang pas dibagian pinggang, namun Dila memakai choli yang lebih sopan tanpa memperlihatkan perut. Meski sudah melahirkan tiga anak, perut Dila masih rata dan tubuhnya terawat. Ia masih terlihat seperti anak gadis. Dila melengkapi pakaiannya dengan chunri, yaitu sepotong kain panjang yang berwarna cerah. Chunri Dila selempangkan di bahunya.
"Tidak apa-apa," jawab Dila memaksakan senyum.
"Aku kaget melihat kakak menangis." Tia menunjukkan perhatiannya.
"Dari logat bicara. Kamu orang Indonesia ya?"
"Aku sekretarisnya Pak Bara. Mungkin kakak ga melihat aku tadi," ucap Tia mengulas senyum.