39. RASA YANG TERTINGGAL
39. RASA YANG TERTINGGAL
"Uncle bisa turunkan adik saya?" Hanin menarik lengan baju Bara.
Bara tak menggubris ucapan Hanin. Ia masih memandangi Salsa dengan takzim. Ia memberikan senyum terbaik untuk Salsa. Entah kenapa tak rela menurunkan gadis kecil itu dari gendongannya.
Hanin kembali menarik lengan baju Bara, berkacak pinggang memberikan tatapan menakutkan pada Bara.
"Uncle turunkan adik saya," pekik Hanin mengundang perhatian Tia yang baru keluar dari kamar mandi.
Bara pun kaget mendengar pekikan Hanin. Pria itu langsung menurunkan Salsa dari gendongannya.
"Ada apa Pak?" Tia menginterupsi. Heran melihat kemarahan Hanin.
"Anak ini hampir jatuh dan aku menggendongnya agar tidak jatuh."
"Adik kenapa mau saja digendong uncle itu? Nanti uncle menculik kamu." Hanin memarahi Salsa betah dalam gendongan orang lain. Biasanya Salsa akan marah jika ada orang asing yang mendekatinya bahkan menggendongnya. Kali ini Salsa malah terpesona dengan Bara bahkan menatap pria itu lama.
"Uncle hanya membantu adik kamu. Jangan marah budak kicik." Tia berusaha membujuk Hanin yang cemberut.
Hanin tak mempedulikan Tia. Ia menarik Salsa lalu membawanya ke meja mereka. Salsa seakan tak rela harus berpisah dengan Bara. Mata Bara berembun menatap kepergian Salsa. Ada yang hilang di dalam hatinya, namun Bara bingung apakah yang hilang dalam dirinya.
"Kenapa Bapak begitu galau gadis kecil itu meninggalkan Bapak?" Tia menanyai Bara yang tengah bergelut dengan perasaannya.
"Entahlah Tia. Saya tidak tahu kenapa begini. Gadis kecil itu memporak porandakan hati saya tak tahu kenapa?"
"Mungkin Bapak ingin punya anak perempuan." Tia mengulas senyum berusaha menghibur atasannnya.
"Andaikan anak itu adalah anak saya dengan mantan istri betapa bahagianya Tia." Mata Bara berembun mengingat semuanya. Bara bertekad secepat mungkin mengingat semuanya agar misteri masa lalunya terpecahkan.
"Sabar ya Pak. Semua ada masanya. Yuk ke meja Pak. Jangan-jangan makanan kita sudah sampai."
"Kamu duluan saja. Saya mau ke kamar mandi." Bara meninggalkan Tia ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian Bara selesai dari kamar mandi. Menuju mejanya ia melihat Salsa sedang makan disuapi oleh pengasuh. Bara senyum-senyum sendiri melihat tingkah bocah itu. Bara seperti dejavu. Bara juga melihat dua anak kembar lelaki. Entah kenapa hatinya gerimis melihat pemandangan itu. Ingin menggantikan posisi si ayah. Memiliki anak yang banyak. Meski hilang ingatan Bara tetap memimpikan punya banyak anak. Jika anak banyak di masa tua ia tak akan kesepian seperti Herman.
Bara membuang mimpinya jauh-jauh. Bagaimana ia bisa memiliki banyak anak sementara istri saja tidak punya. Bara masih hutang penjelasan soal masa lalunya. Misteri di masa lalu harus dipecahkan. Pria itu baru bisa memikirkan masa depannya. Menikah lagi dan memiliki anak yang banyak.
Bara duduk di kursi. Tepatnya duduk di sebelah Daniel. Meski sedang makan namun tatapannya tak jauh dari triplets. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang istimewa pada ketiga anaknya. Ingin sekali memeluk mereka untuk mengobati rindu yang tengah menderanya. Bara merasa terpenjara dalam perasaan yang tak berujung, belum ada kejelasan. Waktu bergulir begitu cepat. Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari. Tak terasa sudah tiga tahun dilewati dalam kesendirian. Menunggu mantan istri datang padanya memberikan kejelasan. Apakah mereka sudah punya anak apa belum.
"Bapak ayuk makan." Daniel menyapa Bara setelah mendapatkan kode dari Tia.
"Pak makan dulu." Tia menginterupsi.
"Kenapa Bapak bengong?" Daniel kebingungan melihat sikap sang bos.
"Kalian lihat itu." Bara menunjuk ke arah triplets, Hanin dan Dino.
Keduanya serentak menoleh pada tunjuk Bara.
"Kenapa Pak?" Daniel menghentikan makan.
"Saya ingin menjadi ayah dari keempat anak itu. Seandainya bisa ganti posisi buat satu hari. Saya ingin jadi ayah mereka. Meski repot punya anak banyak namun kebahagiaan disini tiada duanya." Bara menunjuk hatinya.
"Semoga Bapak segera mendapatkan jodoh dan memiliki anak yang banyak," ucap Daniel ragu-ragu takut menyinggung Bara.
"Amin. Setelah saya menemukan mantan istri mungkin akan menikah lagi. Hidup bukankah harus berlanjut."
"Jika tidak ketemu bagaimana Pak?" Daniel mencoba bertanya. Pertanyaannya membuat Tia menginjak kaki Daniel. Beraninya Daniel menanyakan masalah pribadi bos mereka. Pria itu menahan sakit akibat hak sepatu Tia yang tajam.
"Pasti ketemu. Keyakinan saya kuat akan bertemu kembali. Kapan kita mengadakan pertemuan dengan Tuan Irfan Khan? Kita harus menyenangkan beliau agar proyek ini dimenangkan perusahaan kita. Kita butuh investor seperti Tuan Irfan. Investasi beliau akan memajukan perusahaan kita."
"Nanti malam kita akan melakukan meeting dengan beliau Pak. Kita akan melakukan presentasi." Tia menjelaskan jadwal mereka nanti malam.
"Tuan Irfan Khan sangat baik ya Pak. Meski akan mengadakan pesta pernikahan anaknya masih mau menerima kita untuk meeting." Daniel berkomentar seraya menyeruput jus melon kesukaannya.
"Bagi beliau bisnis is bisnis. Beliau pekerja keras dan tak membuang-buang waktu. Beliau orang baik dan rendah hati meski pebisnis kaya di KL."
Terjadi sebuah keributan. Seorang wanita seksi marah-marah tak karuan. Ketiganya menoleh ke samping. Ternyata mereka melihat Kinanti sedang memarahi Shaka. Anak itu berlari-lari memegang minumannya tak sengaja bertabrakan dengan Kinanti. Minuman Shaka tumpah mengenai baju Kinanti. Perempuan itu mengamuk karena Shaka merusak penampilannya.
"Dasar anak kecil sialan," maki Kinanti geram dengan suara keras.
Bara mendengar suara Kinanti. Pria itu mendekat ke meja Dino. Ia tak terima bocah kecil di depannya dimaki dengan kata-kata yang tak pantas.
"Jaga mulut kamu." Dino berang karena Kinanti memaki Shakel. Anak itu sampai ketakutan hingga bersembunyi dibalik tubuh Dino.
"Lo enggak bisa ajarin anak lo. Pakai matanya. Gara-gara dia baju mahal gue rusak dan basah. Merusak penampilan." Kinanti berkacak pinggang melihatkan seringainya.
"Saya sudah minta maaf atas perbuatan anak saya, kamu tetap saja tidak terima. Kamu ini wanita tapi tak memahami perasaan anak kecil. Anak saya takut mendengar teriakan kamu." Dino menunjuk Kinanti. Andai saja Kinanti bukan perempuan mungkin Dino sudah menghajarnya. Berani sekali wanita itu menghina Shaka. Sebagai seorang ayah harga diri Dino terhina anaknya dimaki di depan umum.
"Kinanti apa-apaan kamu?" Bara memarahi Kinanti.
"Eh Bara," cicit Kinanti dengan suara lembut. Sikapnya berubah anggun serratus delapan puluh derajat melihat calon imam masa depan.
"Kamu benar-benar ya. Enggak ada akhlak banget kamu. Marahin anak kecil di depan umum sampai dia takut. Namanya anak kecil harap kamu maklumi." Bara menggeram kesal.