34. BELUM SAATNYA BERTEMU
34. BELUM SAATNYA BERTEMU
Jantung Bara berdetak dengan kencang. Merasakan kehadiran seseorang namun ia tak tahu siapa. Hati Bara mencelos merasa kecewa. Ia merasa hampa. Entah apa yang terjadi pada hatinya hingga merasakan rasa ini. Ia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya namun orang itu masih belum jelas keberadaannya.
Bara menatap jendela mobil. Pikiran Bara berkelana, tubuhnya mungkin bersama Daniel dan Tia namun jiwanya tidak berada disana. Bara sekali lagi merutuki dirinya. Kenapa sampai sekarang belum bisa mengingat semuanya.
"Daniel," panggil Bara pada anak buahnya.
"Iya Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Apa kamu pernah merasakan merindukan seseorang namun tak tahu siapa yang kamu rindukan?" Tanya Bara sendu dengan mata berkaca-kaca.
"Belum pernah Pak,"jawab Daniel sambil nyengir.
Tia tertohok dan terdiam mendengar pertanyaan Bara. Ia tahu siapa yang dirindukan oleh Bara.Tia sedang membantu Rere menemukan istri Bara. Mereka tak pernah bercerai dan sang istri meninggalkannya karena terpaksa.
Tia merasa kasian dengan Bara. Bosnya kehilangan arah karena ada yang hilang dalam dirinya. Hilang tapi tidak tahu apa yang hilang. Bara tak mempercayai siapa pun untuk menceritakan duka lara yang tengah menderanya. Masa lalunya dan istri merupakan hal yang sangat sensitif di bahas dalam keluarga.
Mata Bara berkaca-kaca. Hati gerimis tanpa ia tahu alasannya. Entah kenapa perasaannya ada yang berbeda, memegangi dadanya yang semakin hari semakin sesak. Terlalu banyak menahan perasaan selama ini.
Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di hotel. Ketiganya bergegas turun dan masuk kamar untuk beristirahat. Bara merebahkan diri di atas ranjang. Kopernya diletakkan begitu saja. Pria itu mengambil napas seraya merenungi apa yang terjadi. Mimpi menyaksikan kelahiran bayi kembar tiga mengusik pikirannya. Mimpi itu sangat jelas bahkan Bara bisa menyaksikan wajah bayi-bayi itu. Hanya wajah ibu bayi yang tak jelas dalam mimpi Bara.
'Sayang anak kamu telah lahir.'
Bara terngiang-ngiang ucapan wanita dalam mimpinya.
Bara bangkit dari ranjang dan melihat jendela. Matanya menikmati hiruk pikuk kota KL. Entah kenapa ia merasa akan menemukan jawaban atas pertanyaannya selama tiga tahun ini. Hanya ada kepedihan dalam hati Aldebaran. Ia rindu namun tak tahu merindukan siapa. Kenapa sesakit ini? Selalu menolak kehadiran wanita lain meski Herman memintanya untuk menikah lagi.
Bara mulai menangis tersedu-sedu. Setiap malam ia menangis pilu, meratapi nasib buruknya.
Pria itu mengambil smartphone lalu menuliskan isi hatinya.
'Aku tak mengerti apa yang tengah aku rasakan. Setiap malam aku selalu memimpikan wanita itu tanpa aku tahu siapa dia. Mungkinkah dia wanita yang pernah hadir dalam hidupku, yang telah memberikan warna dan pelangi yang indah untukku. Wanita itu juga membuatku tertawa, sedih dan bahagia. Tiga tahun ini aku lalui dengan kehampaan. Aku tak mengerti dengan jalannya takdir. Semuanya tak mudah bagiku. Peristiwa itu telah menghapus ingatanku. Menghapus jejaknya dari hidupku. Semua masih samar dan kabur.
Aku merasa sepi di dalam keramaian. Meski rumah ramai dengan kehadiran papa, bunda, Rere dan Leon. Lalu ada Zico, Dian dan Alana. Aku masih merasa kosong Tuhan. Masih ada lubang di dalam hati. Aku butuh seseorang yang bisa menutup lubang dalam hatiku.
Aku mencari, selalu mencari keberadaan dia. Dimanakah mantan istriku berada? Dimana dia membawa anak-anak kami? Meski aku tahu itu mimpi, tapi aku yakin anak yang lahir dalam mimpi adalah anakku. Mual dan muntah yang aku rasakan terhenti begitu saja. Bertepatan sembilan bulan dari aku koma. Kisahku masih misteri. Aku masih mencari jawaban atas semuanya.
Setiap malam aku selalu gelisah. Menatap ranjang di sampingku kosong. Aku merasa kesepian. Aku bisa menebak jika selama ini aku selalu tidur bersama dia. Ya, dia yang aku rindukan meski aku tidak tahu siapa dia bahkan wajahnya.
Dada ini terasa sesak Tuhan. Aku butuh kelegaan. Kembalikan ingatanku Tuhan agar aku bisa merangkai semua puzzle dalam hidupku.
Aku tahu Tuhan jika Engkau belum mengizinkan aku untuk mengingat segalanya. Aku pahami Engkau ingin aku mencari makna kenapa ingatanku hilang. Tuhan kuatkan aku menjalani semuanya. Naikan derajatku jika aku berhasil menjalani ujian ini.
Aku selalu berprasangka baik kepada Engkau. Tak sedikit pun aku berani menolak bahkan menghujat takdirmu.'
Bara menaruh smartphone di atas nakas. Pria itu bergegas mandi karena siang nanti akan melakukan meeting dengan Tuan Irfan Khan, pengusaha KL keturunan India. Pria itu juga mendapatkan kehormatan untuk menghadiri pesta pernikahan anak Irfan Khan.
****
"Baba pulang," teriak triplets berebutan memeluk kaki Dino.
Pria tampan berkaca mata hitam, bertubuh atletis dengan Abs yang menggoda. Pria itu memakai baju kaos Polo dan celana jeans. Pria itu semakin mempesona dan membuat kaum hawa menjerit-jerit. Dino merunduk memeluk triplets. Setelah itu kembali berdiri.
Pria itu baru saja pulang dari kota Kuching melakukan perjalanan bisnis. Dila datang ke bandara karena anak-anak ingin menjemput 'Baba' mereka.
Raut kelelahan sangat nampak di wajah Dino. Ia tersenyum menatap Dila dan Hanin yang berdiri di belakang triplets.
"Kenapa repot-repot jemput Ama?" Dino sok-sokan marah pada Dila.
Dino memanggil Dila dengan sebutan Ama juga untuk mengajari anak-anak. Dino sadar anak-anak ibarat burung beo. Meniru orang sekitarnya. Dila pun memanggil Dino dengan sebutan Baba. Jika mereka sedang berdua saja baru memanggil nama.
"Anak-anak kangen sama baba. Aku bisa apa? Enggak kuat lawan empat anak."
Dino mencium triplets bergantian lalu merentangkan kedua tangannya menatap Hanin.
"Uni Hanin tidak kangen sama baba?" Gaya Dino memelas menatap Hanin.
"Pasti rindulah baba. Masa i tak rindu baba." Hanin berlari ke pelukan Dino. Pria itu menggendong Hanin lalu mengajaknya berputar.
"Baba curang. I mau gendong," cebik Salsa hampir menangis.
"Aduh baba lupa punya anak gadis satu lagi." Dino merunduk lalu menggendong Salsa. Pria itu menggendong Salsa dan Hanin di kedua tangannya.
"Baba tidak capek? Turunkan saja anak-anak! Jangan membuat kecemburuan sosial baba." Dila melirik Shaka dan Shakel yang sedang merajuk.
"Oops lupa." Dino menutup mulutnya seraya menurunkan Hanin dan Salsa dari gendongannya.
"Yuk pulang," ajak Dila.
Mereka berenam jalan beriringan sambil tergelak tawa. Meski capek Dino meladeni anak-anak bercanda.
"Mana kunci mobilnya Ama?" Dino mengadahkan tangan.
"Buat apa?"
"Biar aku yang bawa mobil."
"Tak nak. Biar i saja. You pasti lelah perjalanan jauh." Dila sudah mulai lancar bicara dalam bahasa Melayu bahkan logatnya sudah seperti warga lokal.
"Baiklah jika kamu yang bawa mobil." Dino mengalah.
Mereka turun ke parkir bawah. Di dalam mobil Dino bermain bersama anak-anak. Gelak tawa terdengar begitu nyaring. Dila menatap mereka dari kaca mobil. Ada kelegaan di hatinya, triplets tak kehilangan figur seorang ayah. Dino menjelma menjadi ayah yang baik untuk triplets.
Pria itu tak membedakan kasih sayang antara Hanin dan ketiga anaknya. Meski Dila sakit dan hampa karena meninggalkan Bara, setidaknya kehadiran triplets mengobati luka di hatinya.