21. GADIS KECIL BERISIK
21. GADIS KECIL BERISIK
"Mama Dwina," jawab Alana polos.
"Siapa sih mama Dwina?" Bara melirik Zico dan Dian. Terheran-heran anak usia tiga tahun sudah berbakat jadi mak comblang sejak dini.
"Enggak salah janda baru tetangga kita itu lo. Namanya Elif dan nama anaknya Dwina." Zico menjawab dan mendapatkan pelototan dari Dian, bahkan sang istri mencubit perutnya.
"Bisa-bisanya papi tahu sama tetangga baru kita yang janda itu." Gigi Dian bergemeletuk.
"Mami aja enggak tahu. Hebat ya papi bisa tahu." Dian berkacak pinggang.
"Gimana enggak tahu pas ngumpul sama Bapak-Bapak komplek waktu gowes mereka menceritakan Elif mamanya Dwina, janda baru tetangga kita itu." Zico bergidik ngeri melihat kecemburuan di mata istrinya. Meski hamil, Dian masih sanggup meremukkan tubuhnya. Zico laki-laki yang tahu diri tak berani menyeleweng karena ia sangat mencintai Dian dan keluarganya. Cari mati dan tidak tahu diuntung jika ia berani selingkuh.
"Sepertinya akan terjadi perang dunia berikutnya." Mata Bara membola
sembari tersenyum mentertawakan nasib Zico jadi bulan-bulanan istrinya.
"Kapan mama Dwina lihat om?" Bara masih menggendong Alana.
"Waktu kita jogging bareng sama adek Leon om Bara bere."
Bara manggut-manggut tanda mengerti. Ia menurunkan Alana dari gendongannya.
"Om siapa suruh turunkan aku. Aku mau gendong," cebik Alana kesal memperlihatkan seringainya.
"Kenapa lihat om kayak gitu banget." Bara merunduk lalu menyamakan tingginya dengan Alana.
"Abis om Bara bere jahat." Alana bersedekap seraya membuang muka. Malas menatap Bara karena telah membuatnya marah.
"Jahat kenapa?" Bara malah tertawa geli melihat gadis kecil di depannya. Meski masih balita namun sudah berisik. Bara memprediksi di masa depan Alana akan jadi gadis yang ceria, barbar, suka keributan dan pemberani.
"Kenapa menurunkan aku?" Alana berteriak lantang.
"Alana papi enggak suka dengar kamu bicara keras-keras kayak gitu. Papi dan mami enggak pernah mengajari kamu enggak sopan begitu." Zico menegur perbuatan Alana. Suara bariton Zico khas orang marah membuat Alana takut.
Gadis kecil itu tidak takut dengan Dian namun beda cerita dengan Zico. Jika papinya sudah bersuara keras gadis itu akan ketakutan.
"Maafin aku ya om," cebik Alana menahan tangis meminta maaf pada Bara. Ia mengambil tangan Bara lalu menciumnya.
"Iya sayang." Bara mengelus kepala Alana. Bara menyayangi anak itu seperti anaknya sendiri. Dia juga menyaksikan tumbuh kembang Alana dan kasih sayangnya sudah melekat pada Alana.
Zico dan Dian mengajari anaknya dengan keras soal sopan santun. Jika Zico sedikit keras mendidik Alana justru berbeda dengan Alvin. Dia mengajari adiknya dengan kelembutan. Alvin geleng-geleng kepala saja Alana sudah patuh dan tak berani. Tanpa perlu bersuara keras Alana patuh pada kakak lelakinya itu.
"Lain kali enggak boleh ngomong sama orang tua kayak gitu lagi ya nak." Dengan suara lembut Dian mengingatkan putrinya.
"Om Bara itu orang tua. Om Bara sama seperti papi. Om sayang Alana seperti sayang sama Leon. Kenapa Alana mau digendong sama om?"
"Mami," cebik Alana dengan bibir memble. Gadis kecil itu menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam.
"Kenapa?"
"Aku hanya mau manja-manja sama om Bara bere. Adek Leon saja boleh manja-manja sama mami. Kenapa aku enggak boleh manja sama Apa Leon? Biar adil Mi. Hiksss....hikssss."
Ketiganya berpandangan. Tertawa lucu melihat tingkah unik Alana. Mereka benar-benar tertawa melihat tingkah ajaib Alana yang bisa-bisanya cemburu pada Leon.
"Jadi ceritanya cemburu toh." Bara kembali menggendong Alana.
"Iya," jawab Alana masih dengan bibir memble. Bara paling gemas melihat ekspresi Alana layaknya orang paling tersakiti di muka bumi.
"Om Bara sayang sama Alana. Sayang juga sama Leon. Kalian anak-anak kesayangan om." Bara menghibur Alana seraya menghapus air mata anak itu.
"Kamu sudah siap Dian? Yuk ngantor." Ajak Bara pada Dian.
"Bos duluan saja. Aku mau diantar sama papi Alana aja sekalian antar Alana ke sekolah."
"Apa bedanya?"
"Aku ingin manja-manja sama papi Alana," balas Dian menyandarkan kepalanya di lengan Zico. Pria itu malah mengelus kepala Dian.
"Sabar ya Bar. Kalo jomblo harus banyak bersabar," ucap Zico menggoda Bara.
"Suka-suka kalianlah." Bara membuang muka lalu pergi ke rumah sebelah.
"Iri dia itu," ucap Zico ketika Bara sudah pergi.
"Sepertinya tidak pi."
"Kenapa mami bilang gitu?"
"Dia santai aja. Mungkin karena dia belum ingat apa-apa. Andai ingatan Bara udah pulih pasti dia tidak akan setenang ini. Dia akan mencari Dila ke ujung dunia. Sudah tiga tahun tapi keberadaan Dila masih misteri. Uni Naura juga menghilang ketika Dila juga hilang. Aku kangen mereka pi."
"Mami dan papi bahas siapa? Siapa Dila dan uni Naura?" Tanya Alana berkacak pinggang.
Zico merunduk mengambil Alana lalu menggendongnya.
"Anak gadis papi berisik banget. Tidak semua urusan orang dewasa Alana harus tahu. Jangan terlalu kepo sayang."
"Apa itu kepo?" Alana memegang kepalanya sok berpikir.
"Kepo itu artinya pengen tahu urusan orang lain," balas Zico mencium kedua pipi anaknya.
"Yuk nak kita pergi sekolah," ajak Dian pada Alana.
"Jangan nakal lagi ya nak." Zico mengingatkan sang anak.
Kemarin Alana membuat kenakalan dengan menjambak rambut temannya karena si teman mengambil boneka barbie miliknya. Gadis itu tak suka barang-barangnya disentuh orang lain sehingga ia akan memukul atau menjambak orang lain yang dianggap mengambil miliknya.
"Aku janji papi," ucap Alana mengadu jari kelingkingnya dengan Zico. Jangan percaya dengan janji Alana. Anak itu hanya janji tinggal janji. Nanti bakal diulangi lagi kenakalannya.
Dian kembali ke mobil setelah mengantarkan Alana ke dalam kelas dan bertemu dengan gurunya. Mereka memutuskan Alana sekolah PAUD agar kecerdasan anak itu tersalurkan. Apalagi PAUD Alana lebih menitik beratkan bermain sambil belajar bukan belajar sambil bermain. Dian dan Zico pun mengarahkan Alana sesuai dengan bakat dan kesukaannya. Mereka sepakat tak memaksakan Alana dan Alvin tumbuh seperti keinginan mereka. Anak-anak diberi kebebasan untuk menjadi apa saja, asal masih dijalur yang benar.
"Sudah ketemu sama teacher Alana?" Tanya Zico ketika Dian masuk mobil.
"Udah pi."
"Mudah-mudahan dia enggak bikin ulah lagi." Zico memegang kepalanya.
"Tiap anak itu ajaib ya pi. Dulu Alvin kurang kasih sayang dari mami tapi dia tumbuh jadi anak penurut dan baik."
"Bedalah mi kondisinya. Dulu Ayah dan ibu yang jadi orang tua Alvin. Mereka perhatian makanya Alvin jadi anak penurut dan berprestasi."
"Alana kita besarkan bersama-sama, tapi jahilnya enggak ketulungan. Mami aja ngap-ngapan mengasuh dia. Ini anak dalam perut belum tahu nanti gimana." Dian mengelus perut buncitnya.