13. DISIDANG ALVIN
13. DISIDANG ALVIN
"Berapa kali aku bilang sama mami? Jangan pakai baju kurang bahan. Lihat mami pakai baju kayak gini mandang syahwat laki-laki. Bagi mami enggak seksi tapi papi cowok normal, bisa naik syahwat."
"Alvin," cebik Dian malu. Menundukkan wajah tak berani melihat Lona.
"Kok jadi bawa papi?" Zico protes pada sang anak.
"Terus bawa oma ya enggak mungkin," balas Alvin lebih galak. Alvin menatap Lona.
"Apa aku benar oma?"
"Benar," balas Lona terkikik. Ia berusaha menahan tawanya. Lona ingin melihat bagaimana Alvin memarahi kedua orang tuanya.
"Papi dan mami ini enggak benar. Udah tahu kakek enggak di rumah, ngapaian kalian tinggal satu rumah. Harusnya papi nginap di rumah satu lagi bukan serumah sama mami. Papi dan mami orang dewasa. Jika kalian hanya berduaan yang ketiga ada setan. Itu mami ngapain cium papi segala? Dan papi ngapain pegang pinggang mami? Kalian belum muhrim enggak boleh sentuhan fisik. Makanya dari dulu aku bilang sama mami dan papi, kalian nikah. Aku udah bisa tebak ke depannya kalian akan saling menyukai."
"Kamu tahu darimana kalo mami suka papi?" Secara tidak langsung Dian mengakui ucapan Alvin.
Alvin berpangku tangan bersikap sangat songong, "Itu barusan mami mengakui jika suka sama papi."
Tawa Lona pecah. Perempuan paruh baya itu tertawa terbahak-bahak. Lona sampai memegangi perutnya karena tak kuat menahan sakit perut karena tertawa. Lona memberikan dua jempol untuk cucunya itu. Alvin menjebak sang ibu.
"Alvin." Zico memanggil anaknya.
"Aku belum ajak papi ngomong. Aku mau sidang mami dulu baru sidang papi."
"Kok gitu?" Zico menyerah melihat sikap keras sang anak. Ia tahu sifatnya menurun pada Alvin. Jika bicara tak ingin dibantah dan di interupsi.
"Terus kenapa mami cium papi tadi? Mata aku ternoda liat mami lakuin itu ke papi. Kalo kalian suami istri aku sih ga masalah tapi kalian...." Alvin menggantung ucapannya.
"Vin, papi udah melamar mami kamu tadi. Cincin yang ada di jari manis mami merupakan cincin lamaran dari papi," ucap Zico jujur. Ia tak mau melihat Dian dicerca habis-habisan oleh sang anak.
"Kok bisa papi lamar mami?"
"Ya bisalah," jawab Zico bangga.
"Jangan bilang dalam perut mami ada adik Alvin?"
"Alvin," panggil Dian salah tingkah. Ia langsung teringat Zico keluar didalam ketika mereka bercinta.
"Kok kamu bilang gitu sih Vin?" Zico tak habis pikir dengan pemikiran sang anak. Zico benar-benar mati kutu menghadapi anaknya. Anak itu telah dewasa sebelum waktunya.
"Mami, papi. Ini terlalu mendadak buat aku. Kenapa tiba-tiba papi melamar mami? Enggak ada hujan, ga ada angin. Aku melihat kemesraan papi dan mami. Gimana enggak curiga kalo ada apa-apa. Apa selama ini papi dan mami udah bobok bareng sejak kakek enggak nginap di rumah?"
"Alvin," panggil Lona lembut pada sang cucu.
"Iya oma." Alvin bicara lembut, berbeda sekali dengan Dian dan Zico.
"Enggak boleh ngomong keras sama orang tua." Lona mengingatkan Alvin.
"Harus keras oma. Aku enggak suka liat mami dan papi tinggal satu rumah. Itu baju mami enggak ada lengannya. Aku enggak suka. Papi kan cowok normal."
"Kok jadi salahin papi?" Zico memprotes anaknya. Lona hanya senyum-senyum melihat Dian dan Zico disidang Alvin.
"Papi pria dewasa yang punya nafsu. Aku yakin papi nafsu liat mami pake dress itu."
"Vin," lirih Dian frustasi dimarahi sang anak. Alvin benar mereka telah berzina. Baru liat cium pipi saja Alvin sudah mengamuk apalagi jika dia tahu mami dan papinya udah bikin adek untuknya.
"Mami, papi. Dari dulu aku sudah minta kalian buat menikah. Buat apa? Bukan hanya demi aku tapi menghindari kalian berzina. Gak ada yang namanya cowok dan cewek bisa sahabatan dan temanan. Apalagi sama-sama udah dewasa. Zina salah satu dosa besar yang tingkatan dosanya setelah sirik. Mami enggak malu punya anak hafiz tapi pakaiannya kurang bahan? Papi juga enggak malu apa, gandeng cewek yang bukan istri papi? Seenaknya tangan papi di pinggang mami. Apa kata dunia kalo tahu mami dan papi beda banget sama aku. Langit dan bumi."
"Vin kamu kok kayak orang tua sih?" Zico menyugar rambutnya.
"Kayak liat Pak Rahman tahu ga?" celetuk Zico menahan tawa. Dian malah mencubit pahanya.
"Jangan bilang kamu ketawain ayah aku?" Dian menatap Zico tajam.
"Udah ganti panggilan juga. Enggak lo dan gue lagi," sarkas Alvin menyindir keduanya.
"Panggil lo dan gue salah. Panggil aku kamu juga salah. Terus papi harus gimana Vin? Harus benturin kepala papi ke dinding?"
"Enggak gitu juga sih pi." Alvin mulai melunak dan duduk di depan kedua orang tuanya.
"Kapan papi lamar mami?" Alvin berpangku tangan.
"Tadi papi abis lamar mami kamu."
"Pantes bajunya couple," celetuk Lona tersenyum lucu. Ia masih diam karena ingin memberikan kesempatan untuk Alvin menceramahi Dian dan Zico.
"Jangan bilang papi yang beliin baju mami? Papi harusnya sebagai cowok gentle jangan belikan mami baju kurang bahan. Apa papi mau orang liat keseksian mami?"
"Vin jangan vulgar ngomongnya." Zico mengingatkan sang anak.
"Itu papi tahu. Lantas kenapa beliin mami baju kayak gitu? Kenapa mami dan papi mutusin buat nikah. Kalo alasannya aku, aku enggak percaya." Alvin berkacak pinggang.
"Ya demi kamu," cicit Dian malu-malu.
"Kalo demi aku mungkin udah dari dulu mami nikah sama papi. Tiap aku comblangin ma papi bawaan mami sensi mulu. Maaf alasan mami enggak aku terima. Jawab dong pi sebagai laki-laki dewasa."
"Kamu kayak orang tua tahu." Lama-lama Zico kesal juga dimarahi sang anak.
"Anggap aja aku jadi polisinya mami. Wakilin kakek buat adili papi."
"Vin." Dian menjambak rambutnya frustasi.
"Mami diamlah. Aku lagi memperjuangkan mami disini sebagai seorang ayah."
"Astaga Alvin." Dian tepuk jidat.
"Papi serius sama mami?" Alvin mulai menginterogasi Zico.
"Iya. Papi serius."
"Apa papi cinta mami?"
"Papi cinta sama mami kamu."
"Sejak kapan papi jatuh cinta sama mami?"
"Enggak tahu. Tiba-tiba cinta aja sama mami kamu."
"Kenapa papi dan mami bisa memutuskan nikah? Pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya."
"Iya kami mau nikah aja. Nanti zina pula," jawab Zico kesal. Kalo tak ingat Alvin anaknya mungkin sudah ia jitak.
"Jangan bilang papi dan mami....." Alvin tak berani melanjutkan perkataannya. Memandang Zico dan Dian bergantian. Ekspresi keduanya nampak cemas dan ketakutan. Alvin sudah tahu apa yang mendasarinya tanpa mereka mau mengakuinya.
"Dari ekspresi mami dan papi, aku sudah bisa menyimpulkannya. Aku setuju kalian menikah. Sebelum papi nikah sama mami jangan lupa minta restu kakek Rahman. Mana tahu kakek enggak setuju." Alvin malah menakuti Zico. Membuang muka remaja itu berusaha menahan tawa.
Zico dan Dian bernapas lega. Alvin merestui mereka. Keduanya mengelus dada.
Alvin kembali menatap orang tuanya dengan sinis.
"Awas ya mami, papi. Kalo adik aku lahir kurang dari sembilan bulan dari pernikahan kalian. Aku bakal ngamuk."
Peringatan dari Alvin bak petir di siang bolong bagi mereka. Kedua pucat dan wajahnya pias. Zico jadi ketakutan sekali jika benih yang ia tumpahkan langsung jadi di Rahim Dian.
Dian berharap jika benih yang ditumpahkan Zico tak jadi. Ia baru saja datang bulan ketika itu.