10. MARI MENIKAH
10. MARI MENIKAH
Zico menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Maaf kelepasan," cicit Zico dengan wajah merah padam.
"Zico, gue baru selesai datang bulan. Kalo gue hamil gimana?" Dian berteriak nyaring. Bangkit dari ranjang lalu memakai pakaiannya yang berserakan di lantai.
Dian meringis seraya malu. Pakaiannya basah kuyup dan tak bisa dipakai lagi. Dian berlari menjinjit membuka lemari Zico dan memakai salah satu pakaian pria itu. Satu sel piyama, tentu saja tanpa pakai dalamam. Buat apa juga malu toh Zico sudah melihat semuanya.
Zico pun bangkit dari ranjang. mengambil jubah mandi lalu memakainya.
"Dian gue akan tanggung jawab jika lo hamil. Sebenarnya….." Zico menggantung kalimatnya.
"Sebenarnya apa?"
"Sebenarnya gue mau menikahi lo cuma….."
"Cuma apa?"
"Cuma gue takut ditolak."
"Lo enggak gentle banget jadi cowok. Belum apa-apa udah nyerah." Dian keluar dari kamar.
Dian berjalan menuju dapur, mengambil segelas air untuk melepaskan dahaganya. Zico mengekor dari belakang.
"Dian," lirih Zico memanggil Dian.
"Apa?" Balas Dian nyolot. Dia marah bukan karena Zico menggaulinya, namun karena pria itu melepaskan benihnya ke dalam rahimnya. Dian takut hamil karena ia baru selesai datang bulan.
Zico jadi bingung sendiri dengan sikap Dian. Tak hangat seperti di ranjang saat mereka memadu cinta.
"Di…," panggil Zico dengan ramah.
Panggilan lembut Zico membuat tubuh Dian meremang. Zico bahkan berani menyentuh pundak Dian.
"Kenapa?" Dian masih nyolot.
"Bagaimana jika kita menikah? Maaf gue udah menodai lo."
Dian tertawa jengah, mendekati Zico.
"Lamaran macam apa ini Zi? Gue seumur-umur mau nikah satu kali. Masa lo lamar gue kayak gini? Udah berpengalaman pernah nikah masih aja kaku."
"Jadi…." Zico tersenyum simpul, mengerti maksud Dian.
Pria itu melonjak kesenangan. Tanpa ia sadari menggendong Dian seperti anak kecil.
"Zi turunkan gue."
"Jadi lo mau nikah sama gue?"
"Gue enggak bakal kasih jawaban jika lo enggak melamar gue dengan romantis."
"Lo enggak marah dan nyesel tadi kita abis lakuin itu?" Zico bertanya malu-malu.
"Kalo marah udah gue cekik lo dari tadi Zi. Kita sama-sama khilaf tadi."
"Benar juga. Ibu dari anak gue macan betina," kelakar Zico mendapatkan cubitan dari Dian.
"Sakit Di. Khilaf tiap hari gapapa."
"Ngomong itu hati-hati."
"Bentar." Zico pergi ke kamar. Ia membuka lemari dan mengambil cincin berlian yang telah dibeli jauh-jauh hari.
Zico membeli cincin itu bersama Alvin. Remaja itu memaksa Zico membelinya untuk melamar Dian. Alvin ingin mami dan papinya menikah. Zico tersenyum, paksaan Alvin berguna saat ini.
Zico dengan bangga menuju dapur. Masih menggunakan jubah mandi, ia merunduk lalu memperlihatkan cincin pada Dian.
"Dian Saraswati. Maukah kamu menikah denganku?"
"Enggak bisa lebih keren Zi?" Dian tetap tak suka cara Zico melamarnya. Dian ingin memberikan Zico pelajaran jika tak mudah untuk mendapatkan cintanya.
Dian meninggalkan Zico begitu saja. Dia menutup pintunya dengan keras hingga berbunyi.
"Di," cebik Zico dari balik pintu.
"Jika lo ga bisa melamar gue dengan benar. Jangan harap gue terima lamaran lo." Pekik Dian dari balik pintu.
"Di, kok galak banget sih? Enggak kayak yang tadi?"
"Jangan bahas," ucap Dian ketus.
"Kenapa lo panggil gue Di?"
"Anggap aja panggilan sayang gue ke lo. Bentar lagi kita bakal nikah juga kan?" Ucap Zico tak tahu malu.
"Pede banget lo bakal gue terima lamarannya."
"Harus pede. Kali aja Zico junior satu lagi bakal hadir di rahim lo. Gue bibit unggul lo Di. Mana tahu sekali aja udah jadi." Zico semakin berani membuat Dian blushing. Wajahnya memerah bak kepiting rebus.
"Jangan banyak bicara lo Zi. Ntar gue jitak baru tahu rasa."
"Asal jitak pake sayang gue ikhlas kok." Zico udah mulai bucin.
"Di, sebenarnya gue udah lama sayang sama lo cuma gue takut aja bilang." Zico malah mengutarakan perasaannya.
Jadilah mereka duduk di balik pintu. Dian enggan untuk membukakan pintu. Dian menetralkan detak jantungnya. Ia tak habis pikir kenapa bisa khilaf berhubungan intim dengan Zico. Salahkan saja hujan, petir dan badai yang mendukung suasana. Mereka orang dewasa yang berbeda jenis kelamin. Tinggal satu rumah pasti ada orang ketiga yang akan menggoda mereka untuk berbuat khilaf.
Dian sebenernya diam-diam mulai menyukai ayah biologis anaknya itu, namun ia tak tahu pasti kapan dia mulai menyukai Zico. Perubahan sikap lelaki itu membuat Dian terkesan.
"Di kenapa diam aja? Lo udah tidur?"
"Belum," jawab Dian cepat.
"Lalu kenapa lo diam aja?"
"Gue lagi dengerin lo ngomong."
"Maafin gue udah khilaf ya Di. Gue enggak semestinya menyentuh lo."
"Udahlah enggak perlu minta maaf. Salah kita berdua bukan salah lo doang. Kita lo lakuin juga suka sama suka. Cepat lo lamar gue dengan cara yang benar lalu kita nikah. Gue enggak mau benih lo yang tadi tumbuh duluan di rahim gue. Bisa dicekik gue sama Alvin kalo adiknya lahir belum sembilan bulan dari pernikahan kita."
Bukannya takut, Zico malah terkekeh mendengar ucapan Dian.
"Iya tenanglah. Aku akan melamar kamu dengan cara yang benar. Tak bisakah ganti panggilan kita? Aku dan kamu. Gimana?"
"Terserah Zi. Zi, gue mandi dulu terus tidur. Lo balik ke kamar aja."
"Ga bobo bareng Di?"
"Zi." Rajuk Dian kesal dengan kemesuman Zico. Dia hanya pura-pura marah.
"Aku cuma bercanda Di. Selamat malam Di." Zico beranjak pergi. Pria itu mau mandi juga. Badannya lengket karena percintaan panas tadi.
Zico tersenyum bahagia. Tidak menyangka jika Dian perhatian dan sayang padanya. Zico malah bersyukur telah melepaskan benihnya di rahim Dian sehingga ibu dari anaknya itu meminta dinikahi secepatnya.
Zico malah berharap benih yang ia tumpahkan tadi menjadi calon adik Alvin. Zico bernyanyi di bawah guyuran shower. Ia masih mengingat dengan jelas. Bagaimana percintaan panasnya dengan Dian. Bagaimana wanita itu mendesah dibawah tubuhnya.
Zico merasakan kebahagiaan dua kali lipat. Ia membuktikan keperkasaannya dan Dian membuka hatinya.
Desahan dan lenguhan Dian menyergap pendengarannya. Zico ingin kembali mengulangi kenikmatan yang telah ia reguk bersama Dian. Shit! Membayangkan percintaan mereka tadi sudah membuat 'adik kecil' Zico bangun. Pria itu terpaksa menggunakan sabun untuk menuntaskan hasratnya.
Tidak mungkin Zico mendatangi kamar Dian, lalu mengajaknya kembali bercinta. Bukannya percintaan yang ia dapat, malah cekikan. Zico tahu jika Dian sangat ahli beladiri. Jika nekat nyawanya akan melayang. Zico sudah pernah merasakan kekuatan Dian hingga ia harus di operasi karena tulangnya retak.
Pria itu menyelesaikan permainan solonya. Setelah itu Zico tidur dan tak sabar menanti hari esok.