8. KEGELISAHAN BARA
8. KEGELISAHAN BARA
"Apa aku boleh bertanya?" Ucap Bara dalam bahasa Inggris yang fasih pada sang perawat.
"Ya silakan."
"Berapa lama aku berada disini?"
"Maksudnya?" Sang perawat mengernyitkan dahi.
"Sudah berapa lama aku tertidur hingga aku sadar seperti ini."
"Sudah tiga bulan. Anda dibawa kesini dengan kondisi kritis. Sisa peluru masih bersarang di kepala anda.
"Peluru?" Bara terhenyak mendengar penjelasan perawat.
"Apa aku ditembak?" Lanjut Bara.
"Iya tuan. Anda ditembak."
"Berarti keajaiban aku bisa sadar?"
"Benar. Hanya keajaibanlah yang membuat anda sadar, namun berdampak pada ingatan Anda. Anda kehilangan memori. Tembakan itu mengenai saraf-saraf otak anda. Dokter Andrew adalah dokter bedah saraf paling terkenal dan hebat sehingga dia bisa membantu penyembuhan anda."
"Terima kasih suster atas jawabannya."
"Sama-sama Tuan."
"Keluargaku tak ingin menceritakan masa laluku."
"Bukannya tak ingin cerita, tapi mereka ingin anda fokus dulu untuk sembuh. Jika anda terbebani dan stres, maka pengobatan anda akan semakin lama. Mungkin itu alasannya mereka tidak inginkan menceritakannya dulu."
"Bahkan aku tidak tahu kenapa bisa bercerai dari istriku. Bahkan wajahnya saja aku tidak ingat." Mata Bara menerawang menatap jendela kamar.
"Hanya masalah waktu tuan Bara."
"Siapa nama anda suster? Senang bisa bicara dengan anda."
"Namaku Naomi."
"Naomi." Bara menyebut nama sang suster. "Apa kau orang Jepang?"
"Nenekku orang Jepang Tuan."
"Oh begitu." Bara manggut-manggut.
"Tuan apa yang anda rasakan ketika bangkit dari koma?"
"Aku merasa hampa dan kosong. Aku kaget ketika sadar, aku telah tertidur panjang selama tiga bulan. Mirisnya aku tidak ingat siapa diriku, namaku, dimana aku lahir dan dimana aku dibesarkan. Apa yang telah aku lewati selama ini. Yang aku ingat hanya mama. Aku tidak ingat papa, tidak ingat dengan teman bahkan dengan istriku sendiri. Sangat miris." Bara mengelus dada meratapi nasibnya.
"Jangan meratapi nasib seperti itu Tuan. Ada pelangi setelah hujan." Naomi menghibur Bara.
"Miris. Aku tidak mengetahui jati diriku sendiri. Aku sekarang sedang berusaha mengingat. Mencoba mengingatnya perlahan-lahan."
"Jangan dipaksa Tuan. Jika dipaksakan akan berdampak buruk pada diri anda. Sesuatu yang dipaksakan tidaklah baik. Jadi silakan anda nikmati saja proses penyembuhan anda."
"Naomi," lirih Bara menyebut nama si perawat.
"Bolehkan aku memanggil namamu Naomi?"
"Tentu saja Tuan."
"Bisakah kau mengumpulkan informasi catatan kesehatanku selama tiga bulan belakangan ini?" Bara melihat Naomi dengan pengharapan lebih.
"Dengan syarat keluargaku tidak boleh tahu. Aku ingin mengetahui rekam medisku. Tenang saja aku minta tolong tidak gratis. Aku akan memberi bayaran yang pantas untukmu." Bara tak mau berbasa-basi.
"Tuan jangan begitu. Saya akan membantu Tuan," balas Naomi tak enak hati.
"Terima kasih Naomi atas bantuannya."
"Kembali kasih Tuan."
"Aku ingin sedikit cerita. Maukah kau mendengarnya?"
Naomi tergelak tawa, menutup mulutnya dengan tangannya.
"Bukankah sedari tadi anda sudah cerita dengan saya?"
"Yang tadi termasuk cerita ya?" Tanya Bara bloon.
"Tentu saja Tuan. Apa yang ingin anda ceritakan."
"Banyak yang sering mengira kalau orang koma bisa mendengar atau merasakan sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Mungkin aku memang merasakan sesuatu secara tidak sadar, tetapi aku benar-benar merasa terpisah dari dunia nyata. Selama koma aku merasa berada di dunia lain. Melewati sebuah terowongan yang tak ada habisnya. Aku melewati terowongan itu namun sialnya aku tak menemukan ujungnya. Aku baru sadar sekarang kalau hidup kita sangatlah berharga dan tidak ingin menyia-nyiakan waktu lagi."
"Anda benar. Jangan pernah sia-siakan waktu anda yang berharga. Jika anda rajin terapi maka anda semakin cepat sembuh dan pulang dari sini."
"Apa pandangan anda tentang hidup dan mati setelah koma?"
"Bisa dibilang begitu. Aku lebih sering memikirkan hidup dan mati setelah sadar dari koma. Kedengarannya suram ya, tetapi aku tidak bisa menahannya. Kita semua pasti akan mati, dan mengalami koma menyadarkan aku akan hal itu. Aku sekarang lebih menghargai hidup. Aku harus berjuang keras untuk tetap hidup dan sering kali aku merasakan sakit dan efek aneh dari dosis yang tinggi. Kondisi koma sangatlah menakutkan dan sering membuatku merasa kesepian. Aku tidak mau orang lain mengalami hal yang serupa."
"Aku sangat suka pemikiran anda Tuan Bara."
"Pandangan dan prioritas hidupku menjadi lebih jelas setelah mengalami koma. Sekarang aku lebih memahami apa yang paling penting buatku. Dari dulu aku sudah menganggap keluarga sebagai orang-orang terpenting di hidup dan sekarang aku akan selalu mengutamakan mereka. Aku rasa mereka memiliki pemikiran serupa denganku. Mereka yang merasakan langsung efeknya, jadi aku bisa lebih mudah berhubungan dengan mereka. Aku hanya ingin dikelilingi orang-orang yang aku cintai dan pedulikan, begitu juga sebaliknya. Aku hanya ingin hidup sehat dan bahagia, tanpa perlu berlebihan."
"Aku suka dengan pemikiran anda Tuan."
"Aku ingin cari tahu siapa mantan istriku. Mereka terkesan menutupinya."
Setelah setelah menyelesaikan terapinya dan berbincang dengan Naomi, Bara kembali ke kamar. Ia diantar oleh Naomi. Ketika kembali ke kamar hanya ada Herman. Pria paruh baya itu sedang tertidur di atas sofa.
Bara mengambil selimut lalu menutupinya tubuh Herman. AC kamar sangat dingin, Bara melihat papanya kedinginan.
"Sudah selesai terapi Bar?" Herman terbangun dari tidurnya ketika Bara menyelimutinya. Herman bangkit dari tidurnya lalu duduk.
"Sudah pa." Bara duduk di sebelah Herman.
"Bagaimana terapinya?"
"Lancar pa. Aku sudah bisa bergerak leluasa. Harus banyak jalan biar jalannya enggak tertatih-tatih lagi."
Herman menepuk bahu Bara. Tersenyum bahagia melihat perkembangan sang anak.
"Jangan dipaksakan Bar. Pelan-pelan saja."
"Semakin cepat aku sembuh bukankah kita semakin cepat pulang?"
"Papa masih setia temani kamu kok."
"Aku enggak mau merepotkan papa."
"Mana mungkin papa repot Bar."
"Pa, sepertinya papa harus menikah lagi agar ada yang urus papa. Papa butuh teman untuk berbagi cerita. Aku melihat kehampaannya diwajah papa."
"Kamu persis seperti belum koma. Menyuruh papa meniksh lagi."
"Dulu aku meminta papa menikah lagi?"
"Benar sekali Bar."
"Setidaknya dengan papa menikah ada yang urus. Ada yang bantu pijitin kaki."
"Kalo mau pijit tinggal panggil tukang pijit Bar.
"Tapi istri bisa jadi tukang pijit plus-plus pa," balas Bara sekenanya.
Herman mendorong bahu Bara.
"Kamu ada- ada aja."
"Bukan mengada pa, tapi fakta."
"Kamu sembuh dulu baru kita pikiran."