Jodoh Tak Pernah Salah

6. MUNGKIN DILA HAMIL



6. MUNGKIN DILA HAMIL

"Kamu memang punya istri tapi kalian sudah bercerai Bar." Herman malah menjawab pertanyaan Bara. Takut Dian salah bicara makanya ia bicara duluan.     

"Lalu apa alasannya aku bercerai dengan istriku?"     

"Bos kami tidak tahu kenapa bos bercerai dengan dengan istri, karena kalian berdua selalu menutupi urusan rumah tangga kalian. Bos orang yang tidak ingin privasi bos diketahui orang lain. Makanya kami juga tidak tahu kenapa bos bercerai." Dian melanjutkan sandiwara bersama Herman. Melirik Egi dan Clara untuk mengamini ucapan mereka.     

"Benar sekali Bar. Kamu orang yang tertutup dengan masalah pribadi termasuk ke orang tua kamu sendiri." Egi ikutan bicara. Melirik Dian dengan perasaan was-was.     

"Baiklah kalau begitu." Bara manggut-manggut tanda mengerti.     

"Kalian kapan menikah?" Bara melirik Egi dan Clara.     

"Kami baru dua bulan menikah Bar. Alhamdulillah kami akan segera punya anak. Clara sedang hamil," ucap Egi berbunga-bunga.     

"Syukurlah Gi. Selamat buat kalian berdua."     

Ketika mereka sedang asik mengobrol dua orang perawat datang untuk menjemput Bara terapi. Pasien yang baru sadar dari koma harus banyak melakukan tetapi saraf motorik agar berfungsi dengan baik. Bara linglung meninggalkan keluarganya.     

"Hampir saja Dian." Herman mengelus dada ketika Bara telah pergi.     

"Hampir kenapa om?" Egi kepo.     

"Bara tanya-tanya masa lalunya. Om bingung mau cerita apa sama dia. Gimana pun kita harus menutupi masalah Dila."     

"Benar Pak. Enggak mungkin kita bilang masa lalu dia membuat mertua dia enggak setuju hubungannya dengan Dila." Dian garuk-garuk kepala.     

"Ini mau cerita sama kamu Dian. Tadi Bara muntah dan mual gitu. Apa yang dia makan muntah. Kayak orang hamil. Pas tanya perawat katanya kalo istri hamil, ada suami yang morning sickness. Istrinya enggak."     

"Pak Jangan-jangan Dila hamil." Dian terperanjat dan kaget.     

"Benarkah?" Herman bahagia. Matanya berkaca-kaca berharap Dila benar-benar mengandung cucunya.     

"Soalnya saat mereka kabur Dila habis transfer embrio. Mereka program bayi tabung. Bisa jadi Dila sedang hamil triplets. Jika dugaanku tidak meleset usia kandungan Dila sudah jalan empat bulan."     

"Kembar tiga maksud kamu?" Egi tercengang dengan mulut menganga.     

"Iya. Soalnya bos mau punya banyak anak karena dia anak tunggal. Bos bilang jadi anak tunggal enggak enak. Makanya dia mau punya anak yang banyak. Minimal lima," ucap Dian menopang dagu.     

"Kita harus mencari keberadaan Dila. Dia harus tahu apa yang menimpa Bara." Mata Herman memandang langit-langit kamar.     

"Aku udah bantu cari Dila om. Keluarga Pak Defri enggak tinggal di Padang lagi. Mereka udah pindah ke Jakarta. Aku cari di rumah Jakarta Dila juga enggak ada disana." Egi buka suara.     

"Sejak kapan mereka pindah Gi?" Herman tercengang menyugar rambutnya.     

"Sejak Dua bulan yang lalu om. Aku tahu keadaan Bara juga dari partner bisnis. Makanya aku telpon Dian untuk memastikan. Kamu udah jadi telepon uni Naura?" Egi melirik Dian.     

"Gue udah telepon cuma nomor uni enggak aktif lagi. Sepertinya dia ganti nomor. Gue udah coba hubungi melalui media sosial tapi enggak ada balasan. Kayaknya uni enggak pake medsos lagi."     

"Mau tidak mau kita harus menemukan Dila. Dia korban terbesar disini. Jika benar-benar Dila hamil berarti dia sangat membutuhkan Bara. Jika Dila hamil triplets sebaiknya Bara mendampingi. Hamil satu anak aja susah apalagi tiga." Clara mengusap perutnya. Semenjak hamil dia jadi baperan.     

Egi langsung mendekati sang istri dan memeluknya memberi ketenangan.     

"Semoga Dila baik-baik saja." Egi menenangkan istrinya.     

"Om juga berharap Bara dan Dila bersatu lagi. Kasian mereka. Mereka saling mencintai." Tangis Herman pecah. Wajah keriputnya terlihat putus asa.     

"Pak jangan menangis." Dian mengelus punggung Herman. Dian memperlakukan Herman seperti ayahnya sendiri.     

"Dian makasih kamu telah menjadi anak gadisku." Herman terharu dengan perhatian Dian.     

"Sudah seharusnya Pak. Kita keluarga."     

Hati Herman menghangatkan ketika Dian mengatakan 'keluarga'. Egi dan Clara ikut terharu melihat interaksi mereka berdua.     

"Kita harus menemukan Dila bagaimana pun caranya. Aku dan Clara akan menggunakan koneksi kami dan kalian juga gunakan koneksi kalian untuk menemukan Dila. Koneksi Zico juga bisa kita minta bantu," ucap Egi lagi.     

"Kenapa nyebut nama gue bro?" Zico tiba-tiba muncul bersama Alvin.     

"Bro apa kabar?" Egi berbalik lalu memeluk Zico. Sudah lama mereka tidak bertemu.     

"Hai Zico junior," sapa Egi mengelus kepala Alvin.     

"Hai juga om."     

"Kalian mirip banget. Kayak pinang dibelah dua. Yang hamil siapa tapi anaknya malah mirip Bapaknya." Egi bercanda melirik Dian.     

"Harusnya ada Zico versi cewek nih. Apa akan mirip Dian atau Zico?" Ucap Egi terkekeh menggoda Dian dan Zico.     

Zico langsung batuk-batuk dan membuang muka. Jika Dian mau menikah dengannya tentu saja tidak menolak. Namun Zico terlalu pengecut mengakui perasaannya. Dian tak pernah menunjukkan ketertarikannya.     

"Malu-malu gitu." Tawa Egi pecah melihat ketegangan antara Dian dan Zico.     

"Honey jangan menggoda Dian dan Zico." Clara menegur suaminya.     

"Gapapa honey. Biar mereka ketularan kita."     

"Om jangan jodohin papi dan mami. Nanti mami marah." Alvin mengingatkan Egi.     

"Om mau kena bogem mentah sama mami?" Alvin ikut-ikutan menggoda sang ibu.     

"Aduh Alvin om enggak berani. Takut."     

"Membahas Dila, saya udah minta bantuan teman buat cari dia namun hasilnya masih nihil. Nomor ponsel Dila sudah enggak dipakai lagi. Ditelusuri media sosial Dila juga sudah non aktif. Sepertinya Dila sudah mempersiapkan diri untuk kabur dan tak ingin ditemukan." Zico buka suara.     

"Aku yakin Dila kabur bukan karena keinginannya. Dia kabur karena ancaman Defri dan Iqbal. Seumur hidup baru kali ini aku temukan orang tua dan kakak yang egois. Om Defri mengorbankan kebahagiaan anaknya sendiri atas nama harga diri. Sungguh ayah yang egois." Dian menyayangkan sikap Defri.     

"Harusnya sebagai orang tua dia bisa berlapang dada menerima pilihan anaknya. Jika anak bahagia masa kita harus merusak kebahagiaan anak demi harga diri dan reputasi? Dia sangat otoriter sebagai kepala keluarga. Memang benar aku membohongi dia ketika menjodohkan Bara dan Dila, tapi Bara udah taubat dan enggak mengulangi perbuatannya. Defri benar-benar egois." Herman mengepalkan tangan karena geram.     

"Jika kita muat berita kehilangan Dila di media sosial tentu akan memancing reaksi publik, akan menimbulkan masalah baru lagi." Dian masih sibuk berpikir.     

"Kamu benar Dian." Herman sepemikiran.     

"Lalu bagaimana kita menemukan Dila? Kita tidak bisa diam saja dan menunggu. Bara pasti akan bertanya dimana keberadaan istrinya. Kita harus satu suara memberikan jawaban pada Bara. Kenapa dia dan istrinya berpisah." Herman mengusap wajahnya dengan kedua tangan.     

"Bilang saja mereka berpisah karena tidak cocok. Mereka dijodohkan. Mereka menikah karena terpaksa." Zico memberikan ide.     

"Sepertinya ide Zico masuk akal." Egi menyetujui usul Zico.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.