4. KEKAGETAN EGI
4. KEKAGETAN EGI
Egi mengusap wajahnya dengan kasar. Ia terhenyak mengetahui hal buruk yang telah menimpa Bara. Dila meninggalkan Bara karena keluarga Dila tak menerima masa lalu Bara seorang mantan gay. Bara kemudian ditembak oleh lawan politiknya. Akibat tembakan itu Bara mengalami koma dan menjalani pengobatan di Singapura. Hati Egi gerimis ikut merasakan sakit. Meski mereka menjalin hubungan terlarang di masa lalu, namun mereka telah move on. Egi hanya menganggap Bara sebagai sahabat.
Egi merasa miris kenapa keluarga Dila tega memisahkan mereka. Egi sangat tahu jika Bara sangat mencintai Dila, bahkan Bara meninggalkannya demi Dila. Pernikahan Bara dan Dila karena perjodohan kedua keluarga. Sangat kejam jika mereka dipisahkan setelah mereka saling mencintai.
Egi tak habis pikir dengan sikap keluarga Dila yang egois. Memang gosip Bara seorang mantan gay sudah beredar luas di masyarakat. Menurut Egi mantan gay bahkan lebih baik dari pada mantan santri. Bagaimana kaum gay akan move on jika mereka bertaubat masyarakat masih saja mencibir dan menghujat. Padahal mereka sudah bertaubat dan tak ingin salah jalan, namun dimata masyarakat mereka tetap saja menjijikkan dan salah.
Egi menghela napas panjang. Pikirannya berkelana kemana-mana. Egi bingung harus berbuat apa untuk membantu Bara. Egi sudah berusaha membantu Bara diam-diam dengan mencari keberadaan Dila. Egi juga mengutus orang untuk mencari tahu Dila di rumah keluarganya, namun tak ada hasil. Keluarga Dila tak tinggal lagi disana. Kata tetangga mereka telah pindah ke Jakarta. Keluarga Dila menetap di Jakarta. Orang suruhan Egi juga mendatangi rumah keluarga Dila di Jakarta namun Dila tetap tak ada disana.
Egi pun bingung bagaiamana membantu Bara. Egi mengambil ponsel lalu menghubungi Dian.
"Ada apa Gi?" Tanya Dian tanpa basa-basi.
"Gue baru dapat informasi tentang Bara. Kenapa lo enggak kabari gue?" Egi histeris.
"Kami terlalu sibuk merawat Bara sehingga tidak mengabari orang-orang. Darimana lo tahu jika Bara sakit?"
"Gue tahu dari partner bisnis. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa masih koma?"
"Bara sudah dari komanya namun..."
"Namun apa?" Egi tak sabaran menunggu jawaban Dian.
"Bara hilang ingatan. Dia tidak ingat semuanya. Dia hanya ingat pada mamanya," ucap Dian dengan mata berkaca-kaca.
"Ya Allah." Egi sampai menutup mulut tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sungguh Tuhan sedang menguji kesabaran Bara.
"Kenapa semua ini bisa terjadi Dian?"
"Gue juga enggak tahu Gi. Kasian Bara."
"Gue udah berusaha mencari keberadaan Dila namun hasilnya nihil. Dila tak tinggal bersama keluarganya. Pak Defri dan keluarga tidak tinggal di Padang lagi. Mereka semua menetap di Jakarta."
"Apa?" Dian kaget mendengar informasi dari Egi. Saking sibuknya mengurus pengobatan Bara hingga ia tak sempat mencari informasi keberadaan Dila.
"Lo enggak selidiki Dila selama ini?"
"Tidak Gi. Gue terlalu sibuk mengurus Bara."
"Gue akan menengok Bara ke Singapura bersama Clara. Tolong lo japri dia dirawat di rumah sakit mana dan ruangan apa."
"Kapan kalian datang?"
"Kami berangkat nanti malam. Besok gue baru mampir kesana."
"Gi," lirih Dian memanggil Egi.
"Ada apa?"
"Jangan bahas Dila di depan Bara lalu jangan bahas masa lalu kalian. Gue takut jika lo bahas itu akan mempengaruhi memori Bara. Kepalanya akan sakit jika berusaha mengingat masa lalunya."
"Noted. Terima kasih sudah mengingatkan. Terima kasih telah menganggap gue sahabat lo."
"Tentu saja. Orang seperti kalian sangat membutuhkan dukungan orang-orang terdekat. Bagaimana hubungan lo dengan Clara?"
"Hubungan kami baik-baik saja cuma belum mendapatkan restu dari Pak Wira, papa Clara. Kami juga sudah menikah di KUA cuma belum mengadakan pesta. Mereka malu memiliki menantu mantan gay. Miris ya Dian nasib kami. Ketika kami bengkok kehadiran kami ditolak masyarakat. Ketika kami lurus tetap saja keberadaan kami ditolak. Kayaknya apa yang kami lakukan tidak ada yang benar dimata masyarakat."
"Selamat atas pernikahan kalian." Dian memberikan selamat.
"Terima kasih Dian."
"Lo harus tahu masyarakat Indonesia suka menghujat daripada memahami. Mereka berpendapat seenaknya tanpa tahu hal yang sebenarnya. Ujian datang untuk membuat lo kuat. Apakah lo akan bertahan dengan keputusan lo apa tidak. Semua enggak ada yang sia-sia Egi."
"Lo benar. Apa lo udah hubungi uni Naura? Gue liat kalian sangat dekat. Bisa jadi Naura tahu keberadaan Dila."
"Ya Allah Gi. Untung lo ingatkan. Kalo enggak gue bakal lupa. Nanti gue akan hubungi uni Naura. Semoga kita mengetahui keberadaan Dila."
"Semoga Dian. Hanya Dila yang mampu mengobati Bara. Semoga dengan ditemukannya Bara bisa membuat Bara mengingat memorinya."
"Semoga."
Setelah berbincang cukup lama di telepon. Egi memesan tiket ke Singapura melalui aplikasi online. Clara sudah tahu jika nanti malam mereka akan berangkat ke Singapura menengok Bara.
Pukul enam sore Egi dan Clara sudah berada di bandara Soetta. Mereka sedang antri untuk diperiksa pihak imigrasi. Keberangkatan ke Singapura sangat padat malam ini karena besok weekend.
Setelah pemeriksaan selesai mereka naik ke atas pesawat. Egi sangat lelah menyandar di bahu Clara.
"Capek banget honey?" Clara membelai pipi Egi. Semenjak resmi menikah mereka memiliki panggilan sayang 'honey.'
"Iya capek banget. Kamu gimana honey?"
"Aku juga iya. Sesampainya di hotel kita makan lalu tidur ya,�� pinta Clara memelas.
"Baiklah tuan putri. Sesuai dengan permintaan tuan putri." Egi memegang dagu Clara.
"Kamu nyindir honey? Kenapa kamu panggil aku tuan putri?" Clara merajuk, tapi hanya pura-pura.
"Semenjak hamil kamu sensitif banget honey." Egi membelai perut Clara yang masih rata.
"Semoga papa kamu merestui hubungan kita setelah anak kita lahir."
"Amin honey. Nak kamu harus bisa meluluhkan hati opa ya nak." Clara bicara dengan bayi dalam kandungannya.
"Pastinya anak kita akan bisa meluluhkan papa kamu." Egi tersenyum lalu mencium kening istrinya. "Makasih honey telah menerima aku."
"Terima kasih honey telah mau berubah. Aku enggak menyangka kita akan berada di titik ini. Kamu normal dan kita akan segera punya anak."
"Semua berkat kesabaran kamu honey. Jika kamu tidak mendukungku mungkin aku masih menyimpang sampai sekarang."
Pasangan suami istri itu melanjutkan tidur di dalam pesawat. Mereka kecapekan. Mereka baru bangun ketika pesawat sudah mendarat di Singapura. Sebagai suami siaga Egi menjaga Clara dengan baik. Ia tak memperbolehkan istrinya mendorong koper. Takut menyakiti bayi mereka.