Part 411 ~ Tangisan
Part 411 ~ Tangisan
Dila masih terjaga karena memikirkan keputusannya. Apakah keputusan yang diambil sudah benar? Apakah akan menyakiti Bara? Entah kenapa hatinya begitu sakit seakan tak rela melakukan semua ini, namun dia harus berkorban demi keselamatan Bara.
Cinta memang butuh pengorban. Meski terdengar klise namun hal itu harus dilakukan Dila. Bukannya tak sayang pada Bara, bukannya tak cinta namun harus dilakukan demi Bara. Dila harus mengorbankan perasaannya demi masa depan Bara.
Dila berkorban demi cinta. Pengorbanan ini dilakukan karena rasa kasih sayang dan ingin melindungi.
Dila masih ingat percakapannya dengan Iqbal tadi siang di kantin rumah sakit.
"Apa yang yang uda inginkan?" Dila geram melihat Iqbal.
"Jangan melihatku seperti itu Dila. Kamu seakan-akan membunuhku."
"Bagaimana aku tidak melihat uda seperti itu. Aku sudah tidak mengenal kakakku sendiri. Sejak kecil kita sangat dekat dan uda selalu melindungiku. Berusaha memberikan yang terbaik untukku. Apa pun yang aku inginkan uda selalu mengabulkannya. Uda dan Fatih selalu membuat aku tersenyum. Kalian tidak pernah membiarkan aku menangis barang sedetik pun. Tapi kini aku melihat uda sudah berbeda. Aku tidak mengenal uda lagi. Kenapa uda tega melakukan semua ini padaku? Padahal ketika uda berada di titik terendah di hidup uda, ketika semua orang tidak berpihak pada uda. Aku ada disamping uda memberikan dukungan. Tapi kenapa sekarang uda malah balik menyerangku? Sampai disinikah kasih sayang kita sebagai kakak dan adik? Apa sudah tak ada keinginan untuk melindungiku?"
"Dila uda tahu kamu akan marah sama uda, tapi ini kami lakukan demi kebaikan kamu."
"Untuk Kebaikan kalian bukan untuk kebaikanku."
"Terserah apa pikiranmu. Kami tidak peduli. Yang jelas uda ada penawaran untuk kamu."
"Kalian terlalu menjunjung tinggi harga diri dan reputasi. Kalian melakukannya demi dua hal itu bukan demi aku. Kalian berusaha menunjukkan pada orang lain, bahwa kalian memiliki harga diri yang tak boleh direndahkan. Kalian tidak bisa menerima kata-kata negatif, baik dari anggota keluarga, teman bahkan rekan bisnis. Aku masih ingat bagaimana ayah memaksaku untuk menikah karena malu memiliki anak masih single, padahal usianya sudah tiga puluh tahun. Aku kira uda akan berbeda dengan ayah, tidak akan otoriter jadi kepala keluarga, ternyata tidak. Ayah sudah menjadi role model uda sehingga ayah dan uda tidak ada bedanya."
"Dila uda tidak akan berbasa-basi lagi. Mungkin uda langsung saja ke inti pembicaraan kita. Tinggalkan Bara!!"
Kata-kata Iqbal masih terngiang-ngiang di telinga Dila. Betapa sakitnya dia ketika mendengar ucapan itu keluar dari kakak yang sangat ia sayangi. Mungkin Iqbal titisan dari Defri dan dia memiliki sifat yang tak jauh beda dari sang ayah.
Dila menghapus air matanya. Air matanya sudah sangat kering karena ia terlalu banyak menangis hari ini. Ujian yang ia terima hari ini adalah ujian terberat dalam hidupnya. Dila tak pernah menyangka akan berada di titik ini. Dila merasa di titik terendah dalam hidupnya.
Dila memandangi Bara yang sedang terlelap tidur. Begitu tenang dan lelap. Luka di hati Dila begitu perih, sakitnya menghujam ke jantung. Membuat lututnya lemas dan tak mampu berdiri, namun ia tidak bisa berbagi dengan sang suaminya. Luka ini harus ditanggungnya sendiri tanpa tahu obat apa yang bisa menyembuhkannya.
Dila membelai wajah Bara. Cambang di wajahnya membuat Bara semakin tampan dan mempesona di mata Dila.
Dila meledak dalam tangis tanpa mengeluarkan suara. Takut suara tangisannya terdengar Bara dan pria itu bangun. Dila merasakan kesedihan dua kali lipat banyaknya ketika melihat Bara. Sedari tadi ia merasakan sesak, menahan agar tidak menangis dan semakin bimbang dengan keputusannya. Dila ingin sekali menumpahkan perasaannya pada Bara namun tidak bisa. Ia harus menanggungnya seorang diri demi BARA, suami yang sangat dicintainya. Bagaikan air sungai yang mengalir, air mata Dila mengucur mengingat luka lara.
Dila membasuh air matanya dengan tisu. Matanya sudah bengkak dan merah karena kebanyakan menangis.
Selalu ada alasan kenapa kita dipertemukan dengan seseorang. Termasuk saat kita harus menghadapi kenyataan melepaskan orang yang kita cintai. Dila memahami makna itu. Dila harus berkorban demi keselamatan Bara. Adakalanya memang jalan terbaik untuk kebaikan bersama adalah melepaskan orang yang kita cintai. Walaupun terkadang pedih, namun bisa jadi melepaskan orang yang kita cintai itu memang jalan yang terbaik untuk kita.
Dila tahu keputusannya akan mengecewakan Bara. Dila akan belajar ikhlas dan kuat melewati semua ini. Dila yakin cinta sejati akan menemukan jalannya. Meski mereka harus terpisah jarak ribuan kilometer.
Cinta tak mengenal waktu, perbedaan dan jarak. Sejauh apa pun berpisah yang namanya cinta tidak akan usang dan kadaluarsa.
Dila berharap keputusannya benar. Untuk terakhir kalinya. Dila mengecup kening dan bibir Bara. Setelah hari ini dia tak akan bisa lagi melakukannya.
"Sayang kamu sehat-sehat ya. Jaga kesehatan dan jangan lupa makan. Kamu kalo kerja selalu lupa makan dan minum. Selama ini aku selalu ada ingatkan kamu. Kedepannya kamu harus lakukan seorang diri. Aku enggak bisa mengingatkan kamu lagi."
"Maafin aku ya Bara. Aku mengambil keputusan sendiri tanpa diskusi sama kamu. Mungkin jodoh kita hanya sampai disini. Mungkin aku menikah sama kamu hanya untuk membuat kamu kembali ke kodrat. Sepertinya tugasku sudah selesai membimbing kamu. Yang kuat Bara. Aku harap kamu tidak pernah membenci aku. Aku melakukan semua ini karena ingin melindungi kamu. Uda tadi datang ke rumah sakit menemui aku. Dia memberikan aku bukti kejahatan kamu di masa lalu. Ayah dan uda mengancamku untuk meninggalkan kamu, jika tidak mereka akan membongkar semua kejahatan kamu. Aku enggak mau kamu masuk penjara. Aku tak ingin melihat kamu menderita. Lebih baik aku pergi dan kamu masih bisa menghirup udara bebas. Setidaknya aku bisa melihat kamu dari jauh. Aku ingat pertama kali kita bertemu. Aku masih jadi marketing MBC ketika itu. Aku mencari nasabah untuk diberikan kredit. Perusahaan kamu sedang berkembang pesat kala itu. Kamu menolak untuk diberikan kredit, tapi kamu mau menaruh dana yang besar di MBC. Kamu membantu aku untuk mencapai target. Meski kamu waktu itu gay cuma kamu baik mau menolong aku. Persaingan antar bank benar-benar sengit. Semenjak itu aku terkesan sama kamu dan menghormati kamu. Siapa sangka dikemudian hari kamu malah menjadi suamiku."
Dila bangkit dari ranjang. Lalu mengambil kertas dan pena. Dila mulai menulis pesan untuk sang suami.