Jodoh Tak Pernah Salah

Part 410 ~ Mengalah Demi Melindungi



Part 410 ~ Mengalah Demi Melindungi

Dila berjinjit menggapai bibir Bara. Dila memberikan ciuman hangat pada sang suami. Bara merunduk agar sejajar dengan istrinya. Bara membalas morning kiss istrinya. Bara membalas ciuman istrinya dengan ciuman panas nan menggelora. Bibirnya menyecap dan mengulum bibir Dila. Berciuman dengan Dila memberikan kebahagiaan padanya. Meski sepuluh hari ini mereka tak melakukan hubungan intim demi embrio itu. Bara bisa menahan hasratnya demi anak-anak mereka.     

Dila terengah disergap ciuman panas suaminya. Dila merasakan bibir Bara melumat dan mengisap bibirnya dengan kuat. Wajahnya dipegang oleh Bara dan bibir mereka bertautan. Bara melampiaskan emosi dan cintanya pada Dila melalui ciuman panas mereka. Semakin hari cintanya pada Dila semakin tumbuh subur. Dila membalas ciuman Bara. Tangan Bara turun ke bahu Dila dengan bibir masih bertautan.     

Bau gosong roti bakar menyergap penciuman mereka. Bara melepaskan tautan bibir mereka dan melihat alat pemanggang. Bara tersenyum dan geleng-geleng kepala. Roti bakar mereka gosong. Roti itu telah menghitam.     

"Sayang ini ulah kamu." Bara menunjukkan roti yang gosong pada Dila.     

"Kenapa salah aku?" Dila tak mau disalahkan.     

Bara menyugar rambut dan menggaruk kepalanya. Ia melemparkan senyuman pada Dila.     

"Siapa yang mulai cium duluan hingga aku lupa daratan?"     

"Siapa yang mulai menciumku membabi buta hingga tak mau melepaskannya." Dila berpangku tangan tak mau kalah.     

"Sudahlah tidak perlu menyalahkan. Mari kita buat lagi sayang. Duduklah!" Bara menggeser kursi agar Dila bisa duduk.     

Dila duduk memperhatikan Bara yang sedang memasak roti untuknya.     

"Bang jangan lama. Saya sudah lapar," ucap Dila menggoda suaminya.     

"Sebentar ya kakak cantik. Lagi on proses," balas Bara meladeni istrinya.     

"Kalo kakak lapar, liat aja wajah ganteng saya. Mana tahu kakak jadi kenyang."     

"Bang jangan genit ya. Saya sudah punya suami lo."     

"Ganas mana suami kakak dengan saya? Saya jago cipok lo kak," balas Bara vulgar. Dia mengangkat roti dari pemanggang lalu menaruhnya ke atas piring. Bara meletakkan roti di atas meja.     

"Silakan dimakan tuan putri."     

"Terima kasih sayang," balas Dila terharu.     

Dila memakan rotinya dengan lahap. Bara pun ikut makan. Saat makan Dila sesekali minta disuapi. Bara melakukannya demi membahagiakan sang istri. Apa pun akan Bara lakukan asal Dila bahagia.     

"Aaaaakkkkkk." Bara menyuapkan potongan roti pada Dila.     

Dering smartphone mengusik ketenangan mereka. Bara bangkit, mengambil smartphone.     

"Ada apa Dian?"     

Dila langsung tahu jika telepon itu dari Dian. Dila menikmati sarapannya. Roti bakarnya enak, manisnya sedang dan tidak membuat eneg.     

"Baiklah aku akan segera kesana. Apa papa sudah dibawa ke rumah sakit?"     

Dila menghentikan makannya. Kaget mendengar mertuanya dibawa ke rumah sakit.     

"Tolong jaga papa demi aku Dian. Terima kasih telah menjaga papa," ucap Bara mematikan telepon.     

"Ada apa dengan papa?" Dila bangkit dan bertanya pada suaminya.     

"Papa digigit kalajengking ketika jogging di taman komplek. Aku akan ke rumah sakit melihat papa."     

"Aku ikut."     

"Tinggal saja disini sayang."     

"Aku ingin pergi." Dila merengek bak anak kecil.     

Bara tak tega mendengar rengekan istrinya. Pria itu mengijinkan istrinya untuk pergi bersamanya.     

"Papa baik-baik saja. Jangan khawatir." Dila menggenggam tangan Bara ketika mereka sudah dalam perjalanan.     

"Aku kasihan sama papa. Sejak mama meninggal beliau kesepian. Udah tak seceria dulu. Papa merasa kakinya pincang semenjak mama meninggal."     

"Pastinya merasa kayak gitu. Mama dan papa sudah lama menikah. Mereka sudah melewati susah senang bersama. Selama ini berdua tiba-tiba sendiri pasti papa sangat canggung."     

"Kamu benar. Aku aja yang baru setahun nikah sama kamu tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa kamu." Bara mencium tangan Dila.     

Mereka berdua sudah sampai di rumah sakit Harapan Indah. Dila dan Bara menuju kamar perawatan Herman. Mereka membuka pintu terlihat Dian dan Alvin menemani Herman.     

"Bagaimana kabar papa?" Bara panik mendekati ranjang ayahnya.     

"Sudah baik. Papa tidak apa-apa." Herman tak mau membuat khawatir anak dan menantunya.     

"Racunnya sudah dibuang. Untung Bapak segera dibawa ke rumah sakit." Dian menjelaskan.     

"Gimana ceritanya papa bisa kena gigit kalajengking."     

"Tadi pagi aku dan kakek jogging om. Lalu kamu duduk di taman beristirahat. Ketika kakek sedang minum tiba-tiba saja ada kalajengking menggigit kaki kakek." Alvin memberi penjelasan.     

Bara menarik tangan Dian keluar dari kamar perawatan Herman.     

"Apa kamu sepemikiran dengan aku?" Bara menatap Dian intens.     

"Sepertinya begitu bos. Ada orang yang sengaja menaruh kalajengking disana untuk melukai Bapak."     

"Siapa Dian?" Tiba-tiba Bara gemetar.     

"Mereka sudah bermain-main dengan kita bos. Kita tidak bisa membiarkan mereka. Aku sedang menyelidikinya bos."     

"Bajingan mana yang berani bermain dengan Bara? Apa mereka belum jera?"     

"Aku yakin salah satu anggota dewan yang kita jatuhkan."     

"Pasti salah satu dari mereka ada yang ingin membalas kita."     

"Sudah pasti bos. Mereka pantang menyerah."     

Bara dan Dian kembali ke dalam. Dila sedang mengobrol dengan Alvin dan Herman.     

"Terus sekolahnya gimana Vin. Mau masuk SMA mana nanti?" Tanya Dila pada Alvin.     

"Aku mau masuk pesantren tante. Udah terbiasa di pesantren agak canggung sekolah biasa. "     

"Apa mami mengijinkannya?"     

"Nanti bakal bilang sama mami. Cuma aku enggak tenang tinggalin mami sendiri. Minimal mami udah menikah biar aja yang jaga mami."     

"Hmmmmmm. Mami dengar lo Vin apa yang kamu bicarakan." Dian menyela pembicaraan mereka.     

"Alvin minta kamu nikah sama Bapaknya," celetuk Herman menggoda Dian.     

"Kakek mana ada Alvin bilang begitu. Jangan gitu ah kek. Mami paling anti Alvin comblangin sama papi."     

"Kalian nikah enggak ada salahnya kok. Dian single, Zico juga single. Buat apa mengingat masa lalu jika kalian sudah berdamai. Enggak ada salahnya juga demi Alvin. Katanya Alvin mau punya adek." Herman tertawa terkekeh menyaksikan wajah cemberut Dian.     

"Jangan marah Dian. Papa cuma bercanda." Dila menengahi.     

Karena ada urusan mendadak Dian dan Bara meninggalkan Dila di rumah sakit bersama Alvin dan Herman. Dila sibuk bermain dengan gadget karena keduanya tertidur nyenyak. Setelah perawat datang menyuntikkan obat, Herman terlelap tidur. Alvin pun mengantuk dan tidur di ranjang sebelah Herman.     

Dila merasa lapar. Dia pergi ke kantin untuk membeli makan pengganjal perut. Entah kenapa akhir-akhirnya ia cepat lapar dan gampang lelah. Dila membeli beberapa buah roti dan salad. Dia duduk menikmati makanannya. Suapan Dila terhenti ketika melihat Iqbal duduk di depannya.     

"Sudah lama tidak jumpa Dil. Uda kangen sama kamu." Iqbal tersenyum misterius.     

"U-uda." Dila tergagap dan lidahnya kelu.     

"Kenapa kamu takut seperti itu? Uda bukan hantu Dila."     

"Kenapa uda tahu aku ada disini?"     

"Om Herman dirawat disini bukan?" Iqbal menebarkan senyum, tapi Dila malah takut melihatnya.     

"Darimana uda tahu? Jangan bilang uda yang melakukannya?" Mata Dila melotot tajam pada sang kakak. Kenapa Iqbal menjadi monster. Lebih mengerikan daripada ayah.     

"Hanya itu cara membuat kalian keluar dari persembunyiaan ."     

"Kenapa uda sejahat itu?" Bulir bening keluar dari mata Dila.     

"Uda hanya melakukan demi keluarga kita. Uda enggak rela kami jadi istri bajingan itu. Kami sudah tahu semuanya, tentang Bara dengan detail. Masa kamu ingin menghabiskan hidupmu dengan pembunuh berdarah dingin seperti dia? Dia itu monster menakutkan."     

"Itu hanya masa lalu. Dia bukan monster. Dia suamiku…." Napas Dila terengah-engah membela suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.