Part 394 ~ Ujian ( 7 )
Part 394 ~ Ujian ( 7 )
"Bunda. Bara tidak pernah mencuci otak Dila. Bara tidak sejahat yang kalian pikirkan. Dia sekarang sudah menjadi orang baik dan sudah bertobat. Aku tahu keluarga adalah tempat kita pulang. Jika kalian keluargaku, pasti kalian tahu apa yang membuat aku bahagia. Aku bahagia menikah dengan Bara. Aku bahagia menjadi istrinya. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Aku ingin sehidup semati dengan Bara. Tak ada perpisahan kecuali kematian," ucap Dila mantap mancing respon negatif dari Defri dan Iqbal.
"Ayah tidak sudi punya menantu seperti Bara." Defri emosi hingga membanting meja.
Dila menutup mulutnya karena kaget dengan reaksi sang ayah.
"Bara adalah menantu pilihan ayah. Aku sudah menerima pilihan ayah"
"Dia memang pilihan ayah tapi saat itu ayah keliru. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Berpisah dengan Bara pilihan terbaik untuk saat ini."
"Jangan bicara seenaknya ayah. Ayah yang memaksa kami menikah.Kini setelah cinta tumbuh di hati kamu dan saling menerima, seenaknya ayah memisahkan kami. Aku tidak akan diam dan menurut lagi. Ini hidupku. Aku sudah dewasa untuk memilih. Jangan campuri rumah tangga kami."
"Bara bukan suami yang baik buat kamu. Jika dia baik kamu tidak akan melawan pada Ayah. Mana Dila yang patuh dan penurut? Karena membela bajingan itu kamu menentang keluarga kamu sendiri."
"Stop menyebut suamiku bajingan. Dia bukan bajingan."
"Kami tidak bisa menerima masa lalu Bara. Mau tidak mau, suka tidak suka kamu harus bercerai dengan Bara. Tak ada bantahan," ucap Iqbal tegas menatap mata Dila.
"Sampai kapan pun Dila tidak akan mau bercerai dengan Bara. Dia sudah berubah. Itu hanya masa lalu Bara. Dia sudah bertaubat. Ayah dan uda jangan seenaknya mengatur hidup Dila. Ini rumah tangga kami." Dila bicara lantang.
Naura mendengar pertengkaran mereka namun tak berani masuk dan hanya jadi pengamat. Dari tadi Naura sudah berdiri disana dan merekam kejadian itu.
"Mengertilah Dila! Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Bara memberikan pengaruh buruk untuk kamu. Karena Dia kamu melawan keluarga kamu sendiri. Mulai detik ini kamu tinggal dirumah ini. Kamu tidak boleh kembali ke rumah Bara." Defri memberikan ultimatum.
"Sekali lagi Dila tegaskan pada ayah dan uda. Setelah perempuan menikah orang pertama yang harus ia patuhi adalah suami. Seorang istri tak boleh keluar rumah tanpa izin dari suaminya. Setelah menikah wanita menjadi tanggung jawab suaminya. Seorang perempuan jika telah menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan orangtuanya. Mentaati suami itu lebih wajib daripada taat pada orang tua."
"Agama juga menjelaskan. Seorang istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin suami meski diperintahkan oleh Bapak atau ibunya apalagi selain keduanya. Hukum ini adalah suatu yang disepakati oleh para ulama. Jika suami adalah seorang suami yang memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, menunaikan hak-hak istrinya lalu orang tua istri melarang anaknya untuk pergi bersama suami, padahal suami memerintahkannya untuk ikut, maka kewajiban istri adalah mentaati suami, bukan mentaati orangtuanya. Karena orangtua dalam hal ini dalam kondisi zalim. Orangtua tidak boleh melarang anak perempuannya untuk mentaati suami. Aku lebih mendahulukan, memilih apa yang di perintahkan suamiku. Selagi apa yang diperintahkannyamasih berada dalam koridor yang benar."
"Dila cukup!" Defri naik pitam. Selama hidupnya baru kali ini Dila membantah ucapannya.
Atmosfer menjadi tegang dan panas. Suasana jadi canggung dan tak terkendali. Defri tak habis pikir dengan perubahan Dila. Dimana anak yang patuh dan penurutnya? Defri seperti tak mengenal anaknya sendiri.
"Aku lebih baik pergi dari sini," ucap Dila mengambil tas.
Iqbal mencekal tangan Dila.
"Kamu tidak boleh pergi dari rumah ini."
Dila berusaha melepaskan diri namun tak berhasil. Cengkraman Iqbal sangat kuat.
"Lepaskan uda. Uda menyakitiku." Air mata Dila tumpah karena kesakitan.
Dila sedih menerima perlakuan sang kakak. Untuk pertama kalinya Iqbal kasar padanya.
"Uda tidak akan melepaskan kamu. Mulai hari ini kamu tinggal di rumah. Kami hanya ingin menyelamatkan kamu dari bajingan seperti Bara. Kamu terlalu sempurna dan baik untuk Bara."
"Uda tetaplah berada dalam batasan." Darah Dila menggelegak.
"Jangan pernah ikut campur dalam rumah tangga kami. Aku tidak pernah ikut campur dalam rumah tangga uda. Aku hormati segala keputusan uda tanpa aku harus mengadili uda. Sekarang aku minta uda hormati keputusanku. Sampai kapan pun aku tidak mau bercerai dari Bara. Aku mencintai dia," ucap Dila berapi-api memberikan penegasan pada keluarganya.
"Kamu." Iqbal emosi. Dila tak bisa dinasehati.
"Sepertinya kamu tidak bisa diajak bicara baik-baik. Oke fine. Uda harus memaksa kamu. Uda sayang sama kamu. Uda lakukan demi kebaikan kamu. Terserah kamu marah, nantinya kamu akan berterima kasih pada uda."
Iqbal menyeret Dilla dan membawanya pergi dari ruang keluarga.
"Bawa Dila ke kamar dan kunci dia dari luar." Titah Defri pada Iqbal.
"Apa-apaan ini?" Dila kaget mendengar perintah ayahnya.
Iqbal menghentikan langkahnya ketika melihat Naura.
"Sejak kapan kamu ada disitu?" Iqbal meradang karena istrinya telah lancang.
"Itu tidak penting. Lepaskan Dila," pinta Naura pada suaminya. Naura memegang tangan Iqbal namun pria itu menepis tangan istrinya.
"Jangan ikut campur Naura. Ini urusanku dengan adikku. Jangan membantahku untuk hari ini. Jika kamu istri yang baik, kamu harus menuruti perintah suami," ucap Iqbal tajam dan tegas.
"Jangan perlakukan Dila seperti ini. Dia sudah dewasa. Biarkan dia memilih. Jika dia bahagia dengan Bara berarti dia memang bahagia."
"Naura!" Defri tiba-tiba datang.
"Sadar posisi kamu di rumah ini. Kamu hanya menantu. Ini urusanku dengan anak-anakku. Kamu tidak dimintai pendapat soal ini."
"Ayah. Kalian sudah kejam pada Dila. Tidak sepantasnya kalian perlakukan Dila seperti ini."
"Jika kamu aku suruh diam ya diam. Jangan membantah." Iqbal meradang. Tatapannya seolah akan memakan istrinya bulat-bulat.
"Lepaskan aku uda." Dila masih berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Iqbal.
Iqbal menyeret Dila dan membawanya ke kamar. Dila menangis tersedu-sedu mendapatkan perlakuan kasar dari kakaknya. Iqbal mengunci pintu dari luar. Dia mengetuk pintu dengan keras. Memohon agar dilepaskan.
Dila ingin menghubungi Bara tapi tak bisa. Handphonenya telah dirampas Iqbal. Dila mencoba menghubungi Bara melalui telepon paralel yang ada di kamar, namun sambungan telah diputuskan. Dila menangis terisak-isak. Ia seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.