Jodoh Tak Pernah Salah

Part 398 ~ Ujian ( 10 )



Part 398 ~ Ujian ( 10 )

Dila menangis tersedu-sedu sambil memeluk kakinya. Ini sudah hari ketiga Dila dikurung dalam kamar. Dia tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain karena handphonenya dirampas Iqbal. Telepon paralel dalam kamar juga telah diputus sambungannya. Ayah dan Iqbal benar-benar ingin memisahkan Dila dan Bara.     

Dila bingung, bagaimana dengan pekerjaannya? Pasti orang MBC akan kebingungan dan marah karena dia tiba-tiba saja menghilang. Dila masih mempunyai tanggung jawab yang besar pada kantor. Banyak kredit yang belum terealisasi dan pekerjaan yang tertunda.Tak hanya itu Dila juga merindukan Bara.     

Bagaimanakah kabar Bara? Apakah suaminya tahu jika dia telah dikurung oleh orangtua dan juga kakaknya? Apa Bara mencarinya?     

Suara pintu dibuka dari luar mengalihkan perhatian Dila. Ia melihat Lusi datang membawa makanan. Dila membuang muka karena tidak mau melihat bundanya. Teganya Lusi bekerja sama memisahkannya dengan Bara. Mereka menghamiki suaminya begitu saja tanpa bisa memahami posisinya.     

"Dila ini makanannya," kata Lusi menaruh makanan di atas nakas. Kening Lusi berkerut ketika melihat tumpukan piring dengan makanan masih utuh. Ada tiga buah piring, berarti dari kemarin Dila tak makan.     

"Kenapa makanannya tidak kamu makan Dil?"     

"Tidak selera bunda. Tidak usah lagi mengantarkan makanan kesini. Aku tidak akan memakannya." Dila ngambek pada Lusi bahkan tidak mau menatap bundanya.     

"Dila. Jangan begini nak. Jika kamu tidak makan nanti kamu bisa sakit. Bunda nggak mau lihat kamu sakit."     

"Apa yang kalian lakukan padaku telah membuat aku sakit. Kalian kejam dan tega."     

"Dila kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Tak pernah terlintas di pikiran kami untuk berbuat kejam pada kamu. Bunda melakukan ini demi kamu juga nak."     

"Terbaik versi kalian bukan versi aku. Sampai kapan kalian akan mengurung aku disini? Ini sudah hari ketiga aku berada di sini. Kalian merampas kebebasanku. Kalian merampas ponselku. Kalian jahat. Kalian tidak memikirkan pekerjaanku. Apa kata atasanku karena aku tidak memberi kabar tidak masuk kantor padahal aku seorang pemimpin. Apa yang kalian lakukan membuatku seperti orang yang tidak bertanggung jawab."     

"Dila mungkin saat ini kamu marah pada kami, tapi pada akhirnya kamu akan mengucapkan terima kasih pada kami karena telah menyelamatkan kamu dari bajingan seperti Bara."     

"Bunda berapa kali aku harus mengatakan jika suamiku telah berubah? Dia bukan orang jahat. Dia mantan gay memang benar. Itu hanya masa lalu Bara. Dia sudah berubah. Apakah itu masih buruk dimata kalian? Dia sudah taubat dan kembali ke kodrat. Manakah yang lebih baik mantan gay atau mantan ustad?" Dila meradang hingga bicara dengan nada tinggi.     

Lusi tak menjawab pertanyaan Dila. Hatinya terasa teremas ketika Dila begitu keras dan tegas padanya.     

"Bara benar-benar memberikan pengaruh buruk buat kamu. Beraninya kamu bicara keras pada bunda." Ada sebulir air bening mengalir dari pelupuk mata Lusi.     

"Bara tidak memberikan pengaruh buruk buatku. Aku tegas karena sudah seharusnya aku tegas. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu mana yang salah dan benar. Aku sudah menikah dengan Bara. Setelah akad nikah, aku bukan lagi tanggung jawab kalian. Aku dibawah tanggung jawab Bara. Aku bukan lagi milik kalian. Aku tahu kalian melakukannya bukan demi aku, tapi demi reputasi keluarga. Kalian tak mau malu dan terhina karena menantu kalian mantan gay. Semua orang punya masa lalu bunda. Ada yang baik dan buruk. Kenapa aku merasa bunda seperti orang lain? Mana kelembutan dan kesejukan itu. Biasanya bunda jadi penyejuk dan menentramkan suasana jika suasana memanas. Kenapa kali ini tidak bunda?" Dila mencerca Lusi.     

"Kamu butuh makan Dila, makanya kamu ngawur. Sini bunda suapkan." Lusi menyendokkannya makanan ke mulut sang anak namun Dila menepisnya.     

"Aku tidak lapar bunda. Biarkan saja aku mati. Kalian sudah tak peduli padaku."     

"Kami melakukan ini karena peduli sama kamu. Betapa malangnya kamu nak punya suami seperti Bara. Kami menyesal menjodohkan kalian." Lusi menangis haru. Terbersit rasa bersalah pada Dila karena membuat Lusi menangis, namun Dila tak menunjukkannya. Apa yang dilakuksn keluarganya sangat kejam dan diluar batas.     

"Bunda aku tak perlu dikasihani. Aku tidak apa-apa."     

"Kenapa Dila? Kamu masih menyembunyikan perasaan kamu? Selalu saja seperti itu. Merasa bisa menyelesaikan masalah kamu sendiri. Kamu selalu memendam perasaan. Andai dari dulu kamu jujur tentang hubungan kamu sama Fatih. Kamu enggak akan menikah dengan Bara. Kami akan merestui kalian."     

"Fatih masa lalu. Masa depanku Bara. Jangan mengungkit hal yang tak penting. Semudah itu bunda?" Dila malah tertawa terbahak-bahak.     

"Mungkin hal ini perlu bunda ketahui. Aku dan Fatih menyembunyikan hubungan kami karena Fatih minder dengan keluarga kita. Fatih anak mantan ART di keluarga kita. Tentu akan memalukan jika ayah punya menantu yang tidak selevel dengan keluarga kita. Ayah sangat menjunjung tinggi harga dirinya, mana mungkin ayah dan bunda mau menerima Fatih dengan kondisi seperti itu. Makanya Fatih bertekad untuk mengubah nasibnya menjadi orang sukses. Dia mengorbankan masa mudanya demi bisa mempersuntingku. Aku bukanlah wanita matre, yang melihat laki-laki dari harta, tapi aku melihat laki-laki dari agamanya. Fatih laki-laki sholeh yang menjaga pandangannya. Waktu itu aku yakin jika Fatihlah imam yang terbaik untukku. Aku sengaja diam dan tak menjalin hubungan dengan pria lain, selama berpuluh-puluh tahun hanya untuk menunggu dia. Tak ada yang lebih membanggakan dan membahagiakan, jika kita punya calon suami idaman para bidadari di surga. Tapi kalian menjodohkan aku dengan Bara. Tanpa kalian tanya apakah aku bersedia apa tidak. Yang aku pikirkan kala itu hanyalah menurut untuk menutupi aib kalian." Dila menangis tersedu-sedu.     

Tubuh Lusi meremang ketika mendengarkan curahan hati Dila.     

"Kalian malu punya anak perawan tua. Bahkan kalian termakan omongan orang-orang. Ucapan mereka sangat pedas, mengatakan aku lesbian. Percuma sukses, cantik, punya karir bagus tapi belum juga menikah padahal usiaku sudah matang. Aku terima bunda apa yang kalian perintahkan. Aku menikah dengan Bara tanpa ada cinta untuk dia. Bunda tidak mengerti anak bunda sendiri. Seharusnya tanpa aku bicara, bunda sudah mengetahui apa yang aku mau. Itulah hakikat seorang ibu. Bunda dari kecil, aku sudah dididik dengan keras. Ayah tidak mau dibantah. Ucapan Ayah adalah titah yang harus di patuhi, otoriter. Jika tidak menurut, kami akan diberi hukuman. Semenjak kecil kami tidak diberi kesempatan untuk bicara dan mengeluarkan pendapat. Buat apa aku bicara tapi tak didengar." Dila menghapus air matanya.     

Lusi tertunduk lesu tak bisa membalas ucapan putrinya. Lusi mengamini ucapan Dila jika mereka tak pernah dimintai pendapat sejak kecil. Mereka dididik untuk patuh dan menuruti semua perintahnya dan Defri.     

"Kami bukanlah anak kecil yang terus-menerus bisa kalian dikte. Kami sudah dewasa. Aku punya kehidupan sendiri. Aku bahagia hidup dengan Bara, walau di awal pernikahan banyak kerikil tajam yang harus kami lalui. Bukankah pernikahan akan kuat dan kokoh setelah diterpa badai?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.