Jodoh Tak Pernah Salah

Part 396 ~ Ujian ( 9 )



Part 396 ~ Ujian ( 9 )

Bara sampai di rumah orang tuanya. Ia memutuskan untuk tinggal di rumah Herman untuk sementara waktu.     

Malam ini malam yang sangat menguras emosinya. Nasibnya sangat miris. Tidak bisa menemui istrinya sendiri.     

Bara berpapasan dengan Herman. Mereka berdua membeku.     

"Keluarga Dila mengurung Dila dan ingin kami bercerai," kata Bara dengan mata berkaca-kaca.     

"Jangan ajak aku ngobrol dulu pa. Aku mau sendiri," kata Bara lagi seolah-olah tahu jika Herman menanyakan Dila. Bara pergi menuju kamar.     

Herman menatap kepergian Bara dengan perasaan kelu dan perih. Salahnya, telah memperalat Dila untuk menyembuhkan Bara, salahnya telah membohongi Defri, salahnya telah menjebak Dila dalam kehidupan Bara.     

Bara tidur dalam posisi miring. Rasanya sangat sakit tak bisa menemui istri sendiri. Ini lebih sakit daripada perpisahannya dengan Egi. Dila telah mengalihkan dunianya. Semangat hidupnya Dila. Wanita itu yang telah membimbing dan mendukungnya untuk kembali ke straight. Dila yang bertahan ketika orang-orang diluar sana membenci dan menghakiminya.     

Bara menatapi tempat kosong di sebelahnya. Terbiasa tidur berdua dengan Dila. Kekosongan ini membuatnya hampa. Terbiasa ada Dila menghangatkan ranjangnya, terbiasa menggenggam tangan Dila ketika akan tidur, terbiasa melakukan pillow talk sebelum tidur. Bara merasa canggung. Separuh hidupnya pergi. Ada kepingan yang hilang dalam hatinya.     

Bara menangis. Betapa berat dan sakitnya kehilangan. Tak pernah menduga akan seperti ini. Bara sudah memprediksi jika artikelnya sudah hilang dan tak bisa di akses. Siapa sangka jika Iqbal terlalu pintar dan bisa mengaksesnya.     

Bara menyesali masa lalunya. Merasa sakit tapi tak berdarah. Masa lalu itu yang telah membuat jarak antara dia dan Dila. Masa lalu sialan itu membuat keluarga Dila membencinya. Bara merutuki nasibnya. Masa lalunya yang kelam telah merenggut orang-orang yang ia sayangi.     

Masa lalunya telah mengantarkan sang mama ke tempat istirahat terakhir. Masa lalunya juga yang membuat keluarga Dila ingin memisahkan mereka. Masa lalunya juga yang menghancurkan persahabatan Defri dan Herman.     

Bara terdiam dalam sesak. Memikirkan Dila. Apa yang sedang dilakukan Dila sekarang? Apakah Dila juga menangis dan tak mau berpisah dengannya? Video kiriman Naura sudah menegaskan segalanya. Dila mempertahankannya dan itu sudah cukup melegakan untuk Bara. Mereka saling memperjuangkan.     

Bara mengambil napas panjang teringat perdebatannya dengan Defri dan Iqbal. Sampai mati pun Bara tidak akan menandatangani surat cerai mereka. Bara dan Dila saling mencintai. Mereka tidak akan mau bercerai. Iqbal dan Defri terlalu jahat dan kejam mencampuri urusan rumah tangga mereka. Tidak ada hak Defri dan Iqbal untuk menyuruhnya bercerai dengan Dila, karena kewenangan dan hak terhadap rumah tangga adalah pada suami istri. Jika perceraian itu keinginan Dila mungkin Bara masih bisa terima.     

Mungkin Bara akan kehilangan tujuan hidupnya jika Dila benar-benar meminta cerai padanya. Bara bisa bernapas lega karena Dila tidak memintanya. Malah memperjuangkannya, tidak pasrah dengan keputusan Iqbal dan Defri.     

Bara sangat tahu betapa kerasnya Defri dan Iqbal. Keduanya telah mengurung Dila di dalam kamar. Mereka juga merampas ponsel Dila sehingga Bara tidak bisa menghubungi istrinya.     

Bara berkutat dengan pikirannya. Memikirkan cara untuk membawa Dila pulang, bagaimana cara meluluhkan hati keluarga istrinya. Bara menyugar rambut dan memukul kepalanya. Bara tak bisa berpikir. Bukannya berpikir tapi malam melamun. Ia terlalu larut dalam lamunannya hingga tak sadar jika Herman masuk ke dalam kamar.     

Herman merasa miris dan prihatin melihat kondisi putranya.     

"Bar," panggil Herman menyentuh pundak Bara.     

"Mereka mau kami bercerai pa. Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan Dila. Aku mencintai Dila. Dia hidupku pa," cebik Bara bangkit dari ranjang lalu memeluk Herman.     

Bara tumpahkan seluruh perasaan dan air matanya di pelukan sang ayah. Herman menepuk-nepuk pundak sang anak. Hatinya ikut bergerimis. Bukan hanya Bara yang patah hati. Herman juga merasa patah hati. Dia juga tak sanggup kehilangan menantu sebaik Dila.     

"Papa tahu Bar. Dila segalanya bagi kamu. Dan kamu tidak bisa hidup tanpa Dila. Dila adalah napas kamu. Papa tahu, bahkan papa lebih mengerti. Bagaimana sakit dan pedihnya ketika wanita yang kita cintai pergi. Kamu beruntung Bar hanya dipisahkan sama keluarga Dila. Masih bisa bertemu. Papa dipisahkan kematian. Hanya pusara tempat kami berjumpa untuk melepaskan rindu."     

Bara sakit dan semakin sakit mendengar penuturan Herman. Berpisah seperti ini saja dia sudah tak kuat, apalagi dipisahkan kematian. Bara tak sanggup membayangkan semuanya. Menurut Bara lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan.     

"Pa, bantu aku untuk membawa Dila pulang ke rumah. Aku mau Dila," ucap Bara dengan bibir bergetar.     

Bara menghapus air matanya sebelum mengulurkan tangan mengambil smartphone yang ada di atas nakas.     

"Kamu mau apa Bar?"     

"Aku mau telepon Naura pa. Aku mau minta bantuan."     

"Apa mungkin Naura bantu kamu? Dia istri Iqbal bukan?"     

"Naura pasti bantu pa. Dia saksi hidup kisah Bara dan Dila. Dia tahu semuanya tentang kami. Dia yang dukung kami. Naura memahami bukan menghakimi kami. Hanya dia satu-satunya tempat aku minta tolong."     

Bara mencari nama kontak Naura lalu menekan tombol hijau di layar. Panggilannya diangkat dalam satu kali panggilan. Bara mengaktifkan speaker smartphone agar Herman bisa mendengarkan percakapan mereka.     

"Ya Bar," sapa Naura dengan perasaan was-was.     

"Kenapa Uni? Sepertinya uni ketakutan?"     

"Aku harus berhati-hati Bar. Iqbal dan ayah tahu aku dekat dengan Dila. Mereka tak mengijinkan aku masuk kamar Dila. Sampai sekarang mereka masih mengurung Dila di dalam kamar. Enggak satu orang pun yang bisa datang ke kamarnya. Aku pun juga tak bisa. Kamu tidak jadi jemput Dila?"     

"Aku sudah datang tadi. Tapi mereka mencegah aku di pintu gerbang. Mereka bahkan memerintahkan lima orang satpam untuk mencegah aku masuk ke dalam. Aku berdebat dengan ayah dan juga Iqbal. Mereka kejam uni. Mereka memberikan surat cerai padaku, tapi aku tidak mau menandatanganinya. Aku merobek surat itu. Mereka tak main-main. Mereka ingin kami berpisah."     

"Apa?" Naura tak percaya dengan apa yang ia dengar. Mulutnya sampai menganga. Tubuhnya bergetar hebat.     

"Kenapa Iqbal kejam seperti ini? Aku tak mengerti dengan jalan pikirannya."     

"Bolehkah aku meminta bantuan uni?"     

"Bantuan seperti apa yang bisa aku berikan Bar?"     

Bara mengatakan rencananya pada Naura bagaimana cara membawa kabur Dila dari rumah. Naura mendengarkan dengan baik. Naura manggut-manggut menyetujui rencana Bara.     

"Yang kamu lakukan sudah benar Bar. Kamu suami Dila. Setelah menikah Dila jadi tanggung jawab kamu. Kemana pun kamu pergi Dila harus ikut. Pada hakikatnya wanita yang sudah menikah, mentaati suaminya lebih dulu baru orang tua. Aku mendukung kalian," ucap Naura bak angin penyejuk bagi Bara.     

"Terima kasih uni." Wajah Bara berseri-seri karena Naura bersedia membantunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.