Part 387 ~ Tangisan Herman
Part 387 ~ Tangisan Herman
"Jangan berkata seperti itu besan. Jangan putuskan hubungan persaudaraan kita. Aku tahu jika aku salah, tapi semuanya sudah berlalu besan. Bara sudah normal dan kembali ke kodrat. Mereka saling mencintai. Jangan pisahkan mereka."
"Saling cinta? Omong kosong apa yang anda bicarakan?" Defri Mendecih.
"Aku tidak bicara omong kosong besan. Mereka berdua saling mencintai. Dulu memang Bara seorang gay tapi sekarang dia sudah sembuh. Bara menjadi gay bukan karena keinginannya, tapi karena keadaan. Pelecehan yang dialami waktu kuliah turut membuatnya menyimpang. Tapi itu dulu, sekarang dia sudah sembuh dan sudah bertobat. Besan, aku mohon jangan lakukan itu." Herman menangis dan berlutut di kaki Defri.
"Berdirilah jangan berlutut di kaki saya." Defri geram. Giginya bergemeletuk menahan amarah dan emosi. Andai mereka masih muda, mungkin Defri sudah memukul dan menendang Herman. Teganya pria itu menipu dan menjebaknya.
"Saya tidak menyangka anda tega melakukannya. Fakta, jika Dila menderita dan tersiksa hidup bersama anak anda. Sekali pun anak anda sembuh, saya tidak sudi punya menantu macam dia. Bajingan itu tak layak mendapatkan bidadari seperti putriku." Defri berteriak lantang.
"Itu hanya masa lalu. Sekarang mereka sudah bahagia. Mereka saling mencintai besan." Herman mengulangi perkataannya.
"Cinta?" Defri menunjukkan wajah malas dan eneg.
"Cinta macam apa yang diberikan anak anda? Jika keadaan dibalik. Saya menjebak putri anda menikah dengan anak saya yang gay. Bagaimana perasaan anda?" Defri memegang kerah baju Herman. Pria itu menangis terisak-isak, terlalu sakit ia rasakan. Kenyataan ini menghujam jantungnya.
Herman tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Ayah mana yang tak sakit hati, jika putrinya dijebak menikah dengan gay. Herman akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padanya.
"Aku memang egois besan. Ayah mana yang tak terluka. Putra satu-satunya menyimpang. Aku hanya ingin yang terbaik untuk anakku."
"Terbaik versi anda, bukan versi saya. Anda mempertaruhkan nasib Dila. Untung anak anda sembuh jika tidak Dila akan semakin menderita. Anda pikir saya tidak tahu siapa putra anda? Dia bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Dila tak pernah menangis atau sedih sejak kecil. Saya selalu memberikan yang terbaik untuk dia. Dari kecil saya rawat dan besarkan bukan untuk jadi tumbal anak anda."
"Sekali lagi maafkan aku."
"Anak anda pasti telah mengancam Dila hingga dia tak cerita tentang ini.."
"Bara tidak pernah mengancam Dila. Dia mencintai Dila."
"Berapa banyak kebohongan yang akan anda buat? Anda sangat mengecewakan saya. Saya tidak akan pernah mempercayai anda lagi. Saya memutuskan hubungan bisnis dengan anda bahkan hubungan keluarga kita. Saya sudah merasakan semua kepahitan hidup dan yang paling pahit berharap pada manusia. Anda menghancurkan harapan saya."
"Sekali lagi maafkan aku besan. Aku tidak punya niat mengecewakanmu."
"Jika tak punya niat seharusnya anda tak mengusulkan perjodohan anak-anak kita."
"Aku hanya mengikuti kata hatiku. Lagian mereka sudah bahagia."
"Bahagia versi anda bukan kami."
"Anda bisa menanyakannya pada Dila. Kita jangan ikut campur dalam urusan mereka. Dila dan Bara sudah terlalu dewasa memutuskan semuanya."
"Jangan ikut campur?" Defri mendelik tajam. Darahnya menggelegak mendengar penuturan Herman.
"Dari awal saya yang menyatukan mereka. Anda minta jangan ikut campur? Sekali lagi saya tahu bagaimana busuknya anda. Saya tidak akan tinggal diam," ucap Defri memberikan ancaman.
"Mulai detik ini persahabatan kita putus. Hubungan kedua anak kita juga akan berakhir. Aku akan meminta Dila untuk menceraikan anak anda."
Setelah mengucapkannya Defri meninggalkan Herman yang tertunduk lesu. Herman merasakan linu dihatinya, melihat kepergian Defri tanpa menoleh padanya. Wajar saja Defri bersikap seperti itu namun tetap menyakitkan untuknya.
Badan Herman lemas dan dingin. Pria paruh baya itu mengambil smartphone lalu menghubungi Bara namun tidak diangkat. Ia mengulanginya sampai puluhan kali namun tak dijawab.
"Sial." Maki Herman kesal. Bara tak kunjung mengangkat teleponnya.
Herman melemparkan smartphone ke atas meja. Mengusap wajahnya dengan kasar, memikirkan cara untuk menggagalkan rencana Defri memisahkan Bara dan Dila. Sampai kapan pun Herman tak rela pasangan suami istri itu dipisahkan.
Herman menahan saliva, mencoba menghilangkan tekanan yang ia rasakan di tenggorokannya. Baru saja menahan emosi agar tak terpancing bertengkar dengan Defri. Berharap pria itu akan luluh dan merasa kasihan padanya.
Menyakitkan bagi Herman karena Defri telah memutuskan hubungan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Herman tidak masalah jika mereka memutuskan hubungan bisnis, namun hubungan keluarga tak rela jika ikut putus.
Sebagai seorang ayah Herman sangat tahu jika kebahagiaan Bara ada bersama Dila.
Dila adalah dunianya Bara. Herman sangat tahu jika putranya akan terpuruk jika Dila meninggalkannya. Pernah ditinggal pergi Dila ke Perth sudah memberikan gambaran untuk Herman, bagaimana galau dan terpuruknya Bara.
Tak bisa dibayangkan oleh Herman. Bagaimana nanti jika Defri benar-benar membuktikan ucapannya. Herman sangat mengenal siapa Defri. Pria itu tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Tak terbayangkan dibenak Herman jika Dila meminta cerai. Herman takut jika Bara kembali seperti dulu. Merasa sakit hati dan kecewa pada wanita. Kembali menyimpang. Jika itu sempat terjadi, Herman lebih baik mati menyusul Ranti.
Herman sudah tidak kuat menahan derita hidup. Herman terpejam geram, berusaha memutar otak mencari solusi perdamaian dengan Defri. Satu ancaman besar jika mereka benar-benar bermusuhan.
Sampai kapan pun Herman tak akan pernah membiarkan persahabatan dan hubungan kekerabatan mereka hancur. Ia hanya butuh kesabaran untuk mendapatkan maaf dari sahabatnya itu.
Herman berusaha menghubungi Dila namun tak juga diangkat. Kebetulan saat Herman menelpon, Dila sedang rapat dengan kepala cabang membahas strategi penyaluran kredit dan membahas pencapaian target. Handphone sengaja Dila silent agar tak mengganggu ketika rapat berlangsung.
Herman tak putus asa. Mencoba menghubungi Dila berkali-kali. Namun hasilnya masih sama. Tak diangkat. Handphone Dila tiba-tiba mati karena baterainya lemah.
Herman menjambak rambutnya kesal.
"Apa Dila marah padaku hingga tak mengangkat teleponku?" Herman bicara dan berasumsi sendiri.
"Radit." Pekik Herman memanggil sopir pribadinya.
"Iya Pak." Radit datang berlarian. Pria itu tahu jika Herman memanggil dengan nada seperti itu berarti mood sang bos jelek. Tak boleh membuat kesalahan.
"Ada apa Pak?"
"Siapkan mobil dan antar aku ke kantor Bara."
"Baik Pak."
Perasaan Herman tidak enak. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tersengal-sengal. Ada yang menyesak di ulu hatinya. Biasanya jika Herman merasa seperti ini akan ada peristiwa atau hal-hal buruk menimpa keluarganya.
Herman menbuang pikiran buruknya. Berpikiran positif agar tidak panik. Merasakan perjalanan ke kantor Bara sangat lama. Herman semakin resah.