Jodoh Tak Pernah Salah

Part 384 ~ Cerita Dian dan Zico



Part 384 ~ Cerita Dian dan Zico

Dian menatap Zico sekilas. Berpikir apakah aman jika bicara dengan Zico.     

"Jika lo ragu ngomong sama gue nggak usah aja ngomong. Gue nggak maksa lo buat ngomong kok." Zico mengerti keraguan Dian. Wajar saja Dian belum bisa terbuka dan ceplas-ceplos padanya karena mereka baru saja berbaikan.     

Setelah masa-masa kelam yang mereka lewati, suatu keajaiban dunia untuk Zico bisa berbaikan dengan perempuan yang pernah ia perkosa hingga melahirkan Alvin ke dunia.     

"Maksud lo?" Dian tiba-tiba tergagap. Zico bisa membaca pikirannya.     

"Lo nggak nyaman kan cerita sama gue masalah Bara?"     

Dian tertawa menutupi rasa malunya. Sudah berulang kali Zico bisa menebak ekspresi wajahnya. Entah laki-laki itu terlalu pintar atau dia punya ilmu untuk membaca hati seseorang.     

"Lo cenayang atau punya ilmu kebatinan Zi?" Dian semakin akrab dengan ayah biologis Alvin. Dia memanggil Zico seperti Lona memanggilnya.     

"Gue nggak punya ilmu kebatinan, cuma dari raut wajah lo udah bisa ditebak. Kalau lo tuh nggak nyaman cerita soal Bara. Gue sih enggak maksa lo buat cerita. Kalau mau cerita ya cerita. Kalau nggak ya udah diem aja."     

"Lo paling bisa yang mancing gue buat ngomong."     

"Memangnya lo ikan yang harus gue pancing?" Zico tergelak tawa.     

"Sableng lo. Sebenarnya Bara enggak ada niat buat buka aib para anggota dewan, cuma mereka mengancam Bara. Mereka menandatangani petisi untuk menggulingkan Bara dari posisi ketua. Makanya si bos nggak terima digituin. Dia mau pukul balik mereka. Kami sudah mengumpulkan bukti-bukti itu dari setahun yang lalu, akan kami pergunakan jika waktunya tepat. Ternyata dugaan bos benar. Video itu berguna sekarang. Jadi bos memberikan mereka angin segar seolah-olah bos tak berdaya masa lalunya yang seorang gaya diungkit ke media. Beberapa menit kemudian buzzer mulai bekerja sehingga berita bos yang mantan gay terkubur dengan berita video syur mereka. Berita bos yang seorang mantan gay sudah ilang di internet. Udah nggak ada lagi jadi nggak perlulah dikhawatirkan."     

"Berita itu memang sudah hilang di internet tapi jejak digital masih bisa dilacak Dian."     

"Maksud lo apa?" Dian tiba-tiba khawatir dengan analisa Zico.     

"Sebenarnya kalian telah mengambil langkah yang salah. Harusnya berita soal Bara seorang mantan gay tidak pernah dimuat di internet atau media online manapun, karena ujung-ujungnya, walau berita itu sudah terhapus akan menjadi bumerang bagi Bara. Gue kemarin bertemu dengan mertua Bara, Pak Defri. Kita diundang untuk memberikan seminar bagi para pengusaha muda. Nah dalam seminar juga ada tausiah agama. Ada pembahasan isu yang lagi viral beberapa waktu belakangan ini. Masalah LGBT. Nah mertuanya Bara bilang sama gue, dia enggak akan ngakuin keluarganya jika ada keluarga dia yang terjerumus dalam pergaulan LGBT. Auto dihapus dari KK kata beliau. Gue takutnya jika mertua Bara sampai baca berita itu atau minimal dapat screenshot dari orang lain, rumah tangga Bara dan Dila jadi taruhannya. Gue udah cukup lama kenal dengan Pak Defri. Kami sudah berbisnis waktu gue masih tinggal di Singapura. Pak Defri bisnisnya ga melulu Indonesia, nggak melulu Jakarta, Kalimantan. Beliau juga melakukan ekspor ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Gue pun sering mengambil barang dari Pak Defri. Gue sangat kenal karakternya beliau. Gue takut jika beliau tahu masalah ini, beliau akan memisahkan Bara dan Dila."     

Dian terhenyak dan kaget. Tubuhnya membeku mendengar penuturan Zico. Pria itu benar. Rumah tangga Dila dan Bara ada dalam bahaya jika Defri sampai tahu masa lalu Bara.     

Dian mendongak menatap Zico. Pria itu bicara serius dan tak main-main. Alasan Zico cukup logis. Perasaan Dian tak enak. Jika tebakan Zico benar maka hubungan Bara dan Dila terancam.     

"Gue akan melakukan sesuatu. Pak Defri tidak boleh tahu masa lalu bos," kata Dian panik menatap Zico.     

"Kok lo yang panik? Rumah tangganya Bara kok lo yang rempong sih Dian?"     

"Bukan soal gue yang rempong. Cuma gue tahu bos sangat mencintai Dila. Dia tidak bisa berpisah dari Dila. Gue takut jika Pak Defri melakukan sesuatu yang memisahkan keduanya. Bara akan kembali menjadi seorang gay. Gue enggak mau itu terjadi. Kadang karena kecewa seseorang bisa melakukan tindakan diluar batas." Dian tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.     

"Lo sayang banget ya sama Bara? Sampai segitu banget melindungi dia." Tanya Zico mengorek informasi.     

"Gue hanya membalas apa yang dilakukan ke gue Zi. Asal lo tahu, jika bukan karena dia yang berusaha menyembuhkan gue ketika depresi. Jika bukan karena dia mungkin Alvin tidak pernah lahir ke dunia ini. Gue tahu hamil Alvin ketika kandungan gue sudah lima bulan dan tidak bisa digugurkan lagi. Waktu itu gue berniat bunuh diri agar Alvin lenyap.     

Lagi-lagi Bara menyelamatkan gue. Dia mempertahankan bayi dalam kandungan gue. Ketika gue membenci Alvin, Bara malah mencurahkan kasih sayangnya pada Alvin. Dia memberikan semua untuk Alvin seolah Alvin anaknya sendiri. Bara juga yang membuat gue bangkit dan bisa menjadi sosok yang seperti sekarang. Jadi sudah sewajarnya gue balas budi sama dia."     

"Bukan karena lo mencintai dia?" Tanya Zico dengan tenang, tak menunjukkan ekspresi apa-apa.     

Dian tersenyum seraya meringis. Orang seperti Zico memang tidak bisa dibohongi. Tebakannya sangat tepat. Pantas Dian menyematkan panggilan cenayang untuknya.     

"Dulu gue memang cinta sama Bara, tapi sekarang tidak lagi. Gue hanya menganggapnya seperti kakak. Gue menyayangi dia seperti sayang seorang adik ke kakak. Ini Alvin masih lama mandinya?" Mata Dian memendar melihat sekeliling rumah.     

"Kenapa mami buru-buru pulang?" Tiba-tiba Alvin datang. Anak itu menuruni tangga. Kamar Alvin berada dilantai dua.     

"Kalau mami masih sibuk kerja, ya udah aku disini saja sama papi. Ya nggak pi?" Alvin meminta dukungan sang ayah.     

"Benar Dian. Kalau lo masih sibuk biarin aja Alvin nginep di sini dulu."     

"Gue nggak sibuk kok. Lagian gue udah kangen sama Alvin. Sudah hampir seminggu dia nginep di rumah lo." Tolak Dian.     

"Dua hari lagi gue mau pergi perjalanan bisnis. Gimana lo tinggal aja di rumah gue dulu sama Alvin? Lagian rumah gue dekat dengan sekolah Alvin. Jadi lo nggak repot-repot nganterin dia."     

"Nggak usah. Makasih. Lagian nggak etis kalau gue tinggal disini. Gue dan lo enggak punya hubungan. Nanti tetangga malah tuduh kita kumpul kebo. Jangan samakan masyarakat disini dengan masyarakat di kota besar. Kalau di sini orang masih punya rasa peduli dan hidup bertetangga. Walau pun lo tinggal di komplek tetap aja bakal diawasi."     

"Papi kode dari mami tuh. Mami minta segera dihalalin. Yuk ajak mami ke KUA." Alvin tertawa terbahak-bahak menggoda kedua orang tuanya.     

"ALVIN!!!!!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.