Jodoh Tak Pernah Salah

Part 370 ~ Memaafkan Zico



Part 370 ~ Memaafkan Zico

Dokter Anwar merasa tak enak, dugaannya salah. Ternyata Dian bukan istri Zico. Dokter Anwar menyangka Zico dan Dian rujuk.     

"Maafkan saya Pak Zico jika salah menduga," ucap Dokter Anwar dengan nada menyesal.     

"Tidak apa-apa dokter, saya maklum."     

"Melihat perhatian Ibu Dian selama tiga bulan ini kepada Bapak dan Ibu Lona membuat saya menyimpulkan jika Bapak dengan ibu Dian sudah rujuk." Dokter Anwar memberikan klarifikasi.     

"Aku dan Dian tidak pernah menikah," jawab Zico mengagetkan dokter Anwar.     

"Apa? Tidak pernah menikah?" Kening dokter Anwar berkerut. Jika mereka tidak menikah tetapi mengapa mereka punya anak?     

"Kami. Aku melakukan kesalahan di masa lalu pada Dian sehingga dia melahirkan Alvin." Zico menjelaskan.     

"Saya malah melihat Ibu Dian dan Alvin seperti adik-kakak, bukan ibu dan anak. Ibu Dian terlalu muda untuk menjadi seorang ibu dari anak seusia Alvin."     

"Baiklah dokter Anwar. Terima kasih atas penjelasannya. Aku mau dokter Dodi segera datang untuk memeriksaku."     

"Baik Pak. Saya akan menghubungi dokter Dodi untuk segera mendatangi Bapak."     

"Apa yang terjadi padaku tolong dirahasiakan. Jangan sampai ada yang tahu. Aku tidak ingin dinding sampai mengetahui apa yang kita bicarakan pada hari ini. Dokter Anwar pasti paham jika kejantanan sangat berarti bagi seorang lelaki. Harga diri pria di pertaruhkan disana. Aku harap dokter Anwar bisa menutup mulut." Zico memberi peringatan. Seperti biasa sikap arogannya kembali muncul.     

"saya akan menutup rapat mulut saya. Tana Bapak minta pun saya akan menutup mulut. Saya pun laki-laki dan mengerti apa yang Bapak rasakan."     

"Baguslah jika begitu. Anda boleh pergi."     

"Semoga hari Bapak menyenangkan." Dokter Anwar pamit undur diri.     

Setelah Dokter Anwar pergi Dian dan Alvin datang ke dalam kamar. Alvin tersenyum sumringah menatap sang ayah. Dia memeluk Zico dengan erat seolah tak mau melepaskannya.     

"Papi. Syukurlah papi sadar. Aku bahagia," cebik Alvin menangis.     

���Kamu memanggilku papi?" Zico terharu. Selama ini Alvin lebih nyaman memanggilnya om. Zico terenyuh Alvin memanggilnya papi.     

"Iya papi." Alvin mempertegas panggilannya. "Jangan sakit lagi ya pi."     

"Sudahlah tidak perlu menangis. Papi baik-baik saja. Papi bahagia kamu selalu berada disisi papi." Zico menghapus air mata Alvin.     

"Anak laki enggak boleh cengeng."     

"Kenapa papi tahu jika aku selalu berada di sisi papi?"     

"Walau pun koma papi bisa mendengarkan ucapan dan doa-doa kamu. Terima kasih nak telah memberikan papi cinta tanpa batas."     

"Sudah seharusnya pi. Aku kan anaknya papi."     

"Terima kasih telah memanggil papi bukan Om lagi. Benar-benar terharu." Zico menangis bahagia, tak menyangka Alvin menyayanginya. Ada kesejukan di dalam hatinya ketika mendengar Alvin memanggilnya papi .     

"Kenapa papi meminta kami tadi keluar?" Tanya Alvin kepo.     

"Ada pembicaraan yang tidak diboleh dengar oleh anak kecil seperti Alvin, makanya papi minta kalian keluar."     

"Papi mau makan? Mami bawa makanan untuk kita." Alvin menawari makan.     

"Tidak terima kasih. Papi tunggu instruksi dokter dulu. Makanan apa yang akan diberikan. Papi tidak lapar, kamu makan saja Vin." Zico mengelus kepala Alvin.     

"Alvin keluar dulu ya pi. Alvin tidak bisa makan tanpa kerupuk. Mau ke kantin dulu."     

"Pergilah." Zico tersenyum manis.     

Setelah Alvin pergi Dian dan Zico merasa canggung. Tak ada yang memulai pembicaraan. Mereka saling menatap satu sama lain. Dian tidak tahu bagaimana mengawali pembicaraan sehingga memilih bungkam.     

"Terima kasih," ucap Zico tulus.     

"Terima kasih buat apa?" Dian menimpali.     

"Terima kasih telah menyelamatkanku malam itu."     

"Enggak perlu berterima kasih. Gue melakukannya demi Alvin. Asal lo tahu gue ingin membunuh lo malam itu, namun G menggagalkan rencana gue."     

"Sepertinya G sangat mencintai kamu."     

"Petaka dia cinta sama gue. Dia terlalu memaksakan cintanya. Sekarang cinta itu menjadi bumerang untuknya."     

"Dimana pria itu sekarang?"     

"Mami lo dan Jimmy sudah mengurusnya. G dideportasi dan tak bisa lagi berkunjung ke Indonesia. Ternyata mami lo menyeramkan juga."     

Zico tertawa terbahak-bahak.     

"Apa ada yang lucu?" Tanya Dian keheranan.     

"Sifatku turunan dari mami. Dimana mami sekarang?"     

"Beliau ada di rumah. Tunggu gue kabarin dulu tante Lona jika lo udah siuman."     

Dian mengambil smartphone lalu menghubungi Lona. Wanita itu melonjak kesenangan mendengar kabar Zico sudah siuman.     

"Sepertinya hubungan lo baik sama mami gue selama tiga bulan ini."     

"Kenapa? Lo nggak suka?" Dian bertopang dagu.     

"Bukan. Kamu jangan salah sangka." Zico menggeleng.     

"Lalu kenapa?"     

"Gue melakukannya hanya demi Alvin. Kenapa malam itu gue menyelamatkan lo karena Alvin. Dia tidak akan mengakui gue sebagai ibunya jika gue nggak bisa nemuin dan selamatin lo. Dibenci anak sendiri pukulan bagi gue. Seorang ibu akan terluka jika anaknya tidak mengakui keberadaannya. Gue nggak ingin ditolak oleh anak sendiri. Makanya gue nggak mau egois, walaupun gue benci sama lo. Alvin yang paling terluka disini. Ketika lo komo dia bahkan mengigau. Dalam igauannya dia bilang akan menyusul jika lo pergi ninggalin dunia ini. Ibu mana yang sanggup mendengar ucapan itu keluar dari mulut anaknya? Gue bukanlah wanita yang tidak punya hati dan perasaan, apalagi sama anak gue sendiri. Alvin bener, gue hidup memendam rasa dendam dan memupuknya hingga subur, sehingga gue merasakan hidup dalam beban dan mencium bau busuk. Dendam membuat hidup gue nggak bahagia. Gue tidak menikmati hidup gue selama lima belas tahun belakangan ini."     

"Terima kasih Allah telah membuka hatimu untuk memaafkanku. Aku tahu telah menzolimi kamu."     

"Tidak perlu diingat lagi. Semuanya sudah berlalu. Kita impas. Lo sudah mendapatkan balasan atas perbuatan lo di masa lalu. Anggap saja malam itu malam penebusan dosa lo sama gue dan Bara."     

"Maksudnya?" Zico keheranan dengan ucapan Dian. Tak mengerti apa yang dibicarakan Dian.     

"Malam itu gue menyaksikan G menganiaya lo seperti napi pemerkosaan."     

Bug...…     

Jantung Zico berdetak dengan kencang. Ada bola api yang dilempar padanya. Ada rasa malu dan miris menghinggapi Zico.     

"Gue tidak melihat semuanya." Dian berbohong agar Zico tak merasa malu.     

"Melihat detik-detik terakhir lo ditusuk sama G. Gue mau selamatin lo kala itu namunJimmy mencegahnya. Jika kami datang menyerang G maka nyawa lo enggak bakal terselamatkan. Lo akan kehilangan banyak darah, makanya gue melihat saja. Ketika dia telah membuang lo ke laut baru gue tolong."     

"Jadi yang kasih napas buatan kamu?"     

"Begitulah. Lo jangan GR gue cium. Gue melakukannya untuk menyelamatkan lo. Lo banyak meminum air laut."     

Zico tergelak tawa, tak bermaksud ke arah sana namun Dian malah membahasnya.     

"Semoga lo cepat sehat. Jangan GR. Gue jaga lo selama tiga bulan ini hanya demi Alvin. Dia bahagia jika gue memaafkan lo."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.