Jodoh Tak Pernah Salah

Part 373 ~ Bara Menjodohkan Dian



Part 373 ~ Bara Menjodohkan Dian

"Terima kasih Bara. Terima kasih atas maafnya." Zico menangis terharu.     

"Alvin pernah bilang sama gue. Hadits Rasulullah. Barang siapa memaafkan saat dia mampu membalas, maka Allah SWT memberinya maaf pada hari kesulitan. Hadist lain, Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan 'manakah orang orang yang suka mengampuni dosa sesama manusia ? Datanglah kamu kepada Tuhanmu dan terimalah pahala pahalamu'. Dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk syurga."     

Zico menangis tersedu-sedu, bahagia, dan bangga karena memiliki anak yang tampan dan sholeh seperti Alvin. Andaikan anaknya tidak pernah lahir ke dunia ini, belum tentu Zico mendapatkan maaf dari Bara dan Dian. Alvin bahkan mampu mengetuk hati Bara dan mengajarkan ilmu agama pada sang om.     

"Kenapa lo menangis?" Bara heran dengan reaksi Zico.     

"Gue malu sama diri gue sendiri. Untuk Alvin gue tidak pernah menyesal telah memperkosa ibunya. Gue mendapatkan anak soleh yang akan menuntun gue nanti di surga. Gue beruntung punya anak seperti Alvin. Bajingan seperti gue diberi anugerah memiliki anak sholeh."     

"Sejak kecil dia sudah dapat ilmu agama yang bagus dari kakek dan neneknya. Dian memasukkan dia sekolah di pesantren sejak SD. Apalagi sejak kenal Fatih. Ilmu agama dia semakin bagus."     

"Jebolan Al-Azhar enggak kaleng-kaleng. Makanya gue senang Alvin berguru sama Fatih. Dia memenangkan dan menyejukkan."     

"Bolehkah gue bertanya sesuatu?"     

Zico memicingkan mata. Penasaran apa yang ditanyakan Bara.     

"Lo dan Egi tidak punya hubungan bukan?"     

Pecahlah tawa Zico mendengar pertanyaan Bara.     

"Apa ada yang lucu?" Bara mendelik.     

"Gue dan Egi enggak punya hubungan apa-apa. Kami hanya sahabatan. Lagian gue normal kok."     

"Gue hanya memastikan sesuatu karena lo dulu...."     

"Gue normal Bar." Zico memotong ucapan Bara.     

"Gue lakuin itu ke lo dibawah pengaruh narkoba. Gue mengalami gangguan emosi kala itu. Gue marah dan kecewa karena lo penyebab kematian Sisil. Dia adik kesayangan gue Bar, makanya gue frustasi dan merasa kehilangan ketika dia meninggal. Gue benar-benar terpukul dan nggak mau hidup lagi. Gue datang ke kamar dia malam itu, tanpa sengaja membuka laci nakas dan gue nemuin buku diari Sisil. Dia menceritakannya dengan detail disana. Kenapa dia bunuh diri. Dia menuliskannya dengan deraian air mata. Gue tahu karena di kertas itu air mata Sisil yang sudah mengering. Dia terluka, malu dan kecewa. Lo yang bikin dia merasa berada di titik terendah hidupnya. Karena dendam gue rencanain penculikan lo. Gue selama ini sering bolak-balik psikiater karena gangguan emosi. Gue bisa bertindak di luar batas ketika itu karena gangguan emosi. Gampang meledak-ledak."     

Bara paham dan mengerti apa yang Zico rasakan. Dia juga mengakui kesalahannya telah mempermainkan dan mempermalukan Sisil.     

"Untuk Sisil gue minta maaf. Gue terlalu nakal waktu itu. Niat hanya bercanda, enggak nyangka efeknya bakal parah."     

"Bar, kita saling memaafkan saja. Maaf telah menghancurkan masa depan lo. Maaf karena gue yang bikin lo jadi bengkok. Untuk Dian gue juga minta maaf telah melibatkan dia sebagai pelampiasan dendam hingga lo merasa bersalah seumur hidup."     

"Gue senang lo sudah menyadari kesalahan lo. Untuk Dian apa yang akan lo lakukan?"     

"Maksudnya?" Zico mengernyitkan keningnya.     

"Apa lo enggak niat nikahin dia buat tanggung jawab?"     

Zico terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Bara. Pria itu bahkan memukul dadanya karena tersedak.     

"Kenapa reaksi lo lebay banget?" Bara membulatkan mata.     

"Mana mungkin gue nikahin Dian? Dia pasti tidak mau. Lagian gue enggak mau menyakiti dia."     

"Menyakiti dia? Maksudnya."     

"Malam itu alat vital gue mengalami penganiayaan. G memberi balsem bahkan menarik, menendang dan menyentilnya. Gue takut dia enggak berfungsi dengan baik."     

"Maksud lo? Gue enggak ngerti." Bara geleng-geleng kepala.     

"Gue takut impoten karena kejadian itu. Enggak mungkin gue dan Dian nikah sementara gue enggak bisa melakukan kewajiban sebagai suami. Memberi nafkah batin."     

"Oh...." Bara menahan tawa. "Bisa lo cek sama dokter. Cara cek awal, nonton aja film porno. Kalo lo bangun berarti lo enggak impoten."     

"Ya Tuhan kenapa enggak kepikiran sama gue?" Zico tepuk jidat.     

"Satu masalah sudah selesai. Lo harus bertanggung jawab sama Dian. Kalian harus menikah demi Alvin."     

"Menikah?"     

"Lo harus menikahi Dian karena lo udah membuat dia menjadi seorang ibu. Gue ngomong ke lo sebagai seorang kakak."     

"Bar, jika menikah. Gue mau nikah sama Dian, tapi gue maunya berjalan normal. Dian menikah sama gue karena dia mencintai gue bukan karena tanggung jawab."     

"Jika itu yang lo mau. Mulai sekarang lo harus berusaha ambil hati Dian. Dia memang keras seperti batu, tapi sekeras apa pun batu akan pecah jika sering kena air. Begitu juga dengan hati Dian."     

"Gua ngerti dan usaha untuk meluluhkan hati Dian, tapi Bar please. Lo jangan paksa Dian nikah sama gue." Zico mengajukan persyaratan.     

"Gue tidak ingin gagal menikah dua kali. Cukup sekali gue gagal menikah. Gue ingin pernikahan gue sama Dian menjadi pernikahan terakhir buat gue. Hanya maut yang memisahkan bukan perceraian."     

"Jika itu syarat lo. Gue setuju. Mengingat lo langsung setuju gue minta bertanggung jawab. Apakah lo mencintai Dian?"     

"Sekarang belum tapi ke depannya pasti gue jatuh cinta jika kami sering bersama. Bukankah cinta itu datang karena terbiasa?"     

Bara tergelak tawa, "Lo benar. Sama cinta gue sama Dila. Cinta itu ada karena terbiasa. Gue dulu sempat enggak mau dan ogah menikah sama Dila. Sekarang gue malah bucin banget sama dia."     

"Semoga lo bahagia dan diberikan momongan secepatnya." Zico mendoakan dengan tulus.     

"Amin. Gue keluar dulu mau manggil mereka."     

Bara berjalan menuju pintu keluar. Memanggil mereka berempat untuk masuk ke dalam kamar perawatan Zico.     

"Kalian ngomongin apa sih? Kok lama?" Dian diliputi rasa penasaran.     

"Ceritanya saling memaafkan dan urusan laki-laki." Bara tersenyum misterius.     

"Oh gitu." Dian ber-oh ria.     

"Gimana keadaannya Pak? Apa ada yang serius?" Dila bertanya pada Zico.     

"Alhamdulilah baik."     

"Kalian udah tahu belum jika Fatih mau nikah sama Naima." Dila buka suara.     

"Tadi Fatih ke kantor aku kasih undangan." Dila membuka tas dan memperlihatkan undangan Fatih.     

"Serius Dil. Akhirnya kak Fatih terima cintanya Naima. Kasian dong si Cyra gadis Mesir itu," celetuk Dian.     

"Kok kamu tahu sih?" Bara penasaran.     

"Soalnya Naima dulu sempat salah paham sama aku. Ngira aku pacarnya kak Fatih," kata Dian bersemangat.     

"Cyra juga." Dian menambahkan.     

"Kok kamu tahu banget Dian?" Dila jadi penasaran dengan kedekatan Fatih dan Dian.     

"Aku dekat sama kak Fatih gara-gara Alvin dan dia juga bantu cariin psikiater buat aku. Penggemar kak Fatih banyak lo Dil."     

"Kamu enggak patah hati gitu? Fatih nikah secara kalian dekat?" Bara memancing Dian. Pria itu tersenyum misterius pada Zico.     

"Aku sadar diri juga bos. Cowok kayak Fatih itu carinya yang sama ma dia. Wanita sholehah dan ilmu agamanya juga bagus. Mimpi kali aku suka ma kak Fatih."     

Bara tersenyum sumringah menatap Zico. Mengacungkan jempol isyarat memberikan semangat untuk Zico memperjuangkan cintanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.