Jodoh Tak Pernah Salah

Part 296 ~ Itu Bukan Cinta Tapi Obsesi



Part 296 ~ Itu Bukan Cinta Tapi Obsesi

"Terserah padamu Dian mau percaya apa tidak. Apa pun ucapanku sekarang kamu tidak akan mempercayainya." G pasrah dengan keadaan. G juga bingung, ada apa dengannya? Berhadapan dengan Dian membuatnya lemah, jiwa bengisnya mendadak hilang.     

Dian kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan G. Melihat kejujuran di mata G membuatnya muak. Kenapa bisa seperti ini?     

"Kenapa kau bisa jatuh cinta padaku?" Dian penasaran bagaimana G bisa bucin dengannya.     

"Aku melihatmu waktu di bandara. Kalian pulang ke Indonesia waktu itu dan aku baru datang di Australia. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Apa kau percaya?" G malah tertawa meledek dirinya sendiri.     

"Bullshit," cebik Dian masih tak percaya ucapannya G walau ia tahu tak ada kebohongan disana.     

"Aku sudah tebak jika kamu tidak akan percaya dengan ucapanku."     

"Aku tidak ingin bekerja sama denganmu. Aku ingin membatalkan kerja sama kita," ucap Bara pada akhirnya.     

"Tidak mungkin kau bisa membatalkannya Bara. Dalam kontrak sudah dijelaskan salah satu pihak tidak bisa membatalkan kontrak. Kalau pun ingin membatalkan, pihak yang membatalkan harus memberikan ganti rugi lima kali lipat dari nilai kontrak. Aku sudah invest satu juta dollar. Jika kau ingin membatalkannya silakan bayar kerugian 5 juta dollar.     

"Bajingan kau." Bara berteriak frustasi. Ia menendang kaki G hingga pria itu terjatuh ke lantai.     

Mike menggeram keras melihat atasannya dianiaya. Mike ingin membantu tapi totokan pada tubuhnya membuatnya tak berdaya. Tubuhnya mati rasa dan tak bisa digerakkan. Mike menatap tajam pada Dian dan mengumpat wanita itu. Tak menyangka jika wanita yang berhasil meluluhkan hati seorang G adalah wanita yang berbahaya.     

"Bos kita bisa memutuskan kerja sama dengan bajingan ini. Jika kita batalkan resiko kita sangat besar. Perusahaan kita bisa bangkrut membayar pinalti lima juta dollar." Dian mengingatkan Bara agar tidak gegabah mengambil keputusan.     

"Lalu aku harus bagaimana?" Bara meminta solusi.     

"Bos percaya padaku?" Dian menunjuk dirinya sendiri.     

"Tentu saja aku percaya padamu Dian. Jika tidak, mana mungkin aku menjadikan kamu tangan kananku."     

Dian tersenyum manis pada Bara namun berwajah bengis ketika menatap G. Dian melepaskan totokan G. Dian menguji apakah G benar-benar mencintainya. Jika G benar-benar mencintainya pasti laki-laki itu tidak akan menyakitinya, tapi jika sebaliknya Dian akan membunuh laki-laki itu saat ini juga.     

G mengambil napas dan meregangkan tubuhnya yang kaku akibat totokan Dian. Dia berjalan ke arah kulkas dan mengambil minum. Dia sangat haus dan kehilangan tenaga.     

"Kenapa kau diam saja? Aku sudah melepaskanmu. Kenapa tidak balik menghajar kami?" Dian memprovokasi.     

G tersenyum manis seraya menghabiskan minumannya.     

"Aku tidak akan menyakiti kamu. Kau hanya salah paham padaku Dian. Aku akui jika aku pria yang bengis, tapi aku tidak akan menyakiti wanita yang aku cintai," ucap G tanpa tahu malu.     

"Drama apa yang sedang kau mainkan G?" Bara muak melihat sikap G. Menggunakan cinta untuk balas dendam.     

G mengangkat kedua tangan dan bahunya. "Aku tidak memainkan drama apa pun. Aku bukanlah seorang drama queen." G berjalan ke arah sofa dan duduk.     

"Mari duduk dan kita bicara. Lepaskan dulu totokan Mike. Aku menjamin dia tidak akan melukai kalian. Ayo sayang lepaskan totokan Mike," ujarnya tersenyum manis melihat Dian.     

Dian memutar matanya malas dan eneg melihat sikap sok manis G. Seenaknya saja memanggilnya sayang. Dian tak sudi jika dipanggil seperti itu.     

Dian melepaskan totokan Mike. Pria berbadan besar itu segera bangkit dan hendak menghajar Dian namun isyarat dari G tidak boleh sehingga Mike tak jadi melakukannya.     

"Duduklah Bara dan sayangku Dian." G melambaikan tangan seolah tak terjadi apa-apa.     

"Jangan panggil aku sayang." Dian memprotes tak suka dengan panggilan G. Pria itu tidak tahu malu dan menyebalkan.     

Mereka berdua segera duduk. Menatap tajam pada G seolah ingin memakannya.     

"Apa tujuan lo menculik istri gue." Bara tak mau berbasa-basi.     

"Gue tidak menculik istri lo. Samir yang meminta bantuan sama gue. Sebagai seorang kakak gue tentu memberikan fasilitas, mana gue tahu jika dia akan culik istri lo dan menggunakannya sebagai pion untuk menekan Egi."     

"Lo memang tidak tahu malu." Bara mendelik kesal. Jangan tanyakan betapa kesal dan muaknya Bara melihat sikap G seolah tak terjadi apa-apa. Nyawa Dila bahkan dalam bahaya waktu itu.     

"Dari dulu gue memang tidak tahu malu Bara. Gue pebisnis kelas dunia. Orang-orang menyanjung gue bahkan berada di bawah kaki gue. Masalah Samir tidak mungkin gue ikut campur. Dia sudah dewasa dan bisa berpikir sendiri mana yang baik dan mana yang benar."     

"Bahkan lo membiarkan dia menjadi seorang gay." Cebik Bara kesal. Jika tidak posisinya sekarang mungkin Bara sudah memecahkan kepala G. Jika Dila tahu dia kembali berkelakuan buruk maka Bara harus siap ditinggalkan. Bara sangat mencintai istrinya sehingga tak mau mengecewakannya.     

G melambaikan tangannya ke udara sesekali melirik Dian dan menggodanya. Dian berekspresi jijik ketika G melakukannya.     

"Bara di negara kalian memang kehadiran kaum gay ditolak. Tapi diluar negeri kaum gay sudah mendapatkan pengakuan dan mendapatkan perlakuan yang sama. Bagi gue gay bukan penyimpangan tapi masalah selera."     

"Mulutmu benar-benar kotor G. Kau sama menjijikkannya dengan Samir. Jika aku tahu Samir akan menculik Dila, mungkin ketika aku menghajar Egi harusnya aku juga mematahkan tulang dan kakinya." Dian angkat bicara mengeluarkan uneg-uneg di dadanya.     

"Jangan terlalu bengis sayang. Namun kebengisanmu semakin membuat aku jatuh cinta. Dian kamu benar-benar mengagumkan dan semakin membuatku bertekuk lutut."     

"Jangan pernah merayuku G. Aku tidak akan termakan rayuan gombalmu. Sampai kapan pun orang seperti kamu tidak akan pernah dapat tempat di hatiku. Yang kau rasakan padaku bukan cinta tapi obsesi."     

"Tidak sama sekali." G geleng-geleng kepala. "Jika aku hanya terobsesi lebih baik aku menculikmu dan menyekapmu di salah satu mansionku."     

"Kau." Dian bangkit ingin menghajar G namun ditahan Bara.     

Bara menggelengkan kepala. Dian terpaksa mengurungkan niatnya dan kembali duduk.     

"Aku ingin mendapatkan kamu secara normal. Perasaan yang benar-benar tulus dan dari hati. Kamu wanita pertama yang bisa meluluk lantakkan perasaanku."     

"Apa sudah cukup pernyataan cintamu?" Bara bangkit diikuti oleh Dian.     

"Jika lo pergi dari sini gue ingin bicara empat mata dengan Dian."     

"Aku tidak mau dan jangan bermimpi." Tolak Dian membuang muka.     

"Sayang harusnya kamu berterima kasih padaku." G mendekati Dian dan mencium tangannya.     

Dian tak suka dengan perlakuan G. Ia memelintir tangan G ke punggung.     

"Jangan terlalu jahat padaku sayang. Jangan terlalu benci. Cinta dan benci itu beda tipis. Nanti kau bisa jatuh cinta padaku."     

"Dalam mimpimu G. Apa maksudnya aku harus berterima kasih padamu? Cepat katakan!"     

G terbatuk-batuk seraya mentertawai Dian. "Jangan terburu-buru. Slow sayang."     

"Jangan memancing amarahku G. Aku sangat marah padamu."     

"Aku tidak akan marah padamu. Aku sudah sangat bucin denganmu Dian. Apa sih keistimewaanmu hingga aku tergila-gila padamu?"     

"Hentikan omong kosongmu!" Dian geram lalu mendorong tubuh G hingga terduduk di sofa.     

"Kau bebas melakukan apa pun padaku sayang. Aku pasrah bahkan jika kau menciumku."     

"Menjijikkan." Dian membuang ludah.     

"Jangan bertele-tele G. Jelaskan maksud lo kenapa Dian harus berterima kasih pada lo."     

"Baiklah." G merapikan rambutnya yang acak-acakan.     

"Aku telah menyembunyikan anakmu dari laki-laki bajingan yang telah memperkosamu dulu."     

"Apa?" Bara dan Dian shock.     

"Zico sudah kembali ke Indonesia. Dia bahkan menyelidikimu. Untung aku tahu cepat sehingga Zico tidak tahu jika kalian punya anak. Satu fakta lagi yang harus kalian tahu. Zico adalah pemilik baru rumah sakit Harapan. Dia mendapatkan rumah sakit itu karena pemilik lama kalah berjudi dengannya di Macau dan menjadikan rumah sakit sebagai taruhannya. Aku yakin kalian pasti tidak tahu Zico tinggal di Padang akhir-akhir ini."     

Dian dan Bara shock tak percaya dengan informasi yang baru saja di dapatnya.     

"Jangan sombong G. Aku pernah melihatnya," ucap Dian keceplosan.     

"Kamu lihat dimana? Kenapa tidak memberi tahuku?" Bara agak kesal dengan Dian.     

"Waktu pemakamam mama bos. Aku dan Alvin melihatnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.