Jodoh Tak Pernah Salah

Part 290 ~ Menemui Anakku



Part 290 ~ Menemui Anakku

Sialnya ketika orang-orangku menculik Bara, seorang gadis remaja berteriak meminta tolong. Aku takut ketahuan dan aku memerintahkan orang suruhanku untuk menculiknya.     

Aku melihat kasih sayang Bara pada Dian. Kasih sayangnya sama seperti aku menyayangi Sisil. Aku gelap mata, menggunakan Dian sebagai alat balas dendam. Aku memperkosanya dengan sadar bahkan aku menikmatinya. Tubuhnya mengundang nafsu birahiku untuk terus menggagahinya, walau gadis itu merintih kesakitan.     

Puncaknya aku memakai narkoba dan berhalusinasi. Aku juga memperkosa Bara hingga dia berdarah-darah. Setelah kejadian itu aku mengutuk diriku sendiri kenapa bisa memperkosa Bara. Dendam dan pengaruh narkoba membuatku gelap mata dan bertindak seperti binatang. Bukan aku lebih buruk dari binatang. Binatang jantan tidak menggagahi binatang jantan.     

"Zico, apa kamu mendengar mami?" Mami menguncang tubuhku. Aku melamum memikirkan masa laluku yang begitu kelam.     

"Aku dengar," jawabku dingin.     

"Kenapa dari tadi kamu melamun?"     

"Aku teringat dosaku di masa lalu."     

Wajah mami pias mendengar ucapanku dan bibirnya gemetar. Beliau juga ikut bersalah karena telah melindungiku. Mami telah mendapatkan hukuman dari kesalahannya. Rumah tangganya berantakan dan pernikahannya berujung pada perceraian.     

Hukuman dunia telah aku jalani. Aku merasa bersalah telah melakukan semuanya pada Dian dan Bara. Mereka melaporkan kejadian ini ke polisi. Lagi-lagi uang dan koneksi berkuasa. Aku bebas dari tuntutan dan mengkambing hitamkan para anak buahku. Mereka dipenjara tapi kedua orang tuaku memberikan mereka jaminan akan menanggung biaya hidup keluarga mereka.     

Sampai sekarang aku masih menanggung biaya hidup keluarga para anak buahku. Mereka rela di penjara asal aku menyanggupi permintaan mereka. Aku pun menyanggupinya karena pengorbanan mereka sangat besar. Kebebasan mereka direnggut dan tidak setimpal dengan uang yang aku berikan. Seharusnya aku juga di penjara sama seperti mereka, karena akulah otak dari penculikan dan pemerkosaan itu.     

"Zico semuanya sudah berlalu. Jangan kamu ingat lagi. Dian telah bangkit dan menjadi wanita hebat. Dia telah sembuh dari lukanya. Ingatlah hanya Alvin keturunan kita. Hanya dia," ucap mami mengiba.     

"Aidan juga keturunan mi," balasku lirih.     

"Dia bukan keturunan kita. Dia hanya anak adopsi." Mami menolak keras. Sampai sekarang beliau belum bisa terima Aidan sebagai cucunya. Aidan adalah anak yang di adopsi oleh Siska, adikku.     

"Terserah mami." Aku malas berdebat dengan mami yang ujung-ujung berbuah pertengkaran. Mami akan menghancurkan barang-barang yang ada di rumah ketika kami bertengkar. Sudah ratusan bahkan ribuan kali para pelayan membersihkan sisa pertengkaran kami.     

Mamiku sangat brutal ketika marah. Beliau akan melempar dan membuang apa saja ke lantai. Cara mami melampiaskan kemarahannya dengan menghancurkan barang-barang. Sikap emosionalku turunan dari mami namun, aku telah bisa mengontrolnya berkat hipnoterapi yang aku lakukan. Sedikit demi sedikit sikap burukku bisa dikontrol.     

"Kapan kita menemui Alvin? Mami kangen padanya. Walau baru bertemu sekali namun kasih sayang mami padanya telah dalam. Mami tidak ingin berpisah dari dia."     

"Mami jangan ngaco." Aku membentak mami agar tidak melakukan perbuatan konyol. Cari masalah jika mami datang dan mengaku sebagai neneknya.     

"Mami tidak ngaco Zico. Jika kamu tidak mau melihat Alvin ya sudah. Biar mami pergi sendiri." Mami pergi menuju kamarnya.     

"Mau kemana?" Langkah mami tertahan ketika aku bertanya.     

"Mami mau siap-siap pergi ke Bandung menemui cucu mami."     

"Jangan gila mi."     

"Mami tidak gila. Mami bisa berakting dengan baik. Mami akan berpura-pura memberikan bantuan pada pesantren dan meminta pemilik pesantren membawa Alvin pada mami." Mami tersenyum kecut.     

"Mami sampai segitunya ingin memiliki cucu?"     

"Setidaknya cucuku bisa menghilangkan sepiku karena sendirian."     

"Aku akan tinggal bersama mami asal jangan menemui Alvin."     

"Hubungan kita tidak sebaik itu Zi. Jika kamu dan mami tinggal di rumah ini yang ada barang-barang di rumah ini akan habis tak bersisa. Mami bisa memecahkan semua setiap kali bertengkar dengan kamu."     

"Aku tidak seburuk itu mami."     

Mami membuang muka dan mengabaikan ucapanku. Mami tak mematuhi laranganku. Wanita yang telah melahirkanku tetap nekat pergi ke Bandung menemui anakku. Ya Alvin, anakku. Putraku sangat tampan sama sepertiku. Aku bersyukur Dian menyekolahkannya di pesantren agar kelakuan Alvin tidak bejat seperti aku.     

Aku terpaksa mengikuti mami ke Bandung. Aku tidak mau mami bertindak gegabah untuk mendekati Alvin. Aku melakukan penyamaran agar Alvin tidak mengenaliku. Aku memasang brewok di sekitar wajahku dan menggunakan kacamata hitam. Sangat berbahaya jika Alvin tahu siapa aku. Aku juga penasaran dengan anakku. Seperti apakah dia?     

Sebelum kami berangkat ke pesantren kami membelikan buku, sajadah, mukena dan buku hadist. Kami datang kesana dengan alasan memberikan wakaf.     

Jantungku berdetak dengan kencang. Deg...…Deg…..Deg….     

Mobil yang kami tumpangi telah sampai di gerbang masuk Pesantren Al Jadid. Tanganku gemetar dan dingin. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pertemuanku dengan Alvin nanti.     

Pemilik pesantren, Kyai Saleh dan Nyai Saleh sudah dikontak mami terlebih dahulu. Beliau dan istrinya bahkan sudah menunggu kedatangan kami. Saat kami turun mobil, Nyai Saleh memeluk mami. Mereka saling menanyakan kabar. Aku menyalami Kyai Saleh dan memperkenalkan diri.     

"Terima kasih Ibu Lona sudah mau datang kesini. Kami sangat senang Ibu datang kesini," ucap Nyai Saleh. Nyai adalah panggilan untuk istri Kyai.     

Mami berusaha memasang wajah bak malaikat dan menebar senyuman pada semua orang.     

"Anak pesantren mana Nyai?" Mami bertanya pada Nyai Saleh.     

"Ada apa Ibu Lona?"     

"Kami membawa wakaf untuk pesantren. Ke depannya kami akan memberikan wakaf untuk pesantren ini. Semoga pendidikan di pesantren ini semakin maju dan berkualitas."     

"Amin." Kyai Saleh mengamini ucapan mami.     

" Zico, anak saya yang ingin berwakaf pada pesantren ini." Mami melirikku tajam.     

"Terima kasih Pak Zico atas wakafnya. Semoga jadi amal jahiriyah," ucap Kyai Saleh.     

Mami sangat pintar berbasa-basi. Banyak orang yang tertipu dengan sikap manis mami. Andai mereka tahu jika mami tak semanis itu.     

Kyai Saleh meminta anak-anak pesantren untuk membantuku mengeluarkan buku, sajadah, mukena dan buku hadist. Jantungku berdetak dengan cepat ketika melihat Alvin datang padaku.     

Ya Tuhan dia sangat mirip denganku. Wajahnya, cara berjalan dan senyumannya semua milikku. Anak itu tak ada kemiripan dengan Dian sedikit pun. Pertahananku roboh. Aku berderai air mata.     

Senyuman Alvin mengalihkan duniaku bahkan aku tak sadar jika dia telah ada di depanku. Kyai meminta dia membantuku mengangkat barang bawaanku.     

"Om yang mana perlu diangkat?" Tanya Alvin tersenyum manis.     

Dugggg...duggg….Darahku berdesir. Untuk pertama kalinya, setelah lima belas tahun aku melihat putraku. Andai saja aku bisa memeluk dan menciumnya aku akan sangat bahagia.     

"Om yang mana perlu dibawa ke dalam?" Alvin bertanya sekali lagi padaku.     

"Ini," ucapku salah tingkah memberikan satu dus berisikan buku Hadist. Alvin menerimanya dengan senang hati. Senyumannya sangat manis dan membuatku tersentuh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.