Jodoh Tak Pernah Salah

Part 291 ~ Anak Pintar



Part 291 ~ Anak Pintar

Kami telah selesai mengangkat barang-barang dari mobilku. Waktu shalat Zuhur sudah masuk. Kami ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Hatiku merasa tentram dan damai berada disini. Suara muazin menggetarkan hatiku. Sudah lama aku tidak pernah bersujud. Aku telah jauh dari Tuhan dan terlalu sibuk dengan dunia.     

Aku merasa bangga dan kagum ketika tahu yang mengumandangkan azan adalah anakku. Alvin terlihat gagah dan berwibawa. Aku melihat sosokku dalam karakter yang berbeda. Keluargaku tidak pernah mengajarkan kami dengan agama yang kuat. Sibuk dengan kesibukan masing-masing.     

Terima kasih Dian. Kamu telah membesarkan anak kita dengan baik. Kamu arahkan dia ke tempat yang baik agar dia tidak meniru sifat bajinganku. Aku terharu dan terkesan. Anak-anak pesantren dan para guru melihat ke arahku. Pasti mereka bertanya-tanya kenapa aku menangis.     

Aku menangis bukan karena sedih tapi karena terharu melihat putraku. Andai aku bisa berteriak dan mengatakan jika Alvin adalah anakku. Tentu kalian mengerti kenapa aku menangis sekarang.     

Aku mengambil posisi sholat di dekat Alvin. Aku ingin lebih dekat dengannya. Aku ingin jauh darinya tapi naluriku mengatakan tidak. Ternyata aku sama dengan mami. Kami sama-sama ingin dekat dengan Alvin.     

Andai boleh dan tidak menimbulkan kecurigaan, ingin kupeluk dan kubelai rambut Alvin. Anak itu sangat berkharisma dan sangat berbeda denganku. Dia sangat santun dan membuat aku terharu. Andai Alvin besar dalam keluargaku belum tentu dia akan jadi anak soleh.     

Aku sholat dengan begitu khusyuk. Dalam sholat aku berdoa agar Tuhan melunakkan hati Dian agar memaafkanku dan membolehkan aku dekat dengan Alvin. Aku tidak akan kabur dan pasrah jika Dian akan balas dendam padaku. Aku memang pantas mendapatkannya.     

Seusai sholat Zuhur Kyai dan Nyai Saleh menjamu kami makan siang. Menu sederhana namun sangat nikmat, pecel lele dan lalapan. Aku meminta Alvin makan di dekatku. Aku bilang saja kagum padanya karena suaranya sangat merdu ketika azan. Mami juga tak kalah antusiasnya melihat Alvin. Cuma mami tak bisa sedekat itu karena makan di dekat Nyai Saleh.     

"Suara azanmu sangat bagus nak. Sejak kapan kamu berlatih?" Aku basa-basi bertanya pada Alvin.     

"Aku pesantren sejak SD om," jawabnya sembari makan. Aku lihat anakku sangat ceria dan makan dengan lahap.     

Empat belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Usiaku dua puluh lima tahun ketika memperkosa ibunya. Aku tidak mengetahui perkembangannya dari bayi hingga sekarang.     

Aku mendengar suara handphone berdering, tapi aku bingung itu handphone siapa karena itu bukan nada dering handphoneku. Alvin meraih sesuatu dari saku bajunya. Ternyata ponselnya yang berdering. Dia segera mengangkat ponselnya.     

"Assalamualaikum mami cantik," sapanya genit.     

Jadi Alvin memanggil Dian dengan panggilan mami berarti aku akan dipanggil papi?     

"Walaikumsalam anak mami yang ganteng," balas Dian lebih genit.     

Aku bisa mendengar suaranya karena speaker handphone Alvin sangat keras. Sepertinya volume di handphonenya full makanya aku bisa mendengar suara Dian.     

Aku hanya tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Aku ingin tahu apakah yang mereka bicarakan.     

"Gimana kabar kamu nak?"     

"Alhamdulilah baik mami. Mami gimana? Aku kaget lihat video mami yang viral itu."     

"Mami tidak apa-apa nak."     

"Mami pacaran ya sama ustad Fatih? Kok bisa berduaan di supermarket?"     

Aku mendengar suara batuk Dian. Sepertinya dia kaget dan shock dengan pertanyaan Alvin. Anak itu memang cerdas. Dia sama sepertiku, sangat kritis.     

"Alvin kamu ini," balas Dian dengan mode galak.     

"Kenapa aku mami? Sebagai anak mami wajar saja aku ingin tahu. Aku harus memastikan hubungan mami dan ustad Fatih. Gara-gara video mami viral banyak yang bertanya padaku dan mencibirku jika ustad Fatih akan jadi ayah tiriku."     

"Nak sini mami robek mulut teman kamu."     

"Janganlah mami."     

"Seenaknya saja mengatakan kak Fatih calon ayah tiri kamu."     

"Kenyataannya gitu mami. Cowok kayak ustad Fatih antilah berduaan dengan cewek. Kalo mami enggak spesial kenapa ustad Fatih mau ketemu mami?"     

"Mami minta dicarikan terapis."     

"Bukannya mami sudah sembuh?"     

"Belum sepenuhnya nak."     

"Sepertinya mami bukan butuh terapis tapi pendamping. Jika calonnya ustad Fatih aku setuju mami. Aku akan menjadi laki-laki hebat dibawah arahannya."     

Aku terbatuk mendengarkan ucapan Alvin. Aku segera meminum segelas air. Anak itu memang dewasa sebelum waktunya. Kenapa aku jadi tidak rela Dian menikah dengan ustad itu? Anakku sampai memberikan restu. Kok aku menjadi kesal?     

"Alvin."     

"Iya mami."     

"Alvin mau pindah sekolah ke Padang nggak?"     

"Serius mami?" Wajah Alvin berseri-seri.     

"Serius."     

"Bukankah dari dulu aku minta tinggal bersama mami di Padang? Aku akan menjaga mami."     

"Mami takut jika bajingan itu tahu kamu nak."     

Deg…..jantungku terasa diremas. Hatiku sakit mendengar ucapan Dian. Aku tidak berniat mengambil Alvin dari dia.     

"Alvin bisa jaga diri mami. Alvin tidak mau bertemu dengan dia. Dia telah membuat mami menangis dan menderita selama ini."     

Ya Tuhan, napasku semakin sesak mendengar perkataan anakku. Dia sangat membenciku dan memiliki dendam padaku. Andai kamu tahu jika aku adalah ayahnya pasti dia tak sudi memandang wajahku.     

"Kapan mami akan kesini mengurus kepindahanku? Berarti aku sekolah normal mi? Bukan pesantren lagi?"     

"Mami ingin melihat kami setiap hari."     

"Aku juga mami. Ngomong-ngomong mami enggak malu punya anak seperti aku?"     

"Malu kenapa?"     

"Mami masih muda dan punya anak sebesar aku. Apa kita jadi kakak dan adik saja?"     

"Tidak nak. Mami tidak pernah malu mengakui kamu anak mami. Peduli setan dengan ucapan orang-orang."     

"Mami jangan bawa setan dalam pembicaraan kita. Aku tidak suka mami. Belajar sedikit sedikit agar tidak barbar mami."     

Aku tergelak tawa. Alvin malah mengajari ibunya agar tidak barbar. Pembicaraan mereka pun berakhir. Aku melihat senyum dan kebahagiaan di wajah anakku setelah bertelponan dengan ibunya.     

"Bukannya di pesantren enggak boleh pakai HP?" Aku bertanya pada Alvin.     

"Kalo hari libur boleh om. Kalo hari Senin-Jumat HP harus disimpan."     

Aku manggut-manggut tanda mengerti. "Tadi siapa yang telpon kamu? Pacarnya ya?" Aku memancing Alvin.     

"Bukan om. Itu mami."     

"Kok kayak orang pacaran?"     

"Mami aku masih muda om," jawabnya tersipu malu. "Mungkin jika kami jalan berdua pasti dikira kakak adik atau lebih ekstrem berondong mami."     

Aku melambaikan tangan ke udara. Selera humor anakku bagus juga. Dia sangat mirip denganku bahkan tidak ada bedanya. Alvin lebih terdidik dan terarah berbeda denganku.     

"Berapa umur maminya?"     

"Tiga puluh tahun."     

"Maminya kawin muda ya?"     

"Tidak om," jawabnya dengan wajah menunduk.     

"Lalu?"     

"Mamiku di perkosa dan aku lahir dari perkosaan itu." Aku tak menyangka jika Alvin seberani itu membuka identitasnya.     

Ya Tuhan, Alvin tahu jika dia anak yang lahir dari hasil pemerkosaan. Pantas saja dia sangat membenciku. Dia pasti melihat ibunya menderita selama ini.     

"Jangan bercanda," lirihku mengalihkan perhatiannya.     

"Tidak om. Aku tidak bercanda. Aku tidak pernah main-main untuk yang satu itu."     

"Jika kamu bertemu dengan ayah biologismu apa yang kamu lakukan?" Aku memancing anakku sekali lagi.     

"Aku ingin membalaskan sakit hati mami. Gara-gara wajahku mirip dia, dulu mami membenciku dan menjahatiku." Alvin mengepal tangannya. Dari matanya aku melihat dendam yang sangat membara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.