Jodoh Tak Pernah Salah

Part 280 ~ Terapi Mental ( 2 )



Part 280 ~ Terapi Mental ( 2 )

"Tidak. Saya anak kecil yang lemah kala itu. Saya ditinggal kedua orang tua. Mereka meninggal karena kecelakaan saat usia saya tujuh tahun. Saya menjadi anak yatim piatu." Egi mulai menangis menceritakan masa kecilnya yang sangat memilukan.     

"Sejak orang tua saya meninggal saya diasuh oleh tante dan om saya. Tante adalah adik kandung dari papa saya. Hanya tante keluarga yang saya miliki ketika kedua orang tua meninggal."     

"Jadi yang melecehkan mas Egi suami dari tante?"     

"Benar."     

"Kenapa tidak mengatakannya pada tante saat itu?"     

"Aku diancam akan dibunuh dan dibuang ke jalanan. Tidak hanya itu dia juga mengancam akan membunuh tante. Aku takut kehilangan tante makanya tidak pernah cerita."     

"Kapan saja dia melakukan pelecehan pada mas Egi?"     

"Ketika tante tidak ada di rumah."     

"Apakah keinginan mas Egi straight muncul dari diri sendiri?"     

Egi menatap Clara. Tubuhnya menggigil dan takut. Clara mengangkat bahu.     

"Kejujuran mas Egi sangat-sangat diperlukan disini. Jika mas Egi tidak jujur kemungkinan terapi tidak akan berhasil. Hanya buang-buang waktu dan tenaga."     

"Sejujurnya saya ingin straight hanya demi tante saya. Beliau sudah tahu saya gay dan menjadi korban pelecehan suaminya. Saya dan suaminya diusir dari rumah. Tante bahkan menggugat cerai suaminya. Beliau marah karena merasa dibohongi. Saya sebenarnya memiliki kekasih pria namun dia meninggalkan saya karena menikah. Sekarang dia sudah straight dan bahkan istrinya sempat hamil."     

"Berarti pria itu bisa disebut mantan kekasih mas Egi. Tak adakah motivasi dari diri sendiri untuk berubah? Setidaknya termotivasi dari mantan kekasih yang sudah straight. Dia saja bisa straight tentu mas Egi juga bisa."     

Egi menggeleng, "Tidak ada. Rasa cinta yang saya miliki untuk dia sangat besar. Cintanya sudah mendarah daging dalam tubuh saya."     

"Antara tante dan dia siapakah yang paling penting untuk mas Egi?"     

"Keduanya sangat penting bagi saya."     

"Saya memberikan pilihan pada mas Egi. Pilih salah satu."     

"Saya tidak bisa menjawabnya mas," balas Egi berurairan air mata.     

"Kenapa anda tidak bisa memilih?"     

"Saya menyayangi keduanya."     

"Apakah mantan pacar masih peduli dengan mas Egi?"     

"Tidak sama sekali. Sejak dia memutuskan untuk straight dia lupa sama saya."     

"Lantas jika dia tidak peduli kenapa mas Egi masih peduli?"     

"Karena saya sangat mencintai dia."     

"Motivasi mas Egi buat straight apa?"     

"Ingin dianggap keluarga oleh tante."     

"Baiklah."Kamil manggut-manggut. Kamil pun menulis analisis di atas sebuah kertas. Cukup lama mereka hening hingga Kamil kembali bicara.     

"Mas Egi," panggilnya.     

"Iya."     

"Mohon maaf sebelumnya. Mas Egi belum bisa kami terapi karena keinginan untuk straight bukan berasal dari dalam hati mas Egi. Faktor kesembuhan mas Egi harus ada motivasi dari dalam diri mas sendiri. Jika tidak ada mustahil terapi bisa dilakukan. Jika tetap dilakukan tidak akan berhasil sama sekali."     

"Jadi apa yang harus kami lakukan mas?" Clara yang bertanya. Ia jadi kesal pada Egi karena keinginan sembuh bukan berasal dari hatinya.     

"Mas Egi harus punya kesadaran sendiri. Mindset mas Egi harus diubah. Saya ingin sembuh demi diri saya sendiri bukan karena orang lain. Orang-orang terdekat mas Egi akan kecewa jika niat mas Egi bukan berasal dari hati tapi paksaan dari orang lain."     

"Jika saya tidak taubat dan straight tante tidak akan menerima saya kembali. Saya tidak mau kehilangan tante karena beliau satu-satunya keluarga yang saya miliki."     

"Jika memang seperti ubahlah paradigm mas Egi. Sembuh karena keinginan sendiri bukan karena permintaan orang lain. Kita hidup mendengarkan apa kata hati kita bukan kata orang lain. Menjadi gay itu pilihan. Pilihan mas Egi mau sembuh atau tetap jadi gay seumur hidup? Kembali pada keinginan mas Egi sendiri."     

"Egi tidak bisa di hipnotis jika kemauan sembuh bukan dari dalam dirinya?" Giliran Clara yang bertanya. Sedari tadi diam mendengarkan percakapan mereka, mulut Clara gatal untuk bicara.     

Kamil menggeleng, "Tidak mbak Clara. Mas Egi, sebaiknya pahami lagi kenapa ingin melakukan hipnoterapi. Kenapa ingin sembuh dan harus sembuh? Jika nyaman dengan keadaan sekarang ya lanjutkan. Mas Egi bukan anak kecil lagi yang harus di dikte dan ditunjukkan mana yang salah dan mana yang benar. Jika nyaman jadi gay ya tetap saja jadi gay. Saya tidak menghakimi pilihan mas Egi, cuma yang perlu diingat Tuhan telah mentakdirkan mas lahir sebagai pria maka takdir mas adalah menjadi pria bukan waria bukan transgeder. Harus mas sadari kodrat sebagai pria. Pria adalah pemimpin untuk pasangan wanitanya. Pria adalah generasi penerus dalam sebuah kepemimpinan dan dari prialah benih manusia lainnya berasal."     

Egi terlihat menangis dan gamang dengan keputusannya. Ia ingin sembuh agar bisa kembali pada tante Ira. Dalam dirinya belum ada keinginan untuk sembuh.     

"Saya rasa hari ini cukup mas Egi. Kembalilah kesini jika keinginan untuk sembuh berasal dari dalam diri mas Egi." Kamil memegang dadanya.     

"Terima kasih atas kejujurannya hari ini dan saya sangat mengapresiasinya." Kamil bangkit lalu bersalaman dengan Egi dan Clara.     

"Gue payah Ra," ucap Egi terisak ketika berada dalam mobil.     

Clara yang membawa mobil karena jiwa Egi masih labil karena gagal melakukan hipnoterapi.     

"Lo enggak payah Gi."     

"Lantas apa?"     

"Keinginan sembuh itu lo. Faktor pemicunya tante Ira bukan diri lo sendiri. Mas Kamil tidak akan melakukan hipnotis biar lo straight."     

"Lalu apa yang harus gue lakukan Ra?"     

"Lo harus merenung dan tanyakan diri lo kenapa ingin sembuh? Jika lo ingin sembuh apakah konsekuensi yang bakal lo terima. Kalo alasan lo karena tante, enggak akan pernah bisa sembuh Gi. Lo harus punya keinginan sembuh dari diri lo sendiri."     

"Gue payah Ra."     

"Lo bukannya payah tapi hanya dilema. Dilema meninggalkan dunia yang selama ini lo geluti. Lo udah nyaman dengan diri lo sebagai gay makanya lo sulit untuk berubah."     

"Apa langkah selanjutnya yang harus gue lakukan?"     

"Untuk sembuh tidak segampang membalikkan telapak tangan Egi. Semua butuh proses. Proses yang lo lalui masih panjang. Sugesti diri lo. Lo mau sembuh, lo mau straight, lo mau kembali ke kodrat. Motivasi diri lo sendiri. Tanamkan dalam hati lo niat sembuh berasal dari diri lo sendiri."     

"Gue nyerah Ra."     

"Jika lo nyerah berarti lo siap-siap tak dianggap keluarga sama tante Ira. Lo akan dianggap mati sama tante Ira. Lo mau seperti itu?"     

"Tidak mau."     

"Jika tidak mulailah berubah Egi."     

"Kenapa lo begitu baik selalu membantu gue?"     

"Karena gue sayang sama lo."     

"Kenapa Ra lo bisa suka sama gue yang jelas-jelas gay?"     

"Gue juga enggak tahu dengan perasaan gue. Jelas banyak cowok yang naksir gue tapi gue cuma kepincut sama lo."     

"Jika gue straight lo mau nikah sama gue?"     

"Sembuh aja dulu Gi baru mikirin pernikahan," ucap Clara tergelak tawa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.